4.Handuk Melorot

1374 Words
Pagi hari, Caroline masih setengah sadar. Ia mengigau, tangannya spontan meraba tubuh kekar di sampingnya. “Mmm… hangat sekali…” gumamnya dalam mimpi. Tangannya menyusuri d**a bidang Alessandro, turun ke perut sixpack yang keras, hingga lebih ke bawah. Tangannya terus meluncur hingga menyentuh pusaka Alessandro yang tengah berdiri gagah. Alessandro tersentak, matanya terbuka lebar. “Oh, damn! Sialan… apa yang kau lakukan?!” suaranya berat, serak, bercampur kaget. Caroline terbangun, matanya langsung melebar. “A-apaa? Aku…” Ia cepat menarik tangannya, wajahnya merah padam. Alessandro langsung menindih tubuh Caroline, menatapnya tajam dari atas. “Kau sadar barusan kau sudah membangunkan sesuatu yang seharusnya tetap tidur?” desisnya penuh tekanan. “T-tuan… aku tidak sengaja… sumpah…” Caroline menelan ludah kasar, tubuhnya gemetaran, tapi jantungnya berdegup kencang. Alessandro menunduk lebih dekat, bibirnya nyaris menyentuh telinga Caroline. “Jangan memancingku, Caroline. Kalau aku benar-benar menyalurkan ini padamu… aku pastikan kau tak akan bisa berjalan normal besok.” Caroline menggigit bibir, matanya berair. “Aku… aku benar-benar tidak bermaksud…” bisiknya, tapi tatapannya yang gugup justru semakin menyalakan api di dalam Alessandro. Ia berusaha bangkit, tapi pandangannya tertumbuk pada tubuh Caroline yang hanya berbalut lingerie tipis transparan. Putih kulitnya terlihat jelas, lekuknya terbentuk sempurna. Alessandro menggertakkan gigi. “Damn… pakaianmu itu… kau pikir aku patung?!” Caroline buru-buru merapatkan selimut ke dadanya. " Ini hanya piyama tidur Tuan…” Alessandro mengacak rambutnya frustrasi. “Kalau aku bertahan di sini… aku akan kehilangan kendali.” Ia bangkit dengan kasar, turun dari ranjang, lalu melangkah cepat ke kamar mandi. Pintu ditutup keras. Di balik pintu, Alessandro menahan nafas, tubuhnya tegang. Ia menyalakan shower, air dingin mengguyur tubuhnya. Tapi justru makin panas. “Sial… kenapa tiap aku bayangkan wajahnya… imajinasi ini makin gila…” Tangannya mencengkeram dinding, matanya terpejam. “Caroline… kau benar-benar berbahaya…” Caroline terbangun karena mendengar suara aneh dari dalam kamar mandi. Ia mengernyit. “Suara apa itu…? Apa yang sebenarnya dia lakukan di dalam sana?” bisiknya, penasaran. Ia mendekat, menempelkan telinga ke pintu. Dari dalam, terdengar gemericik air dan desahan tertahan. Caroline menelan ludah. “Astaga… jangan bilang dia lagi…” Tak lama, pintu kamar mandi terbuka. Alessandro keluar hanya dengan handuk melilit pinggang. Caroline yang masih menempel di pintu hampir terjatuh. “Ahhh!” jerit kecilnya. Refleks Alessandro menangkapnya. Caroline terperangkap dalam dekapan, lengannya melingkar di leher pria itu. Mata mereka bertemu. Hanya sekejap, tapi jantung Caroline berdegup kencang. “Duh… deg-degan banget…” gumamnya lirih. Sementara Alessandro menatapnya dalam hati. “Kenapa jantungku ikut berdebar? Tidak mungkin aku menyukainya… semua wanita sama saja.” Ia segera sadar, melepaskan tangannya dari pinggang ramping Caroline. “Lepaskan,” ucapnya dingin, penuh tekanan. Caroline terperangah. “O-oh iya…” buru-buru ia menjauh. Namun tanpa sengaja tangannya menarik ujung handuk Alessandro. “Eh!” Caroline terbelalak. Handuk melorot jatuh ke lantai. Seketika terlihat jelas pusaka Alessandro yang berdiri gagah, panjang berurat. Caroline menutup mulutnya dengan tangan namun membuka sedikit lewat celah jari-jarinya, wajahnya memerah. “Ya ampun… gede banget… pantesan aku sampai mimpi basah semalam,” ucapnya dalam hati, gemetaran. Alessandro mendengus kesal, cepat-cepat meraih handuk lalu mengenakannya kembali. “Tsk.” Ia berjalan ke wardrobe, mengambil kemeja putih, celana hitam, dan gesper. Caroline hanya berdiri terpaku, matanya masih menyimpan bayangan tadi. “Ini rezeki nomplok namanya… barang bagus tidak boleh dilewatkan,” gumamnya dalam hati, pipinya memanas. Alessandro selesai berpakaian, merapikan rambut dengan gel, lalu mengambil skincare dan memakainya sekilas. Tatapannya dingin, sama sekali tidak menoleh ke Caroline. “Jangan terlalu lama berkhayal. Aku ada urusan,” katanya ketus, sebelum melangkah keluar kamar. Pintu tertutup keras. Caroline masih terpaku di tempat, tubuhnya lemas. “Hhh… astaga… tadi beneran nyata kan? Gak kebayang… gimana kalau dia bener-bener serius sama aku?” ucapnya sendiri sambil memeluk bantal. “Tok tok!” Caroline menoleh ke pintu. “Masuk!” jawabnya cepat. Lima orang maid masuk sambil membungkuk. “Selamat pagi, Nona. Saatnya mandi pagi,” kata salah satu dengan ramah. Caroline mendengus, setengah malas. “Huft… berasa kaya ratu aja aku.” Maid lainnya tersenyum kecil. “Air hangat sudah kami siapkan. Silakan masuk.” Caroline diarahkan ke kamar mandi. Saat ia mencuci muka dengan air hangat, maid-maid lain menyiapkan bath tub penuh busa wangi. Caroline pun masuk, tubuhnya terendam. “Silakan rileks, Nona. Biar kami pijat supaya tubuh Anda segar kembali,” ucap seorang maid sambil mulai memijat bahunya perlahan. Caroline mendesah nyaman. “Mmm… ini baru enak… diperlakukan kaya putri raja… gak rugilah menikah i si Alesandro walaupun sedingin es kutub utara.” Saat Caroline sedang berendam, salah satu maid berbisik sambil menahan tawa. “Eh, Nona… tau nggak? Di bawah ada Tuan Brayan.” Caroline mengangkat alis. “Brayan? Siapa itu?” Maid lain menutup mulut sambil cekikikan. “Itu lho… kekasihnya Tuan Alessandro.” Caroline terperanjat. “Eh?! Kekasih? Maksud kalian… dia gay?” Para maid saling pandang, sebagian pura-pura sibuk, sebagian menunduk menahan tawa. Caroline memutar bola matanya. “Jadi Alessandro… punya pacar cowok bernama Brayan?” tanyanya lagi menegaskan. Semua maid tiba-tiba diam seribu bahasa. " Maaf sepertinya kita keceplosan,"ucap salah satu maid menunduk. “Huh, dasar nggak guna. Nyawa saya jadi taruhan. Pantesan saya godain nggak mempan sama sekali,” gerutu Caroline dalam hati, mendengus kesal. Setelah selesai mandi, ia keluar dengan kimono satin yang anggun. “Cepat dandani aku secantik mungkin. Aku mau turun, mau lihat segagah apa saingan aku itu.” “Baik, Nona,” jawab salah satu maid sambil menyiapkan perlengkapan make up. Caroline duduk di depan meja rias. Rambutnya dicurl perlahan, wajahnya dipulas