Menyadari adanya sentuhan di rambutnya, Annisa terbangun. Melihat mata Annisa yang terbuka, Aditya segera menarik tangannya.
"Eh, Capt. Maaf saya ketiduran."
Annisa berusaha untuk duduk tetapi Aditya menahan Annisa, melarangnya untuk duduk.
"Tadi ada nyamuk di kepala kamu tuh, jadi saya tepok. Udah kamu tidur di sini aja, nggak ada kamar kosong di sini, sekalian kamu jagain Husna, biar enggak digigit nyamuk juga." Aditya takut ketahuan Annisa sudah membelai rambut gadis itu. Dia berusaha menunjukkan ekspresi wajah datar.
"Oh, iya, Capt. Makasih udah ngusir nyamuk di kepala saya. Saya tidur lagi ya, Capt. Ngantuk berat ini." Annisa menarik selimut sampai menutupi d**a.
"Heem. Tapi jangan susah dibangunin. Jangan sampai Husna bangun duluan dari kamu."
"Siap, Capt. Jangan khawatir loh. Sebelum subuh saya udah bangun."
Tidak membalas ucapan Annisa, Aditya meninggalkan kamar berjalan menuju kamarnya.
Di dalam kamar Aditya merebahkan dirinya mencoba untuk tidur, tetapi belum terlalu malam untuk dia tidur. Pikirannya melayang, dia tidak pernah menyangka karena sebuah kesalahan dia akhirnya menikah. Melihat Annisa yang begitu mudahnya dekat dengan Husna menambah penilaian baik di mata Aditya.
"Ada bagusnya juga nikah sama Annisa," gumam Aditya. Senyumnya mengembang.
Aditya mengambil ponsel di atas nakas. Memeriksa akun media sosialnya. Di beranda akun media sosial Aditya, dia melihat postingan terbaru dari Danu.
Menikmati malam hari di Denpasar.
Caption yang tertulis di bawah foto di postingan Danu. Aditya tergerak untuk membalas postingan itu.
Makanya cepetan nikah, biar enggak menikmati malam di Denpasar sendirian.
Tak lama kemudian masuk panggilan telepon ke ponsel Aditya. Di layar ponsel menampilkan nama Danu. Aditya sengaja membiarkan panggilan itu agak lama, baru kemudian dia menerimanya.
"Pasti dia nelepon katena komentarku yang barusan," batin Aditya.
"Halo, Bro. Maksudnya apaan komentar kayak gitu? Nyuruh nikah terus, enggak bosen apa?" Sahabat Aditya itu memprotes komentar Aditya di akun media sosialnya.
"Sampai kamu berani ngajak anak orang nikah, baru aku akan berhenti ngomporin kamu buat segera nikahlah."
"Asem banget deh. Enak begini, bebas ke sana-sini enggak ada yang ngelarang. Hidup itu harus dinikmati, iya enggak sih?"
"Iya, hidup itu memang harus dinikmati tapi salah satu cara menikmati hidup kan dengan merencanakan kebahagiaan dengan orang yang kita sayangi, gitu enggak?"
"Aku tetap sayang sama keluarga, Papa, Mama, Adik, keponakan semua deh."
"Capek ah ngomong sama kamu. Ntar pasti ngerasain sendiri deh. Aku mau tidur dulu."
"Eh, jangan tidur dulu. Temenin aku, kamu libur juga kan?"
"Males deh. Dah ya."
Aditya sengaja memutus panggilan telepon, meletakkan kembali ponsel di nakas. Mencoba untuk mengistirahatkan tubuhnya yang mulai terasa lelah. Meskipun besok masih libur tidak ada salahnya lebih cepat beristirahat.
***
"Ante mau ke mana?" tanya Husna saat melihat Annisa sudah berpenampilan rapi usai sarapan pagi. Husna juga sudah selesai mandi dan sarapan bersama Annisa.
"Mau ke rumah ibunya Tante," ucap Annisa memegang bahu Husna dan berlutut di hadapannya.
