Ruangan kerja Ebas dipenuhi keheningan yang hampir mencekam. Hanya terdengar bunyi halus kipas angin laptop yang bekerja di meja kerjanya. Pria itu duduk di kursinya, wajahnya suram, pikirannya berkecamuk dengan berbagai pertanyaan yang belum menemukan jawaban. Bagaimana bisa wanita seperti Nala, yang penuh kelembutan dan ketulusan, bertahan dengan pria seperti Angga? pikirnya. Bayangan tadi di basement Mall masih terpatri jelas di benaknya, membuat kemarahannya kembali memuncak. Ebas menghela napas berat, mengusap wajahnya dengan kasar. Tangannya terulur meraih ponsel yang tergeletak di meja. Tanpa ragu, dia menekan nomor Galih, asistennya yang selalu siap diandalkan. “Halo, Tuan,” suara Galih terdengar dari seberang, penuh kesopanan seperti biasa. “Galih,” suara Ebas terdengar berat

