Meminta Maaf

1209 Words
"Ayo ke rumah. Kamu perlu ganti baju atau ngapain dulu enggak? Saya tunggu." "Sudah sarapan, Capt?" tanya Annisa sambil melirik jam yang melingkar di lengannya. Jam 9 pagi agaknya masih pantas untuk bertanya sarapan. Siapa tahu memang Aditya belum sarapan. "Belum. Enggak bisa mikir tenang saya kalau belum ngeliat kamu. Terlalu khawatir karena Danu. Kalau itu bukan Danu, saya enggak akan terlalu khawatir." "Tapi kan sekarang udah enggak khawatir lagi kan? Ini saya ada makanan. Buat Capt aja, kayaknya Capt lebih butuh daripada saya." Annisa mengambil satu kotak makanan yang berisi nasi dengan lauk lengkap yang tadinya untuk dia makan setelah tiba di apartemen. Namun, Annisa berikan untuk Aditya. Annisa mengajak Aditya ke meja makan untuk menikmati sarapannya. "Habiskan aja, Capt. Saya mau siap-siap sebentar. Tunggu, ya." Annisa masuk ke kamarnya untuk menyiapkan beberapa pakaian yang akan dia bawa menginap di rumah orang tua Aditya. "Bawa baju ganti sekalian. Ingat enggak boleh pakai pakaian yang terlalu terbuka. Saya enggak suka," teriak Aditya yang terdengar sampai ke dalam kamar Annisa. "Iya, Capt," balas Annisa. Selesai menyiapkan pakaian, Annisa membawa sebuah tas dengan ukuran agak besar yang berisi pakaian, dan tas selempang untuk menyimpan dompet dan ponsel. "Sudah selesai sarapannya, Capt? Oh udah. Cepet banget. Kayaknya laper berat ya, Capt?" Annisa melirik sarapan Aditya yang tandas di meja. "Saya laper berat juga kan gara-gara kamu. Sudah sepantasnya memang kamu ngasih saya sarapan." Annisa meringis. Sebenarnya dia juga merasa bersalah turut andil menyebabkan perasaan Aditya menjadi tidak tenang selama beberapa hari ini. "Saya mau rapikan meja makan dulu. Captain duluan aja ke parkiran. Nanti saya nyusul. Sekalian nyimpen koper di kamar." Aditya mengangguk. Tanpa dimintai tolong oleh Annisa dia membawa tas pakaian milik Annisa menuju parkiran. Annisa segera menyusul ke parkiran setelah merapikan apartemen dan memastikan pintu apartemen terkunci dengan baik. Annisa segera masuk mobil, Aditya mengemudikan mobil menuju ke rumah orang taunya. Jalanan Jakarta pagi ini sudah tidak sepadat sebelumnya. "Nis, saya boleh tanya sesuatu enggak? Tapi kamu jangan tersinggung ya." "Tanya aja, Capt. Kira-kira kenapa saya bisa tersinggung dengan pertanyaan Captain?" "Karena saya akan bertanya sesuatu yang mungkin kamu enggak mau jawab." "Kok, Captain bisa berasumsi seperti itu? Emang pertanyaannya apa?" Annisa tidak sabar menunggu pertanyaan dari Aditya. "Kenapa waktu malam itu kamu malah pergi? Terus kapan kamu pergi? Kenapa kamu enggak nungguin sampai saya bangun dan minta saya tanggung jawab sama kamu?" Annisa diam sejenak, mengingat kejadian dua tahun lalu saat Aditya memaksa dan menarik dirinya ke ranjang hingga mahkotanya direnggut secara paksa oleh Aditya. "Jujur ya, Capt. Setelah kejadian itu saja takut banget. Saya takut Captain akan mengulangi hal yang sama, jadi saat Captain tertidur, saya langsung lari sejauh mungkin. Saya langsung pulang saat itu juga. Boro-boro mau nunggu pagi atau Captain sadar lalu minta tanggung jawab, yang ada saya takut setengah mati." Annisa berusaha mengingat apa yang dia rasakan pada kejadian dua tahun lalu. "Kamu enggak marah?" "Gimana saya mau marah. Rasa takut itu lebih besar daripada perasaan marah saya." "Terus kamu lupain kejadian itu begitu aja? Kenapa pas kita ketemu lagi, kamu berbohong terus bilang kita enggak pernah ketemu?" "Hmm ... iya, sebisa mungkin saya lupain kejadian itu. Sebisa mungkin ya, Capt. Saya anggap itu hukuman karena saya mungkin suka enggak nurut sama omongan ibu saya gitu. Terus kenapa saya bohong bilang kita enggak pernah ketemu karena itu tadi, mungkin karena saya memang mau melupakan kejadian itu, bahkan melupakan Captain sekalian. Anggap itu enggak pernah terjadi." "Ternyata kamu begitu, malah pengen ngelupain saya. Padahal saya mau bertanggung jawab dan berusaha untuk enggak lupa sama kamu. Kali ini saya mau minta maaf yang sebesar-besarnya, karena telah m*****i kamu. Kamu enggak tahu gimana perasaan bersalah saya apalagi saya punya anak perempuan. Saya takut dia juga mengalami hal yang sama. Makanya saya terus cari kamu karena merasa sangat bersalah." Annisa berusaha memahami apa yang dirasakan oleh Aditya. Memang di sini posisi korban adalah Annisa. Namun, karena Aditya merasa sangat bersalah dia mau memaafkan Aditya. Bahkan sebelum Aditya meminta maaf, Annisa sudah memaafkan dan ingin berdamai dengan masa lalu. "Iya. Sebenarnya apa sih yang terjadi malam itu sampai Captain harus mabuk?" "Setelah istri saya meninggal, saya selalu merasa sedih. Anggaplah saya enggak bisa terima kenyataan kalau istri saya sudah meninggal. Sejak itu saya jadi dekat dengan minuman keras. Agar saya bisa lupa dengan perasaan sedih itu—" ucapan Aditya berhenti sejenak. Dia menarik napas panjang. "Karena terlalu sering saya diingatkan oleh Sang pencipta, jika terlalu sering minum minuman keras, efeknya akan jadi seperti itu. Saat hilang kesadaran, saya malah berbuat jahat sama kamu kan. Setelah kejadian itu saya enggak mau minum lagi, sesaat saya lupa sama almarhum istri saya, karena terlalu fokus mencari kamu, cuma enggak ketemu. Beberapa kali saya datang ke hotel itu untuk nyariin kamu," ungkap Aditya merasa sangat bersalah. Bulir bening yang sedari ditahan oleh Annisa sudah tidak terbendung lagi. Mengalir deras di kedua pipi Annisa. Aditya melihat ini. Segera dia hapus air mata yang mengalir di salah satu pipi Annisa yang terjangkau dengan tangan kirinya. "Sudah jangan nangis. Bantu saya untuk menghapus rasa bersalah saya ke kamu." Annisa mengangguk. Tanpa terasa mobil yang dikemudikan Aditya tiba di depan rumah orang tua Aditya. Annisa turun dari mobil untuk membuka pagar. Sebuah teriakan dari anak kecil terdengar dari teras rumah orang tua Annisa. "Ante Nisaaaaaa!" teriak Husna. Dia berlari mendekati Annisa menghambur dalam pelukan perempuan yang sudah menjadi ibu sambung untuk Husna. Annisa berlutut memeluk tubuh kecil itu. Kemudian dia angkat, dibawa dalam gendongannya masuk rumah. "Ante, tidul di sini lagi kan, Ante bawa baju kan untuk tidul di sini? Tidul di Kamal aku aja, ya." Annisa mengangguk. "Tante udah bawa baju di mobil Papa. Tante juga bawa mainan buat Husna." Annisa membawa Husna ke ruang tengah, duduk di sofa dan memangkunya. "Hole. Asik Ante bawa mainan." Husna merasa sangat bahagia bisa bertemu kembali dengan Annisa. "Tante boleh cari Nenek dulu? Mau salam sama Nenek. Nenek ada di mana?" Kepala Annisa celingak celinguk mencari keberadaan mama Aditya. "Nenek ada di dapul. Lagi masak. Tadi katanya temui Papa dulu di depan." "Oh, Tante ketemu Nenek dulu ya." Annisa meminta izin pada Husna untuk mencari mama Aditya di dapur. Dia tinggalkan Husna di ruang tengah saat melihat Aditya masuk rumah. "Assalamualaikum, Tante. Tante sehat? Eh, ada Bibi juga sehat, Bi?" sapa Annisa saat masuk dapur. "Wa'alaykumussalam," jawab mama Aditya dan bibi bersamaan. Annisa menghampiri mama Aditya, menyalaminya. "Masak apa, Tante? Sini saya bantu." "Biar Tante sama Bibi aja yang masak. Kamu temenin Husna main di dalam sana." "Oh ya, Tante. Kalau gitu saya ke dalam dulu main sama Husna." Annisa kembali berjalan ke ruang tengah. Di ruang tengah Husna ditemani oleh Aditya. Annisa mengajak Husna ke kamar membawa tas pakaiannya. Dia ingin menunjukkan mainan yang dia beli untuk Husna. "Waaaaah, pesawat. Bagus, Ante. Makasih ya." Husna memeluk Annisa setelah menerima miniatur pesawat yang dibeli oleh Annisa. "Husna punya banyak kok miniatur pesawat kayak gitu, lihat aja di dalam lemari itu." Aditya masuk kamar karena merasa penasaran dengan mainan yang dibelikan oleh Annisa. Annisa meringis, merasa salah membeli hadiah. "Oh gitu, maaf ya, Tante enggak tahu kalau Husna punya banyak miniatur pesawat. Mestinya Tante beliin boneka aja." "Jelas aja dia punya banyak miniatur pesawat, papanya kan pilot." Aditya menyombongkan diri. "Ternyata Captain kita yang satu ini bisa sombong juga ya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD