Aditya sudah berada di depan unit apartemen miliknya. Tepat jam 4 sore. Dia menekan beberapa angka yang untuk membuka pintu apartemen. Namun, usahanya gagal. Aditya mengernyitkan dahi.
"Tadi udah tekan angka yang bener deh. Tapi kok enggak mau kebuka."
Dia mencoba lagi untuk yang kedua kalinya. Namun, tetap gagal. Pintu tidak terbuka. Aditya coba lagi untuk yang ketiga kalinya, hasilnya pintu tetap tidak terbuka.
"Jangan-jangan Annisa yang ganti kode di pintu apartemen," gumam Aditya.
Aditya menyerah mencoba lagi. Dia menekan bel di pintu. Sekali, dua kali, tiga kali. Pintu tidak kunjung terbuka. Aditya mulai kesal. Kesabarannya mulai diuji. Rasa sabar Aditya mulai menipis dia tekan bel di pintu berkali-kali. Namun, Annisa tidak juga membuka pintu.
"Kenapa sih si Annisa. Apa dia tidur? Atau jangan-jangan dia pergi?"
Aditya mengeluarkan ponsel dari saku celana. Dia mencari nomor telepon Annisa di ponsel lalu menghubungi nomor tersebut.
Satu kali panggilan, tidak ada jawaban. Dia coba menelpon lagi sampai tiga kali tetap tidak ada jawaban.
"Kemana sih ini orang!"
Aditya merasa kesal karena Annisa menghilang seperti ditelan bumi. Sudah hampir tiga puluh menit Aditya berada di depan unit apartemen tetapi tidak bisa masuk.
"Kalau dia tidur, tidurnya kayak kebo deh."
Aditya menghela napas sebelum menelpon lagi ke nomor Annisa. Dia coba hubungi terus hingga ada jawaban dari Annisa, hasilnya tetap nihil.
Aditya menyandarkan punggungnya ke pintar apartemen. Bermaksud untuk mengirimkan pesan pada mamanya, mengabari jika dia akan datang telat. Saat sedang asyik mengetik pesan di ponsel, tiba-tiba pintu apartemen bergerak mendorong tubuh Aditya. Aditya yang tidak tahu pintu akan terbuka dan tidak bersiap siaga terdorong hingga tersungkur karena tidak ada tempat berpegangan. Otomatis ponselnya terlempar.
Mata Annisa membulat melihat Aditya tersungkur. Dengan sigap dia membantu Aditya berdiri. Annisa juga mengambilkan ponsel Aditya, menyerahkan pada pemiliknya.
"Maaf, Capt. Saya enggak tahu kalau ada orang di balik pintu. Saya kira pintunya macet kok rasanya berat pas didorong, jadi saya dorong lebih keras. Sumpah saya enggak tahu kalau ada Captain di sana."
Aditya merasa marah dan geram pada Annisa yang telah membuatnya tersungkur di lantai dan merasa sakit di beberapa bagian tubuhnya.
"Annisaaaaa!" teriaknya lalu menoleh menatap tajam pada Annisa.
Annisa merasa takut dan sangat bersalah. Dia menepuk-nepuk bagian depan pakaian Aditya untuk membersihkan debu. Namun, Aditya menepis tangan Annisa yang menempel di pakaiannya.
"Jangan sentuh pakaian saya!"
Annisa mundur, menjauhkan tangannya dari pakaian Aditya. Mengajak pria itu masuk ke unit apartemen. Di dalam Aditya duduk di sofa di ruang tengah.
"Duduk!" titahnya pada Annisa. Annisa menurut, duduk di sofa yang dalam tetapi mengambil jarak yang agak jauh.
"Kamu kan yang ganti angka sandi untuk membuka pintu apartemen? Tadi saya coba tekan sandi yang lama tapi gagal. Artinya sandinya sudah diganti. Betul?"
"Iya, Capt. Saya yang ganti."
"Kenapa?" Aditya memijit kepalanya saat mendengar pengakuan Annisa.
"Kenapa kamu ganti? Saya jadi enggak bisa masuk ke apartemen saya sendiri," protes Aditya.
"Saya sebel sama Captain. Masa Captain yang maksa saya nikah, maksa saya tinggal di sini tapi saya ditinggalin. Kenapa, Capt?" Annisa juga mengajukan protesnya pada Aditya.
"Hmm ... kasih tahu saya sandi yang baru. Biar besok-besok saya bisa masuk apartemen."
Aditya tidak menjelaskan apa-apa pada Annisa. Dia sadar jika memang dia salah karena meninggalkan Annisa di apartemen sendirian, karena dia takut jika terlalu sering bersama Annisa dia menjadi khilaf, menyentuh bahkan menginginkan lebih dari itu. Apalagi dia sudah pernah menikah dan menduda selama 4 tahun. Sedangkan Annisa masih terikat kontrak kerja selama tiga tahun ke depan yang melarang Annisa menikah dan hamil.
"Sandi yang baru tanggal pernikahan kita, Capt." Annisa menjawab dengan sumringah. Berhasil mengabaikan tanggal pernikahannya dengan Aditya di sandi pembuka pintu apartemen.
"Ok. Terus kamu tadi ke mana? Saya tekan bel berkali-kali enggak dibukain pintu. Saya telepon enggak ada jawaban."
"Oh itu, nganu, Capt."
"Nganu gimana? Kamu ngapain aja?"
"Saya ketiduran." Annisa tersenyum lebar, senyum yang dipaksakan. Dia merasa bersalah karena ketiduran. "Pas saya bangun, saya langsung ke depan bukain pintu."
"Tidur kok kayak kebo. Ya sudah, siap-siap sana. Kita jalan ke rumah saya sekarang."
Annisa bangkit dari sofa, berlari ke kamar karena takut Aditya akan semakin marah. Dia menyisir rambutnya yang berantakan. Annisa menatap dress yang dia gunakan tidak terlalu kusut karena sempat dibawa tidur. Dress biru muda motif bunga dengan panjang selutut membuat Annisa terlihat manis. Tidak lupa juga Annisa memulas lipstik pink di bibirnya.
"Ok. Sudah siap." Annisa tersenyum di kaca, melihat penampilannya sudah lebih rapi. Dia mengambil tas lalu meninggalkan kamar.
"Ayo, Capt. Saya udah siap."
Aditya juga beranjak dari kursi berjalan mendekati Annisa. "Jangan-jangan bikin malu di rumah saya ya." Pesan Aditya.
Annisa mengangguk. Mereka meninggalkan unit apartemen menuju parkiran melalui lift. Unit apartemen milik Aditya berada di lantai 15.
Dalam perjalanan ke rumah Aditya, Annisa merasa penasaran dengan sesuatu. "Capt, nama anaknya siapa ya?" Annisa bertanya dengan suara pelan.
"Husna. Husna Khairunnisa lengkapnya."
"Oh, namanya Husna. Pasti wajahnya cantik ya, Capt. Namanya bagus sekali."
"Iya, wajahnya cantik persis seperti mamanya."
"Karena mamanya cantik juga kan Captain nikah sama dia. Jadi penasaran deh sama wajah cantik almarhum istrinya Captain. Orang pasti sabar banget deh."
"Kenapa kamu bilang begitu?"
"Karena kesabaran Captain itu setipis tisu."
Secara terang-terangan Annisa meledek Aditya. Saat itu juga Annisa merasakan sakit di bagian pelipis karena mendapat sentilan dari jadi tangan kiri Aditya.
"Aduh!"
"Jangan coba-coba meledek saya lagi kamu ya. Atau—" Aditya tidak terima dibilang Annisa memiliki kesabaran setipis tisu. Walaupun kenyataannya lebih sering begitu.
"Atau apa? Mau mukul saya lagi, Capt? Pukul aja. Beraninya kok sama perempuan."
"Becandaan kamu enggak lucu Annisa, lebih baik kamu diam!"
Selanjutnya Annisa memilih untuk diam. Dia khawatir jika bicara lagi dia akan membuat Aditya menjadi lebih marah dari sebelumnya.
Setengah jam kemudian mobil yang dikendarai oleh Aditya tiba di halaman rumah orang tua Aditya. Dia mengajak Annisa turun dari mobil lalu mengajaknya menuju rumah.
"Assalamualaikum," ucap Aditya sebelum masuk. "Ayo, ikut saya." Kali ini sikap Aditya berubah lebih manis pada Annisa.
"Oh, ternyata Captain Aditya bisa manis juga. Aku kira dia cuma bisa marah-marah dan maksa," batin Annisa.
Annisa berjalan masuk rumah mengikuti langkah Aditya.
"Wa'alaykumussalam."
Seorang wanita paruh baya muncul bersama seorang anak perempuan. Kedua memilki wajah yang sama cantiknya. Nenek dan cucu itu berjalan mendekati Annisa dan Aditya.
"Eh, ini siapa?" tanya wanita paruh baya itu pada Aditya.
"Papa, Ante ini ciapa?" Giliran anak Aditya, Husna yang bertanya.
"Ini Annisa, Ma. Yang aku ceritain tadi pagi." Annisa mencium tangan Mama Aditya. Memberikan senyuman paling manis yang dia punya.
Aditya berjongkok di hadapan anaknya. "Namanya Tante Annisa. Husna boleh main sama Tante Annisa. Bawa Tante ke kamar ya."
Husna mengangguk, menarik tangan Annisa mengajaknya ke kamar. Annisa menurut, mengikuti langkah kaki Husna menuju kamarnya. Dia akan mengajak Annisa bermain di kamar. Aditya memandangi keduanya berjalan menuju kamar. Tanpa Aditya sadari senyumnya mengembang.
"Jadi itu gadis yang kamu bilang, Dit?"
"Eh, iya, Ma. Ayo duduk." Aditya menoleh pada mamanya. Mengajak sang mama duduk di kursi di ruang tamu. Sebentar lagi dia akan diwawancarai oleh sang mama, Aditya harus memberikan jawaban terbaiknya.
"Masih muda ternyata ya? Berapa umurnya Annisa?"
"21 tahun kayaknya, Ma."
"Muda sekali ya. Apa enggak kecepetan dia nikah? Bukannya pramugari enggak boleh nikah kalau baru kontrak, terus Annisa gimana?"
"Sebenarnya enggak boleh. Tapi aku takut nanti enggak bisa tanggung jawab kalau nunggu tiga tahun lagi."
"Sebenarnya Mama kurang setuju kamu nikah lagi dengan pramugari. Punya anak pilot aja suka bikin Mama kepikiran saat kamu terbang, tambah lagi sekarang menantu pramugari. Pasti akan nambah beban pikiran Mama."
"Ya, mau gimana lagi. Annisa sendiri yang memutuskan untuk jadi pramugari. Aku ketemu lagi pas dia udah jadi permintaan, gimana mau melarangnya, Ma. Sudah Mama jangan khawatir, doain aja aku sama Annisa selamat dan selalu dalam lindungan Allah selama bekerja."
"Aamiin. Tapi tetap saja pasti akan kepikiran."
"Udah Mama tenang aja. Aku ke kamar Husna dulu ya, Ma. Mau ikut main sama mereka."
Aditya menyusul Husna dan Annisa menuju kamar Husna. Selama dia off beberapa hari dia ingin menghabiskan waktu untuk lebih bermain dengan putri semata wayangnya.