Nathaniel menatap jalanan Jakarta dari balik kaca mobilnya yang basah oleh sisa hujan sore. Setiap lampu jalan yang berpendar melebur bersama pikirannya yang kusut. Tangan kirinya bertumpu di pelipis, sementara jari-jarinya mengetuk pelan, pertanda gelisah yang tak bisa ia sembunyikan. Ia baru saja mengantarkan Alika kembali ke Komnas. Bayangan wajah wanita itu, dengan tatapan penuh luka bercampur cinta, masih melekat di pelupuk matanya. Seolah masih ada aroma samar parfum Alika yang terbawa hingga ke dalam mobil. Namun kini mobil yang dikendarai supirnya melaju menuju rumah keluarga Aurelia. Ia tahu betul apa yang menantinya di sana—pembicaraan tentang pernikahan yang entah sejak kapan terasa seperti jerat yang mencekiknya. Nathaniel mendesah pelan, mencoba menenangkan dirinya. “Ini hany

