Hal yang paling buruk dari sebuah emosi yang terlalu berlebihan terkadang membawa kita pada kekalahan. Isyana terlalu emosi, itu membuatnya sangat sensitif dan lemah. Emosi yang begitu meluap-luap, dimanfaatkan Albi dengan baik. Membawa wanita itu pada kekalahan yang akhirnya ia terkapar lemas di atas ranjang.
Isyana membencinya, saat ia mulai menikmati sentuhan, ciuman, usapan, yang begitu memabukkan. Kali ini pun dilakukan dengan perlahan dan lembut seolah Albi begitu menikmati seolah begitu merindu. Isyana masih beranggapan apa yang mereka lakukan hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan Albi dan kewajibannya sebagai seorang istri.
“Jangan kemanapun,” Suara Albi membuat pergerakan Isyana terhenti.
Isyana tidak menjawab, tugasnya sudah selesai. Isyana tetap beranjak dari tempat tidur, mengabaikan ucapan Albi. Isyana memungut pakaian, membawanya ke kamar mandi. Usai membersihkan dirinya, ia kembali keluar dan mendapati Albi tertidur pulas di atas tempat tidurnya. Ya, saat ini keduanya masih berada di apartemen Isyana.
Melihat keadaan Albi yang terlihat begitu lelah, Isyana tidak tega membangunkannya, dengan terpaksa membiarkan lelaki itu istirahat terlebih dahulu, sebelum ia menyelesaikan kegelisahan yang selama ini berkecamuk dalam hatinya.
Rupanya butuh waktu lama menunggu sampai Albi tergantung dari tidurnya. Dua jam. Lelaki itu menghabiskan waktu untuk tidur di kamarnya selama dua jam, terlelap tanpa gangguan. Sementara itu Isyana masih menunggunya dengan gelisah.
“Aku lapar.” Ucapnya, menghampiri Isyana yang tengah duduk sofa, depan televisi.
“Disini tidak ada stok makanan, kecuali mie instan. Kamu pasti tidak mau makanan tidak sehat seperti itu.”
“Siapa bilang. Buatkan untukku.”
Isyana menghela. “Baiklah.” Ia akan kembali menuruti keinginan lelaki itu, memberinya makan tidak akan menghabiskan waktu berjam-jam bukan?
Membuat dua mie instan untuknya dan Albi, lantas mereka makan bersama.
“Kenapa kamu menghapusnya? Apakah sangat mengganggu bagimu?” Isyana ingin tahu alasan mengapa Albi menghapus postingannya.
“Jangan memposting apapun, aku tidak suka.”
“Kamu merasa terganggu?”
“Iya.”
Padahal Isyana tidak menandai Albi dalam postingannya. Kenapa lelaki itu merasa sangat terganggu.
“Aku butuh sesuatu untuk meyakinkan banyak orang, bahwa hubungan kita masih baik-baik saja dan bahagia. Foto adalah salah satu cara untuk meyakinkannya.”
“Untuk apa kamu berusaha meyakinkan mereka, kalau hidupmu baik-baik saja?” Albi tersenyum samar.
“Di duniaku, meyakinkan banyak orang adalah hal penting. Keyakinan mereka adalah salah satu cara untuk mempermudah kembali ke dunia entertainment.”
“Siapa yang memberimu izin untuk kembali ke dunia itu? Aku tidak pernah mengatakan kamu boleh kembali ke sana.”
“Selama jadi istrimu aku tidak akan bekerja tanpa izin, tapi itu hanya berlaku satu tahun, setelah itu aku akan kembali pada duniaku sendiri.”
“Begitu ya?” Nada bicara Albi terdengar menyepelekan, yang membuat emosi Isyana kembali tersulut apalagi saat ia teringat kejadian beberapa waktu lalu saat Dimas mengatakan hal yang membuatnya terkejut sekaligus takut.
“Iya. Aku tidak mungkin selamanya jadi istri kontriamu, apalagi jadi wanita bergilir yang diharuskan melayani teman-temanmu.”
Albi menatap Isyana, dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Mungkin aku sudah terlanjur menyetujui perjanjian ini, apapun yang terjadi aku tidak bisa lari.” Isyana balas menatap Albi. “Aku bersedia menjadi wanita bergilir untuk teman-temanmu, tapi jangan larang aku memposting apapun tentang pernikahan kita. setidaknya aku ingin membuktikan pernikahanku baik-baik saja, padahal kenyataannya tidak.” Isyana tersenyum samar.
“Beritahu aku, kapan giliran Dimas dan Arik, atau mungkin kamu punya teman lainnya?”
“Jadi, itu yang kami yakini?”
“Tentu. Aku mendengarnya langsung, saat Dimas mengatakannya tempo hari.”
Bahkan Albi tidak sedikitpun berusaha mengelak atau menyangkal, yang membuat Isyana semakin berpikir jauh dan liar.
“Jika itu yang kamu yakini, maka teruslah pada keyakinanmu.”
Rasa panas menjalar ke seluruh tubuh, bahkan sampai ke kedua matanya.
“Iya, lagi pula kita hanya partner. Seperti yang kamu ucapkan tempo hari, jangan melibatkan perasaan, bukan?”
Albi terdiam, mengaduk-aduk mie dalam piring tapi tidak memakannya.
“Terserah kamu saja. Aku tidak peduli.” Lelaki itu beranjak dari tempat duduknya, “Ayo pulang, atau aku akan menghubungi Dimas untuk membawamu pergi.”
“Lakukan apapun yang kamu mau, aku akan tetap di disini.” Bantah Isyana.
“Jadi, kamu tidak mau ikut denganku?”
“Tidak. Panggil saja Dimas, bukankah saat ini gilirannya?” Tantang Isyana.
Albi benar-benar pergi, meninggalkan Isyana sendiri tanpa menunjukkan rasa bersalah sedikitpun. Albi tidak mengatakan apapun lagi, ia benar-benar pergi dengan membanting pintu, meninggalkan Isyana sendiri dengan hatinya yang semakin hancur.
Isyarat merasa kepalanya terasa sakit, tenggorokannya kering bahkan nafasnya sesak.
Isyana masuk kedalam kamar, dimana kamar tersebut masih terlihat berantakan sisa pergumulan mereka beberapa waktu lalu.
Terlalu lelah untuk merapikannya, bahkan Isyana tidak mampu untuk mengganti sprei yang masih tercium bau harum Albi tertinggal di sana. Isyana merebahkan tubuhnya, menangis sejadi-jadinya dengan suara rintihan yang sangat kencang. Tidak ada yang akan mendengar suara tangisnya, di kamar itu ia akan menumpahkan segalanya, meratapi nasib buruk yang menimpanya saat ini.
Isyana benar-benar hanya berbaring, menangis, tertidur dan kembali menangis. Mengulang hal sama terus menerus hingga ia kehabisan tenaga.tubuhnya lemas, bahkan untuk beranjak pun sulit. Ia sempat berpikir akan mati di tempat tidur atau mungkin saat Dimas datang menjemputnya lelaki itu hanya bisa menikmati tubuhnya dalam kondisi lemah, nyaris mati.
Hanya dua hal yang kini ditunggu, kedatangan dimas dan malaikat maut. Tidak ada yang peduli padanya, saat ini ia benar-benar sendiri. Hidupnya hancur bukan karena tidak memiliki pekerjaan atau tidak dianggap lagi oleh orang-orang, tapi hidupnya hancur setelah menikah dengan lelaki jahat berkedok malaikat. Albi adalah jelmaan iblis berkedok malaikat penolong.
Isyana masih mendengar sayup suara sering ponselnya, entah siapa yang menghubunginya, atau mungkin orang-orang yang masih memiliki sangkutan batal kontrak, yang belum terselesaikan. Isyana tidak peduli lagi, apapun yang terjadi di luar sana ia tidak peduli..
Isyana melihat layar ponsel dimana nama Albi muncul, Isyana yakin lelaki itu menghubunginya untuk mengabari keberadaan Dimas yang mungkin sudah dalam perjalanan untuk menemuinya. Isyana tidak ingin mendengar apapun lagi, bahkan suara lelaki itu pun tidak mau. ponselnya terus berdering sampai akhirnya ia tidak mendengar suara itu lagi. Mungkin karena baterainya sudah habis, atau mungkin Albi bosan menghubunginya.
Selang beberapa menit ia kembali tertidur, mungkin karena terlalu lelah menangis lagi pula sudah terlalu lama ia berada di atas tempat tidur, hingga tenaganya benar-benar habis. Kedua mata Isyana terpejam, sampai akhirnya ia mendengar suara bunyi ‘Bip’ khas pintu apartemen terbuka.
Isyana tidak perlu mencari tahu siapa yang datang, sebab hanya ada dua kemungkinannya. Albi atau Dimas. Albi memiliki kunci cadangan yang terbaru, mungkin lelaki itu sudah memberikan kunci cadangan tersebut pada temannya untuk memenuhi janji yang sudah mereka sepakati.
Isyana semakin memejamkan kedua matanya, saat mendengar langkah kaki yang semakin nyata.