"Ante, masih punya Ibu? Aku enggak punya Mama. Kata Papa, Mama sudah enggak di sulga. Sulga itu tempatnya di mana, Ante? Aku mau ke sana. Mau ketemu Mama. Ante mau antelin ke sana?"
Annisa berpikir sejenak agar tidak salah menjawab. Dia menarik napas lebih dulu. "Surga itu jauh sekali, kita sekarang enggak bisa ke sana."
"Yah, aku kan pengen ke sana biar bisa ketemu Mama." Wajah Husna berubah murung.
"Husna banyak-banyak berdoa biar bisa ketemu Mama nanti di surga, ya."
Annisa menatap Husna, merasa kasihan dengan anak perempuan yang sudah ditinggal oleh mamanya. Dia memeluk erat Husna dan mengelus punggung anak itu.
Aditya yang menatap interaksi Husna dan Annisa tidak menyadari jika bulir bening mengalir dari kedua matanya. Entah karena terharu melihat keduanya atau teringat dengan almarhum istrinya.
"Ayo, jalan sekarang, nanti kesiangan," ucap Aditya sambil meyeka kedua matanya yang basah.
"Ante besok ke sini lagi ya."
Annisa mengurai pelukannya pada Husna. Mengelus pipi gadis kecil itu. "Nanti kalau Tante libur, kita main lain ya." Annisa berharap ucapannya yang barusan tidak membuat Husna kecewa.
"Asik, Ante mau ke sini lagi. Nanti kita main yang selu lagi ya, Ante."
"Boleh banget. Tante pamit dulu ya."
Aditya mengajak Annisa pamit pada mamanya. Dia juga pamit mengantar Annisa sekaligus menitip Husna pada mamanya. Annisa menyalami tangan mama Aditya sebelum meninggalkan rumah.
Mama Aditya dan Husna mengantar Annisa sampai teras depan. Annisa melambaikan tangan pada Husna sejak mobil yang dikendarai oleh Aditya meninggalkan rumah orang tuanya.
"Capt, kayaknya saya belum dapet cerita tentang mamanya Husna, ya? Bener enggak?" tanya Annisa di perjalanan ke rumahnya.
"Belum kalau enggak salah. Mamanya Husna itu meninggal saat melahirkan dia." Aditya hanya bercerita singkat.
"Oh. Maaf ya, Capt." Annisa menunduk, dia khawatir menyinggung perasaan Aditya dengan pertanyaan itu.
"Enggak apa-apa."
Kemudian hening. Sementara Annisa belum ada topik yang ingin dibicarakan dengan Aditya.
"Kamu biasa main dengan anak kecil, ya?" tanya Aditya untuk memecah kesunyian di antara keduanya.
"Hah? Oh itu, saya biasa dititipin anak tetangga, Capt," jawab Annisa meringis.
"Pantes."
"Pantes apa ya, Capt?"
"Pantes aja gampang dekat dengan anak kecil. Kan sudah terbiasa."
"Oh, mungkin aja sih."
Hening lagi hingga mobil Aditya tiba di depan rumah ibu Annisa. Annisa membuka seat belt, "Makasih ya, Capt udah nganter ke rumah Ibu."
Aditya hanya mengangguk, tetapi dia tiba-tiba terpikir untuk mengatakan sesuatu, "Selanjutnya jadwal terbang kita enggak bareng. Kamu bisa kan ngabarin saya kalau kamu libur. Biar saya bisa jemput ke apartemen terus ke rumah lagi?"
"Bisa, Capt. Nanti saya kabari lagi. Saya masuk dulu ya, Capt."
Aditya mengangguk lagi.
"Capt, enggak masuk dulu ketemu Ibu?"
"Hmm ... boleh deh tapi sebentar aja enggak apa-apa?"
"Enggak apa-apa."
Lalu keduanya turun dari mobil menuju rumah orang tua Annisa. Annisa mengucap salam, membuka pintu mengajak Aditya masuk, memintanya duduk di ruang tamu sementara Annisa mencari ibunya ke dapur.
