Eps. 9 Menu Yang Berbeda

1246 Words
Dylan menoleh ke samping kiri menatap Kana. Melihat kelopak mata basah Kana, ada sedikit rasa bersalah yang menyisip masuk ke relung hatinya. Apakah wanita itu bersedih karena dirinya? Bersedih karena telah memaksa Kana melakukan perawatan full pada dirinya? Jika saja ia bisa melakukan semua itu sendiri maka dia tak akan meminta bantuan dari Kana. Dylan pun sebenarnya tak ingin berada lama dalam kondisi disabilitas seperti ini. Tapi dia sendiri juga sedang berusaha kembali pada kondisi normalnya. Mungkin Kana bisa membantu dirinya bebas dari ini semua. Tangan kanan Dylan terulur ke udara, menyentuh kelopak mata Kana. Dengan tangan sedikit gemetar, Dylan mengusap sisa air mata yang hampir mengering di sana. Beruntung, Kana masih terpejam kala ia menyentuh. "Sembuhkan aku ... maka aku akan membuatmu bahagia." Dylan menatap lekat Kana. Dalam kondisi begini ia nampak normal, tidak seperti tadi. Hanya beberapa detik dia menarik kembali tangannya dari muka Kana, takut bila Kana terbangun olehnya. Tentu gadis itu akan salah paham padanya, parahnya lagi mungkin akan takut padanya. Padahal dia tidak melakukan apapun. Jika itu sampai terjadi maka dia harus kembali pada pelayanan yang ada di rumah. Entah dugaanya benar atau tidak, Dylan merasa pelayan di rumah ini semuanya tidak beres kerjanya. Hanya saja dia tidak punya bukti dengan asumsinya itu. "Aku lelah." Dylan menarik pandangan dari Kana, lalu berusaha memejamkan mata. Seluruh tubuhnya setiap hari terasa sakit tidak karuan. Dimana pun itu setiap bagian tubuhnya terasa pegal dan kaku semua. Padahal tidak ada aktivitas yang dia lakukan selain duduk di kursi roda seharian. Tapi baginya itu sungguh melelahkan. Andai saja dia bisa berjalan normal seperti dulu, tentu dia tak perlu merasakan hidup menyedihkan seperti ini. Tak berdaya duduk di kursi roda. Pagi hari, Kana terbangun mendengar suara kicau burung di luar sana. "Apa ini sudah pagi?" Kana duduk kemudian turun bergeser ke sisi jendela yang ada di samping tempat tidur. Pelan ia singkap gorden. Dari kaca bening itu nampak di luar sana beberapa burung bertengger di pohon dengan kicauannya yang merdu. Sejenak rasa lelahnya dan sedihnya lenyap untuk sesaat. Kana menatap intens beberapa burung bisa hidup dengan bebas di luar sana menentukan apa yang dia mau berbeda dengan dirinya yang tak punya hak untuk memutuskan masa depannya hanya karena sebuah surat wasiat. Sungguh, dia merasa iri dengan mereka. Aku ingin ke kamar mandi sekarang. Tak ada yang tahu jika Dylan sebenarnya sudah bangun hanya saja dia tak bersuara. Pria itu beringsut dengan berpegangan pada kasur untuk duduk. Bahkan untuk duduk saja ia perlu mengerahkan semua tenaganya. Sungguh, bahkan ia sendiri tak tahu sejak kapan dirinya harus berakhir di kursi roda seperti ini. Apa dia belum selesai memandangi sesuatu di luar sana? Dylan mencari sosok Kana dan menemukan gadis itu berada di daun jendela, menatap burung di luar sana. Ingin Dylan memanggil namun dia tak tega juga mengganggu Kana yang saat ini merekahkan senyum di bibir merahnya. Apa aku sebaiknya coba untuk berdiri? Dylan bisa bergeser hingga ke tepi kasur. Di depannya persis ada kursi rodanya. Dia mengulurkan tangan menggapai kursi roda tersebut sebagai pegangan untuknya berdiri. Dengan susah payah Dylan bisa berdiri di kedua kakinya. Hanya tiga detik dan tubuhnya kembali roboh ke kasur. Suara dentuman tubuh Dylan, mengagetkan Kana. Membuat gadis itu dengan cepat menoleh mengunci pandangannya pada sosok yang kini terbaring di tempat tidur. "Astaga! Apa yang kamu lakukan?" Kana segera bergeser ke sisi Dylan. "Aku mau ke kamar mandi. Aku mau pispot." Sungguh Kana kembali bergidik setelah mendengar kata tersebut. Hal itu yang paling dihindari dan paling ditakutkannya memaksanya harus melakukan hal tersebut kembali. "Itu ... aku ambilkan sekarang." Kana lalu membawa Dylan ke kursi roda. Sebelum pergi ke toilet dia membuka nakas yang ada di samping tempat tidur. Barangkali saja dia menemukan sarung tangan karet di sana atau sejenisnya yang bisa dipakai. "Apa yang kamu cari kenapa lama sekali?" "Sarung tangan. Apa itu ada di sini?" "Di laci kedua." Cepat Kana membuka bagian yang disebut oleh Dylan, terlepas itu benar atau tidak karena saat itu Dylan kembali tertawa mengerikan menatap Kana. Beruntung, Kana menemukan sarung tangan yang dia cari, sebuah sarung tangan karet berwarna putih gading. Cepat ia tutup lagi kembali lalu segera pakai sarung tangan. Setelahnya dia mendorong Dylan ke toilet. "Kamu bisa melepas celanamu sendiri?" Kana kemudian mendesau kala teringat jika Dylan tak bisa melakukan itu sendiri. "Tidak bisa." "Baiklah, aku akan membantumu." Kana lalu berjongkok di depan Dylan. Pelan ia tarik resleting hingga terbuka. Kemarin pertama kali ia melihat isinya membuatnya pingsan terlebih saat menyentuhnya. Ia berharap kali ini tidak akan terjadi lagi. Setelahnya Kana mengambil pispot yang ada di dekatnya, dengan mengenakan sarung tangan ia memegang milik Dylan, membawanya masuk pada pispot. Meski tidak menyentuhnya secara langsung namun tangannya itu masih terlihat gemetar saat memegang milik Dylan. Terdengar suara panjang seperti keran air yang dibuka dalam pispot itu. Kana menundukkan wajah, masih memegangi pispot tersebut. Aku senang kamu tidak pingsan lagi hari ini melihat milikku. Sedih rasanya jika melihatmu begitu. "Sudah selesai," ujar Dylan. "Baik, tunggu dulu." Kana menaruh kembali pispot di kamar mandi kemudian membilasnya hingga bersih. Lalu ia kembali merapikan celana Dylan. Masih gemetar tapi tidak membuat tubuhnya pingsan. Baru saja Kana mendorong kembali kursi roda, terdengar suara ketukan pintu. "Masuk." Bukan Kana yang menjawab melainkan Dylan. Namun Kana yang berjalan ke pintu untuk membuka karena pintu masih dalam kondisi terkunci, ia sendiri semalam yang mengunci pintu kamar, karena sudah terbiasa begitu di rumahnya sana. Pintu terbuka. Dari balik pintu menyembul sosok pelayan dengan membawa troli berisikan hidangan sarapan. "Sarapan pagi untuk Den Dylan dan Anda, Non." "Terima kasih, bawa masuk saja." Pelayan mengangguk lalu mendorong troli masuk. "Jadi, ayah atau ibu tidak mengajak kami untuk makan bersama seperti semalam?" lontar Kana. "Tidak, Non. Bapak bilang agar mengantarkan sarapan pagi ke sini saja agar kalian lebih akrab, bilangnya begitu." Kana mengangguk. "Bagus itu." Tiba-tiba saja Dylan bersuara kala pelayan berpamitan pergi dari kamar mereka. Jangan lupakan senyumnya. Tapi senyum Dylan kali ini tidak menakutkan seperti biasa. Membuat Kana terdiam merespons. "Mau makan sekarang?" tawar Kana. "Pindahkan aku ke kasur dulu." Tanpa menjawab Kana kemudian membantu Dylan berdiri lalu memindahkannya duduk di kasur. "Kamu mau makan apa?" "Nasi saja." "Apa?!" Begitu banyak hidangan makanan, beraneka menu kenapa yang dipilih hanya nasi saja? Malahan pelayan tadi bilang, ada makanan khusus yang disiapkan untuk Dylan. Jadi sarapan untuk dirinya dan Dylan berbeda. Apa pria ini yang benar i***t ya, semalam dia makan semua hidangan mau. Tapi pagi ini dia hanya mau makan nasi? Aneh sekali. "Ambilkan sekarang," balas Dylan. Kana menampilkan seporsi nasi untuk Dylan, meski pria itu melarangnya mengambilkan lauk dan sayur yang ada di sana, tetap saja Kana mengambilkan sedikit lauk dan sayur, masakan khusus untuk Dylan. Menurutnya sayang jika sudah dimasakkan sebanyak ini tapi tidak dimakan, kasihan pelayan yang memasak itu. "Buka mulutmu." "Aku tidak mau sayur dan lauk itu." Dylan mengalihkan pandangan dari Kana saat wanita itu sudah duduk di sampingnya. "Apa kamu biksu hanya makan nasi saja? Jika kamu hanya mengisi bertemu dengan nasi saja maka tubuhmu semakin lama akan semakin kurus karena malnutrisi." Ancaman dari Kana mampu membuat Dylan takut, hingga pria itu terpaksa menurut lalu membuka mulut. Kana mulai menyuapkan sarapan pagi hingga piring itu kosong. Setelahnya ia ganti sarapan dengan menu lain, yang disiapkan untuk dirinya. Kenapa menu kami dibedakan? Sudahlah, mungkin makanan pria ini dicampur sesuatu, semacam obat penyembuh begitu. Kana mengambil seporsi sarapan pagi lalu menyuap hingga habis. Lima menit setelah ia selesai sarapan, tiba-tiba saja Dylan bersikap aneh. Pria itu tanpa sebab tertawa sendiri, menatap Kana. Sungguh mengerikan tawa itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD