Malam kembali turun di atas langit Jakarta. Di apartemen kecil yang tersembunyi dari radar publik, Alika berdiri di depan cermin kamar mandi. Wajahnya basah oleh air, tapi sorot matanya lebih hidup daripada dua malam lalu. Ia mulai bisa tidur. Mulai bisa bernapas tanpa bayang-bayang Rayven mencekik di belakang tengkuknya. Dan semua itu... karena Nathaniel.
Ia menyentuh luka tipis di pelipisnya—sudah mulai sembuh. Tapi luka di hati masih baru. Dan entah kenapa, setiap kali Nathaniel menyentuh tangannya, menatap matanya, ia merasa... seolah tidak sedang sendirian.
Pintu apartemen diketuk tiga kali.
Alika membuka. Nathaniel berdiri di sana, membawa map cokelat dan kantong plastik berisi makanan dari restoran Thailand langganannya.
“Aku bawa makan malam. Dan… dokumen gugatan cerai.”
Alika tersenyum kecil. “Kamu selalu datang di saat yang pas.”
Nathaniel masuk, meletakkan berkas di meja makan.
“Jadi, kamu beneran akan bantu aku urus semuanya?” tanya Alika pelan.
Nathaniel menatapnya dengan tatapan tenang, namun sorot matanya menyiratkan ketegangan yang tak bisa ia sembunyikan lagi. “Ya. Aku akan pastikan kamu bebas dari dia. Dan aman.”
Mereka duduk berhadapan. Wajah Alika tampak lebih lembut malam ini—tanpa riasan, hanya dengan piyama satin biru muda yang memperlihatkan garis leher dan bahu yang masih memar samar. Nathaniel menelan ludah pelan. Ia mencoba fokus pada dokumen, tapi pikirannya mulai kabur.
“Aku perlu kamu tanda tangan di sini, bagian pengajuan kekerasan sebagai alasan utama. Aku lampirkan foto-foto luka dan rekam medis dari klinik yang kamu kunjungi dulu.”
Alika meraih pena. Saat jemarinya menyentuh kertas, tangan Nathaniel masih di sana.
Tatapan mereka bertemu.
Seketika, keheningan merambat. Bukan hening yang nyaman—melainkan hening yang penuh tekanan. Seperti sesuatu yang sudah terlalu lama ditahan.
“Aku…” Alika menarik napas. “Aku mulai percaya kamu, Nathan.”
Nathaniel tak menjawab.
“Dan itu menakutkan. Karena aku tahu, kamu terlalu sempurna untuk jadi nyata.”
Wajah Nathaniel menegang. Ia ingin bicara. Tapi belum sekarang.
Alika melanjutkan, “Setiap kali kamu ada di dekatku, aku merasa aman. Tapi juga bingung. Aku tahu kamu bukan milikku, tapi…”
Tiba-tiba, Nathaniel bangkit. Ia berjalan ke balkon, menarik napas dalam-dalam. Tangannya mengepal di pinggir jendela. Ia tahu, ini saatnya bicara. Tapi saat mulutnya hendak terbuka, ponselnya bergetar.
Aurelia Santoso 💍
“Nathan, kita harus bicara. Aku tahu tentang dia. Kamu jangan anggap aku bodoh.”
Nathaniel menatap layar itu lama, sebelum akhirnya mematikan layar.
Tapi ketika ia berbalik… Alika sudah berdiri di belakangnya.
“Kamu kelihatan... gelisah,” katanya pelan.
Nathaniel mengangguk. “Aku harus jujur.”
Alika mengerutkan dahi. “Tentang apa?”
“Alika…” suara Nathaniel rendah, nyaris serak. “Aku tunangan seseorang. Namanya Aurelia. Kami sudah bersama beberapa tahun. Pernikahan kami sudah direncanakan sejak lama. Dan…”
Alika mundur satu langkah, seolah kata-kata itu seperti tamparan.
“…hubungan kita, apapun ini sekarang, tidak boleh melewati batas. Aku tetap akan bantu kamu. Aku akan lindungi kamu sampai sidang selesai. Tapi kita harus profesional.”
“Profesional?” suara Alika mulai meninggi. “Setelah semua yang kita alami? Setelah kamu cium aku? Setelah kamu buat aku percaya bahwa aku aman di dekat kamu?”
Nathaniel menatapnya. Matanya jelas tersiksa. “Justru karena aku peduli, aku nggak mau kamu terluka lebih dalam. Kamu butuh perlindungan, bukan hubungan rebound dengan pengacaramu.”
Alika tertawa getir. Air matanya mulai menggenang. “Jadi aku ini... cuma klien? Atau cuma seseorang yang kamu tolong karena rasa kasihan?”
“Bukan!” Nathaniel hampir membentak. “Kamu bukan mainan. Aku nggak pernah anggap kamu begitu.”
Alika berjalan mendekat. Ia berdiri sangat dekat hingga d**a mereka hampir bersentuhan.
“Kamu bisa bilang itu... tapi tubuh kamu bilang lain. Tatapan kamu bilang lain. Kamu menggenggam aku malam itu seperti aku milikmu.”
Nathaniel menahan napas. Ia ingin menyangkal, tapi lidahnya kelu.
Lalu tiba-tiba Alika menarik lehernya, dan sebelum Nathaniel bisa berpikir, bibir mereka sudah bertemu dalam ciuman yang liar—berbeda dari sebelumnya. Ini bukan kelembutan. Ini marah. Ini putus asa. Ini keinginan yang tak bisa dibendung.
Tangan Nathaniel otomatis melingkari pinggang Alika, menarik tubuhnya lebih erat. Ciuman mereka makin panas, penuh nafsu yang tak pernah diberi izin untuk meledak.
“Tell me to stop,” bisik Nathaniel di sela napas berat.
“Jangan berani berhenti,” balas Alika.
Tangan mereka saling menjelajah, tubuh menempel erat, napas mereka memburu.
Tapi…
Nathaniel tiba-tiba menghentikan semuanya. Ia memegang wajah Alika, menatap matanya dalam-dalam.
“Kalau aku terusin... aku nggak bisa jamin hubungan kita akan tetap utuh setelah ini. Aku nggak mau kamu bangun besok pagi dengan rasa bersalah.”
Alika menggigit bibir bawahnya, menahan emosi. “Kamu terlalu banyak mikir.”
“Aku pengacara,” jawab Nathaniel getir. “Aku dibentuk untuk berpikir sebelum jatuh.”
Keheningan jatuh lagi di antara mereka. Tapi kali ini, lebih berat. Lebih menyakitkan.
Akhirnya, Nathaniel mundur. Ia mengambil jasnya, merapikan map dokumen yang tadi dibawa.
“Kamu tetap di sini. Sampai sidang. Aku akan pastikan tempat ini aman. Tapi... untuk kita? Aku... nggak yakin ada masa depan.”
Alika menatapnya penuh luka. Tapi ia tidak mengejarnya. Tidak memohon.
“Pergilah, Tuan Pengacara.”
Dan Nathaniel pun pergi.
Begitu pintu tertutup, Alika duduk di lantai, punggungnya bersandar di dinding. Air mata jatuh tanpa bisa ditahan.
Untuk pertama kalinya sejak kabur dari Rayven… ia merasa patah oleh pria yang menyelamatkannya.
Tapi di luar jendela... dari gedung seberang, lensa kamera mengarah padanya. Dan sosok wanita elegan dalam gaun hitam—Aurelia—melihat langsung ke arah apartemen itu.
Ia memejamkan mata, lalu mengirim pesan.
Aurelia: “Aku ingin bertemu. Tapi kali ini… sebagai sesama wanita. Bukan tunangan pengacaramu.”
***
[Malam sebelumnya – Lokasi Rahasia]
“Dia mulai proses cerai?” suara Rayven terdengar dari dalam mobil hitam yang remang-remang.
“Ya, Bos,” jawab anak buahnya, seorang pria kurus berjaket kulit. “Pengacaranya si Nathaniel Baskara. Firma hukumnya udah urus suratnya ke PN Jakarta Selatan.”
Rayven tersenyum miring. Tapi sorot matanya gelap. “Berani-beraninya pengacara itu menantangku. Dan Alika... dia pikir bisa kabur dari dunia ini hanya dengan tanda tangan?”
Ia membuka layar tablet—di sana, muncul rekaman CCTV diam-diam dari apartemen Alika. Tampak Nathaniel sedang duduk di ruang tamu, menyodorkan dokumen cerai.
“Pantau terus mereka. Aku mau tahu tiap detik mereka bersama. Dan siapkan skenario 'kecelakaan' kalau pengacara itu makin sok pahlawan.”
Anak buahnya menelan ludah. “Baik, Bos.”
Rayven menatap layar lebih lama.
“Kalau kamu nggak bisa kumiliki, Alika... kamu juga nggak bisa kumenangkan oleh orang lain.”
---
Follow me on IG: @segalakenangann