"Bu, Captain Aditya mampir bentar, nunggu di ruang tamu." Ibu Annisa sedang sibuk memasak di dapur untuk makan siang.
"Ya udah Ibu mau ke depan dulu, kamu tungguin gorengan ikan biar enggak gosong ya."
"Siap, Bu. Asik makan siang pake ikan goreng."
Ibu Annisa merapikan pakaiannya lebih dulu lalu menuju ke ruang tamu untuk menemui Aditya di sana.
"Eh, ada Nak Adit, gimana kabarnya? Baru keliatan lagi."
Aditya bangkit dari kursi mendekati ibu Annisa, dia menyalami tangan ibu mertuanya itu. "Alhamdulillah sehat, Bu. Ibu gimana kabarnya?" tanya Aditya kembali duduk di kursi.
"Ibu Alhamdulillah sehat. Kata Annisa tadi Nak Adit cuma mampir sebentar. Makan siang dulu saja. Ibu sudah masak di rumah."
"Aduh, maaf banget, Bu. Kalau sekarang enggak bisa, lain kali boleh deh. Saya ada perlu di tempat lain. Ini saya sempetin anter Annisa dulu ke rumah."
"Oh gitu, lain kali enggak boleh nolak ya."
"Iya, maaf banget. Bukannya nolak tapi memang ada keperluan lain. Ini juga saya mau pamit lagi, Bu."
Aditya menolak tawaran makan siang bukan karena merasa tidak enak, tetapi hari ini dia ada rencana makan siang dengan teman SMAnya dulu, dan juga tidak mengajak Annisa karena khawatir Annisa akan merasa canggung bertemu dengan teman SMAnya, atau merasa diabaikan saat Aditya sibuk mengobrol dengan teman SMAnya dulu.
"Buru-buru banget. Sebentar, ya." Ibu Annisa bangkit menuju dapur. "Matiin aja kompornya, suamimu mau pergi lagi."
Di dapur ibu Annisa mengambil gelas, mengisi dengan air lalu membawa ke depan bersama Annisa.
"Ini minum dulu, dihabiskan ya."
Aditya menurut menghabiskan air minum yang diberikan ibu Annisa. Setelah itu dia pamit untuk menuju lokasi pertemuan dengan teman SMAnya dulu.
Pada jam 2siang, adik Annisa—Hanan—pulang ke rumah. Setelah menyimpan tas dan berganti pakaian dia menghampiri Annisa ke kamarnya.
"Mbak, ntar kalo gajian, beliin aku HP baru ya." Hanan duduk di kursi yang ada di kamar itu.
"Loh kok enak minta HP. Sekolah dulu yang bener. Enggak usah ganti HP."
"Ya sudah aku minta ke Om Danu aja. Eh, Kakak udah bilang belum ke Om Danu kalo udah kerja. Jangan lupa ngasih tahu. Masa udah dibayarin sekolah pramugari enggak ngasih tahu kalo udah kerja."
"Oh iya, astaghfirullah. Aku SMS Om Danu dulu deh."
Annisa meraih ponsel yang dia letakkan di atas kasur. Mengirimkan pesan pada omnya. Bukannya menerima balasan pesan dia malah menerima panggilan dari omnya.
"Assalamualaikum. Om kok malah telepon sih? Emang enggak ada jadwal terbang?"
"Wa'alaykumussalam. Eh, Nisa, kamu sehat? Om lagi libur. Selamat ya udah keterima kerja. Kita kerja di maskapai yang sama dong. Semoga jadwal selanjutnya kita bisa terbang bareng ya."
"Alhamdulillah, Om. Nisa sehat. Oh ya maaf lupa ngabarin. Baru inget. Itu juga yang ngingetin Hanan, katanya suruh telepon Om."
"Iya enggak apa-apa. Gimana kerjaan jadi awak kabin? Lancar kan? Terus udah ketemu pilot yang ganteng belum? Jangan-jangan kamu ada naksir pilot yang ada jadwal terbang bareng kemarin, iya?"