Nathaniel masih terdiam di teras villa ketika Alika keluar menyusulnya. Udara Bandung sore itu dingin, samar-samar aroma hujan sore masih tertinggal di udara. Lembayung senja perlahan tenggelam di balik pegunungan, meninggalkan cahaya oranye pucat yang jatuh di wajah Alika. Ada keheningan aneh, bukan hanya karena udara dingin, melainkan juga karena kalimat yang Alika ucapkan sebelumnya. “Aku mencintaimu, Nathan,” suara itu masih bergema di kepalanya, seakan berulang-ulang, merobek bagian terdalam dirinya yang tidak ingin ia buka. Nathaniel menatapnya. Alika berdiri tidak jauh darinya, kedua tangannya terlipat di depan tubuh, seperti berusaha menghangatkan diri sekaligus menyembunyikan rasa cemasnya. Senyumnya ada, tapi tipis, penuh keraguan. “Aku tahu kamu mungkin belum ingat semuanya,”