tipis dengan make up natural, lalu bibirnya diberi sentuhan lipstik merah muda. “Cantik sekali, Nona,” puji seorang maid. “Hm, memang harus cantik. Aku harus buktikan kalau aku jauh lebih mempesona dari… siapa tadi? Brayan?” Caroline mendengus kecil. Ia mengenakan high heels, lalu mengambil botol parfum. “Spray sedikit di leher sama pergelangan tangan, biar wanginya nempel.” Seorang maid buru-buru membantu menyemprotkan. “Sudah pas, Nona. Anda wangi sekali.” Caroline tersenyum tipis. “Bagus. Sekarang antar aku. Aku ingin melihat mereka dengan mata kepala sendiri.” “Baik, Nona.” Para maid berjalan di depan, menuntunnya keluar kamar. Langkah Caroline berderap mantap menuruni tangga, aroma parfumnya menyebar. “Di mana mereka?” tanyanya dingin. “Di ruang kerja Tuan Alessandro, Nona,” jawab salah satu maid sambil membungkuk sopan. Caroline mengangkat dagu, senyumnya tipis penuh tantangan. “Kalau begitu, ayo antar aku ke sana. Aku mau lihat wajah pria yang berani merebut hatinya.” Brayan duduk di ruang pribadi Alessandro. Wajahnya tenang, kaki disilangkan, seolah ruangan itu miliknya sendiri. Pintu terbuka. Alessandro masuk dengan langkah dingin, tatapan matanya menusuk. “Kenapa kau datang kemari?” tanyanya datar tanpa basa-basi. Brayan tersenyum kecil, tidak terintimidasi sedikit pun. “Aku hanya ingin mengunjungi sahabat baikku. Apa itu salah?” Alessandro menarik kursi, lalu duduk dengan sikap angkuh. “Kalau begitu, silakan duduk. Tapi cepat. Aku tidak punya banyak waktu.” Brayan menatapnya lama, lalu membuka suara dengan nada lebih serius. “Semalam Isabella menghubungiku. Dia bilang… dia ingin pulang ke Roma.” Alessandro mendengus sinis. “Cih. Kau datang jauh-jauh ke sini hanya untuk menyampaikan kabar basi itu? Lebih baik kau pulang.” Alis Brayan berkerut, ia mencondongkan tubuhnya ke depan. “Apa sebenarnya yang terjadi denganmu? Bukankah kau masih menginginkannya? Jangan pura-pura tidak peduli, Alessandro.” Belum sempat Alessandro menjawab, suara langkah sepatu terdengar mendekat dari luar. Caroline muncul bersama para maid, wajahnya segar setelah didandani. Salah satu maid menunduk sopan. “Maaf, Nona, kami tidak berani mengantarkan masuk ke dalam ruangan pribadi Tuan Alessandro.” Caroline mengibaskan tangannya ringan. “Tidak masalah. Aku sendiri yang masuk.” Dengan berani, Caroline membuka pintu dan melangkah ke dalam. Brayan dan Alessandro serentak menoleh. “Selamat pagi, Tuan Alessandro,” ucap Caroline manis, seolah tidak terganggu oleh kehadiran Brayan. Tanpa ragu, ia berjalan mendekat lalu langsung duduk di pangkuan Alessandro. Brayan terperangah, sementara Alessandro menegang. Caroline mengangkat tangannya, membelai wajah Alessandro dengan lembut. Tatapan matanya menembus, penuh tantangan dan pesona. “Aku ingin mengajakmu sarapan,” bisiknya menggoda. Alessandro terdiam, rahangnya mengeras. Napasnya mulai berat, naik turun tak beraturan. Matanya tak lepas dari sorot Caroline yang begitu dekat. Hasrat yang ia tekan sejak lama tiba-tiba menyeruak kembali, membuat situasi di ruangan itu mendidih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD