Gelap dan Getar

1006 Words
Alika berdiri di tengah apartemen barunya, menatap jendela kaca besar yang menyuguhkan pemandangan kota Jakarta yang tengah hujan. Butiran air membentuk garis-garis di permukaan kaca, menciptakan irama pelan yang menenangkan pikirannya yang kacau. Satu malam telah berlalu sejak ia kabur dari rumah besar penuh kekerasan. Dan kini, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia bisa menghela napas tanpa takut suara langkah kaki di balik pintu. Ia mulai membiasakan diri dengan tempat itu. Dapur kecil dengan peralatan sederhana, kamar tidur bersprei putih, dan ruang tamu mungil yang nyaman. Ia menyusun barang-barangnya: beberapa pakaian, dompet, dan satu tas berisi buku-buku kuliah yang selama ini tertumpuk tak tersentuh. Dengan selimut melilit tubuh, ia duduk di atas sofa dan membuka laptop. Folder “Semester 8” terbuka. Di dalamnya ada jurnal tugas mata kuliah hukum keluarga dan draft tesis yang nyaris ia lupakan. Ia menatap layar beberapa saat sebelum akhirnya mulai mengetik pelan, mencoba menghubungkan kalimat-kalimat yang dulu ia tinggalkan. Waktu berlalu tanpa terasa. Hujan masih turun di luar, seperti pengawal setia yang menjaga ketenangan. Namun tiba-tiba— Klik. Listrik padam. Lampu mati serentak. Layar laptop langsung gelap. Mesin pendingin berhenti. Hanya suara hujan dan detak jantungnya yang kini terdengar jelas. Alika membeku. Ia menoleh ke sekeliling, lalu berdiri perlahan. Tidak mungkin ini kebetulan. Apartemen mewah seperti ini tidak seharusnya mati listrik tanpa peringatan. Tidak di sore hari. Ia menelan ludah, menahan napas, dan perlahan meraih ponselnya. Alika: Nathan, listrik di apartemenku mati. Kamu yakin tempat ini aman? Typing... Tidak ada jawaban. Ia mengirim pesan kedua, lalu menelepon. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.” Dadanya mulai sesak. Jari-jarinya gemetar saat mengambil pisau dapur dari laci. Bunyi kecil terdengar dari depan. Mungkin hanya angin. Mungkin... Lalu— “Cekrek.” Pintu terbuka. Alika menahan napas, memegang pisau erat-erat, tubuhnya menegang. Ia mendekat pelan ke arah pintu masuk. Langkah kaki. Bayangan masuk ke dalam. Dengan sisa keberanian yang tersisa, ia mengayunkan pisau ke depan sambil berteriak, “JANGAN DEKAT-DEKAT!” “Lika!” Suara itu menghentikannya. Nathan. Lelaki itu berdiri di ambang pintu, tubuhnya basah kuyup, kemejanya menempel erat di tubuhnya. Nafasnya memburu, rambutnya berantakan. Alika menjatuhkan pisaunya, wajahnya langsung pucat. “Kenapa kamu nggak jawab telepon?” suaranya pecah. Nathan mendekat. “Maaf. Aku di kantor bawah tanah. Sinyalnya jelek. Begitu lihat pesanmu, aku langsung ke sini.” Ia memandang sekeliling. Gelap. Sunyi. Lalu matanya kembali pada Alika yang masih berdiri gemetar di ruang tengah. “Kamu sendirian waktu listrik mati?” tanyanya pelan. Alika mengangguk. “Aku pikir seseorang masuk... aku pikir Rayven sudah—” Nathan langsung menariknya ke dalam pelukan. Tubuh Alika menegang, tapi hanya sebentar. Dalam pelukan itu, ketakutannya luruh. Tangan Nathan membelai rambutnya, dan satu lengannya melingkari punggung Alika dengan kokoh. Ia mendekapnya erat, seolah sedang mencoba membungkus seluruh trauma yang melekat di tubuh wanita itu. “Nggak ada yang akan menyentuh kamu lagi,” bisik Nathan. “Selama aku masih bernapas.” Alika mengangkat wajahnya, memandangnya dari jarak sangat dekat. Nafas mereka saling bersentuhan. Mata mereka terkunci. Tubuh Nathan masih basah. Alika bisa merasakan hawa dingin dari bajunya, tapi juga panas dari tubuhnya. Matanya turun ke bibir Nathan, lalu kembali ke matanya. “Kenapa kamu baik banget sama aku?” gumamnya lirih. “Karena kamu pantas dapat perlindungan. Dan aku… aku nggak bisa diem aja ngeliat kamu disakiti.” Alika mengangkat tangannya, menyentuh sisi wajah Nathan. Sentuhannya lembut, tapi cukup untuk membuat Nathan menahan napas. “Kamu gemetaran,” gumamnya. Nathan menarik napas tajam. “Karena aku berusaha nahan diri.” Alika tersenyum tipis. “Dari apa?” “Dari mencium kamu sekarang.” Hening menggantung. Tapi tidak menakutkan. Justru membakar. Lalu… Nathan menunduk. Wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Alika. Tapi ia tak menyentuh bibirnya. Hanya diam, napas mereka bersilangan, dan tangan mereka saling menggenggam erat. “Kalau aku cium kamu sekarang…” bisik Nathan, “aku nggak tahu apakah aku bisa berhenti.” Alika menutup matanya. “Aku nggak akan minta kamu berhenti.” Dan ketika bibir mereka akhirnya bertemu, ciuman itu tidak tergesa. Tidak rakus. Tapi penuh muatan yang tak bisa mereka tahan lagi. Tangan Nathan memeluk pinggang Alika, menarik tubuhnya lebih dekat. Tubuh mereka saling menempel. Desah napas Alika pecah di bibir Nathan. Namun sebelum mereka terlalu larut, Nathan berhenti. Ia membuka mata, menatap wajah Alika yang kini memerah dan sedikit terengah. “Kita harus pelan-pelan,” katanya dengan suara rendah. “Aku bukan orang yang kamu butuhkan hanya untuk mengisi kekosongan. Aku mau lebih dari itu.” Alika menatapnya lama. Lalu mengangguk perlahan. “Aku juga.” Nathan mengusap pipinya, lalu mengecup keningnya singkat. Tapi hangat. “Sekarang, biar aku nyalain genset cadangan. Aku udah minta teknisi datang. Kamu harus tetap merasa aman di sini.” Alika memandang Nathan berjalan ke arah dapur, lalu menghilang di balik lorong menuju panel listrik. Tapi hatinya belum tenang. Karena sebelum Nathan masuk tadi, ia yakin ia mendengar suara langkah kaki dari arah balkon luar. Dan di sudut meja dekat jendela… ada bekas air—seolah seseorang telah berdiri di sana sebelumnya. Bukan Nathan. *** Sementara itu, di sebuah mobil hitam yang terparkir tiga lantai di bawah apartemen, dua pria duduk dalam diam. Satu di antaranya mengenakan jaket kulit gelap, tangan kirinya memegang kamera kecil dengan lensa tele. Pria itu memperbesar layar. “Nah... kelihatan. Cowok itu masuk tadi. Kayaknya si pengacara,” katanya. Di kursi sebelah, pria dengan setelan jas biru muda duduk tenang. Ia mengenakan arloji mahal dan cincin emas di jari manis kanannya. Rayven Hartadi. Mata pria itu menyipit. Ia menyentuh layar tablet yang menunjukkan peta apartemen SCBD dan satu titik merah—posisi pelacak dari kalung liontin yang pernah ia berikan pada Alika. Ia menyusupkan pelacak itu di balik ukiran, dan Alika tak pernah tahu. “Dia pikir bisa lari begitu saja?” gumam Rayven. “Perintah, Bos?” Rayven tersenyum tipis. “Belum. Aku ingin tahu sampai sejauh apa si pengacara itu main aman. Kita lihat... berapa lama dia bisa menahan diri.” --- Follow me on ig: @segalakenangann
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD