Liora memandangi dirinya di pantulan cahaya. Dia merasa cantik dengan gaun yang dia gunakan. Liora bertanya-tanya, baju siapa yang ia pakai? Pikirannya kemana-mana tentang Axton. Liora menebak-nebak siapa pemilik baju yang sedang ia kenakan. Kekasihnya? Mantannya? Atau bahkan istrinya?
Kepala Liora tiba-tiba sakit karena terlalu banyak pertanyaan di kepalanya tentang siapa Axton. Bahkan dia sama sekali tidak tahu nama yang sudah jadi suaminya sekarang.
Liora mencoba mengenyangkan pikiran nyam dia pergi keruang tengah. Disana dia melihat Axton sedang makan sendirian. Liur Liora menetes melihat banyak makanan di meja makan. Dia mau ikut makan, tapi merasa malu dan canggung.
"Perutmu tidak akan terasa kenyang hanya melihat saja." Axton bersuara
Liora sedikit mendekat untuk menjawab ucapan Axton.
"Aku tidak lapar-"
Ucapan dan perut berbanding balik. Suara bunyi gemruyuk terdengar cukup nyaring. Muka Liora memerah menahan malu.
"Makan! Sapi sebelum disembelih harus diberi makan lebih dulu." Ucapnya enteng.
Liora membeku sejenak. Kepalanya kembali berisik tentang siapa Axton, dan dugaan pria itu menjual organ dalam manusia.
"Kau ini, Axton. Selalu saja bersikap dingin." Datang wanita tua dari belakang Liora. Wanita itu menyentuh tangan Liora dengan lembut.
'Ah.. namanya Axton.' batin Liora akhirnya mengetahui nama suaminya itu.
"Jangan dengarkan apa yang dikatakan pria es itu. Sikapnya memang seperti itu sejak dulu, tapi kalau sudah lama, kamu akan tahu sikap Axton sebenarnya." Ucapnya. Liora hanya memberikan senyum kepada wanita tua itu. Dia bingung harus menjawab apa. Terlebih, Liora juga tidak tahu siapa wanita tua itu.
"Haha.. aku lupa memperkenalkan diri. Aku kepala pelayan dirumah ini. Kamu bisa memanggilku Jenn." Wanita tua itu memperkenalkan diri kepada Liora.
"Liora,” suara Jenn memanggilnya lembut, memutus lamunannya yang masih melayang antara rasa malu dan rasa lapar.
Wanita tua itu menatapnya dengan penuh perhatian, lalu senyum tipis mengembang di wajahnya. Jemari keriput namun terawat itu menyentuh punggung tangan Liora, hangat dan mantap.
“Kamu terlihat cantik sekali malam ini dengan gaun itu. Warnanya pas sekali di kulitmu."
Liora refleks menunduk, bukan karena malu atas pujian itu, melainkan karena bingung. Gaun ini, ia bahkan tidak tahu siapa pemiliknya. Pujian Jenn malah menambah satu tanda tanya besar di kepalanya. Apakah itu baju bekas kekasih Axton? Mantan tunangannya? Atau istrinya?
Pikirannya yang sudah penuh, hampir buyar ketika suara Axton menyambar dari arah meja makan.
“Sudah aku katakan,” ucapnya datar, setiap kata terucap jelas,
“Jangan pernah menyentuh lemari sialan itu.” lanjutnya.
Nada bicaranya tidak meninggi, tidak ada gertakan, tapi hawa dingin yang keluar cukup untuk membuat Jenn menahan napas sepersekian detik. Liora pun ikut terdiam, matanya beralih pada Axton. Ekspresinya sama saja seperti tadi tenang tanpa emosi namun intonasinya menjelaskan kalau pria itu sedang marah.
Liora tidak mengerti. 'Lemari sialan? Apa istimewanya lemari itu sampai disebut seperti itu?' Liora bertanya-tanya dalam hatinya.
Jenn menghela napas tipis, lalu berbalik sedikit menghadap Axton.
“Tidak ada pakaian wanita di sini, Tuan. Anda tahu itu. Semua pelayan tidak menetap di mansion ini. Setelah selesai bekerja, kami pulang ke rumah masing-masing, meski masih di sekitar sini.”
Ucapan Jenn terdengar lembut, tapi Liora bisa menangkap bahwa wanita itu sedang mencoba menjelaskan sekaligus meredakan nada Axton.
Axton hanya menggeser tatapannya kembali ke piring. Pisau di tangannya kembali bergerak, memotong potongan daging dengan ketelitian yang anehnya terlihat terlalu serius untuk sekadar makan malam.
Liora menatap mereka bergantian, mencoba membaca situasi. Sepertinya percakapan ini bisa berubah jadi lebih dingin dari AC di kamar. Ia memutuskan untuk bicara, meski tidak yakin itu ide bagus.
“Kalau begitu, aku bisa pulang sebentar. Ambil baju-bajuku.”
Suara itu membuat gerakan pisau Axton terhenti sejenak. Ia menegakkan punggung, lalu mengangkat wajah. Tatapan matanya menancap langsung ke mata Liora. Bukan tatapan marah, tapi dingin, seperti sedang menimbang seberapa bodoh permintaan barusan.
“Kau sungguh wanita bodoh. Aku tidak tahu apa ada otak di kepalamu.” ucapnya perlahan.
Jenn memandang ke arah Liora, seolah hendak memberi isyarat untuk tidak melanjutkan. Tapi Liora sudah telanjur merasa panas di dadanya.
“Sudah diperlakukan seperti itu, masih saja ingin pulang?” Axton melanjutkan. Nada bicaranya tetap datar, tapi ada tekanan di ujung kalimat.
Liora mengernyit. “Kalau aku tidak pulang di sini aku mau pakai apa?” Suaranya tidak meninggi, tapi jelas ada nada menantang di dalamnya.
Axton menunduk kembali, mengambil potongan daging dengan garpu, lalu berbicara tanpa mengangkat pandangan.
“Aku lebih suka wanita tanpa menggunakan apa-apa. Terlihat natural.”
Jenn terdiam, seperti memilih untuk tidak ikut campur. Sementara itu, Liora merasa darahnya mendidih. Ia menatap Axton lama, matanya menyipit, bibirnya terkatup rapat.
Keheningan terjadi beberapa detik. Dentingan halus peralatan makan dari tangan Axton menjadi satu-satunya suara di ruangan itu.
Liora menggeser kursi di hadapannya, duduk perlahan. Ia tidak memutuskan tatapannya dari Axton.
“Kau selalu bicara seenaknya, Tuan Axton yang terhormat?” ucapnya pelan, namun tajam.
Axton tidak langsung menjawab. Ia menelan makanannya, mengelap bibir dengan serbet, lalu baru mengarahkan pandangan kembali padanya.
“Aku hanya mengatakan yang kupikirkan. Kalau itu membuatmu tersinggung, berarti kau terlalu banyak memikirkan tentang 'tanpa mengenakan apa-ap'.” Axton memperjelas kalimat terakhir.
Jenn mencoba masuk di antara mereka, suaranya dibuat ceria.
“Liora, mungkin kita bisa cari pakaian lain yang lebih nyaman. Ada beberapa simpanan seragam lama-”
“Aku tidak mau,” potong Axton.
“Dia tidak akan memakai barang bekas.”
Jenn terdiam, lalu menghela napas.
“Kalau begitu, apa yang harus dia pakai?”
Axton mengangkat bahu, sedikit miring. “Itu urusan dia.”
Liora tersenyum miring, bukan karena senang, tapi karena ucapan itu terlalu keterlaluan.
“Kalau memang urusanku, berarti aku pulang sebentar dan-” ucapan Liora terhenti.
“Kau tetap bodoh kalau melakukannya,” potong Axton cepat. Kali ini nadanya sedikit lebih rendah, seperti peringatan.
Jenn melirik Liora, matanya memberi pesan samar, jangan memancingnya. Tapi Liora justru semakin ingin memancing.
“Kalau aku tetap di sini tanpa pakaian cukup, apa kau mau menanggungnya?”
Axton kembali menunduk pada piringnya, lalu berkata datar, “Aku sudah bilang, aku lebih suka wanita tanpa apa-apa. Tidak sulit dimengerti.”
Kursi Liora bergeser sedikit ke belakang. Ia menegakkan punggung, matanya tetap tertuju padanya, penuh kemarahan yang ditahan. Di kepalanya, ia berjanji suatu hari akan membalas tatapan dingin itu dengan sesuatu yang membuat Axton berhenti bersikap dingin dan semena-mena kepadanya.
Jenn, sudah merasakan suhu emosional yang semakin naik, berdiri perlahan.
“Baiklah, aku akan lihat apakah ada kain yang bisa dijadikan pakaian sementara.” Ucapannya seperti alasan untuk pergi dari ruangan itu.
Begitu Jenn meninggalkan ruang makan, hanya ada keheningan di antara mereka. Axton tetap makan, seolah tidak terjadi apa-apa. Liora, yang masih duduk di seberangnya, memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa lagi. Setidaknya untuk saat ini. Tapi tatapan tajamnya tidak bergeser, mengunci pada sosok pria dihadapannya.
Axton sempat melirik sebentar, lalu kembali menunduk.
“Kalau kau terus menatapku seperti itu, aku akan menganggapmu sedang memintaku melakukan sesuatu.”