10. Ciuman di tempat umum

1191 Words
“Baru beberapa hari menjadi suamimu, aku sudah mendapat banyak tagihan.” Albi menunjukkan layar ponsel ke arah Isyana, dimana beberapa hari terakhir kerap mendapat panggilan atau pesan singkat dari nomor yang tidak dikenal. Tidak hanya itu saja, akun media sosial miliknya pun menjadi sasaran para netizen yang diantaranya menghujat atau mendukung Isyana. “Ponselku berisik sekali.” Keluhannya. Untuk seseorang yang tidak terbiasa dengan kehidupannya terekspos, tentu saja Albi merasa sangat terganggu. Ponsel yang sebelumnya hanya dihubungi oleh beberapa orang saja, kini bisa dihubungi oleh banyak orang, bahkan tidak dikenalnya sama sekali. “Aku tidak pernah memberikan nomor ponselmu pada siapapun, termasuk beberapa owner bisnisku.” Isyana memang tidak berniat melibat Albi, menjadikan lelaki itu sebagai tameng sudah lebih dari cukup. Tapi jika harus membuatnya bertanggung jawab atas semua kerugian yang terjadi, tentu saja Isyana tidak mau. “Aku akan memberitahu mereka untuk tidak menghubungimu apapun alasannya. Tapi untuk akun media sosial, aku tidak bisa menjaminnya. Kamu bisa tutup kolom komentar, agar mereka tidak bisa menyerangmu lagi.” Albi menganggukkan kepala. “Lalu, bagaimana dengan uang yang sudah dikeluarkan untuk membayar denda penalti karena kamu melanggar kontrak?” “Apa? Mereka menagihnya padamu? Ya ampun!” Isyana tidak habis pikir, mengapa mereka melibatkan Albi hanya karena ia mengabaikannya. Isyana tidak bermaksud mengabaikan, hanya saja ia berusaha untuk menyelesaikannya satu-persatu. “Coba aku lihat.” Isyana mendekat. “Kenapa kamu bayar dengan jumlah besar seperti ini?!” Keluhannya, saat Isyana membaca percakapan Albi dengan seseorang melalui pesan singkat. “Kamu nggak konfirmasi dulu sebelumnya sama aku,” Isyana menatap kesal ke arah Albi. “Aku nggak punya tanggung jawab pada produk ini, kami sudah selesai kerja sama. Mereka nipu!” Brand ternama sebuah kosmetik pernah bekerjasama dengannya, tapi itu berlangsung sudah lama. Bahkan kontrak berakhir sekitar satu bulan lalu, mereka tidak memberitahu Isyana apakah kontrak tersebut diperpanjang atau tidak. “Aku tidak merasa memiliki kerjasama dengannya!” Isyana kesal, tidak hanya pada brand tersebut, yang telah memanfaatkan keadaan untuk kepentingan sebelah pihak saja. Selain itu Isyana juga merasa kesal, mengapa Albi langsung mengiyakan permintaan ganti rugi tanpa mengkonfirmasi pada Isyana terlebih dahulu. “Aku sudah membayarnya, aku tidak suka keributan apalagi mereka memaksa, seolah mengharuskan aku membayarnya.” “Kamu bisa konfirmasi aku dulu!” “Apa yang harus aku konfirmasi, aku dan istriku tidak tinggal satu rumah, sementara mereka sampai mendatangi kantor. Memalukan!” “Apa? Sampai ke kantor?” “Menurutmu?!” Isyana tidak tahu bahkan tidak menyangkal beberapa orang memanfaatkan situasi seperti ini dengan menipu. Albi memang terlalu gegabah, membayarnya tanpa melibatkan Isyana tali sebagai seorang pengusaha besar namanya akan sangat tercoreng hanya karena hutang piutang yang belum terselesaikan oleh Isyana. Yang awalnya kesal, Isyana harus meredam amarah dalam dirinya, mengingat Albi tidak sepenuhnya bersalah. Lelaki itu pasti sangat menjaga dengan baik citra dan nama baiknya. Isyana tahu betul bagaimana rasanya. “Berapa jumlah yang sudah kamu bayar?” Nada bicara Isyana melemah. “Aku akan membayarnya, tapi setelah apartemenku laku terjual. Untuk saat ini aku belum memiliki uangnya.” Bukan tidak ada uang, tapi Isyana harus menjual asetnya terlebih dulu, jika ia terus menggunakan uang yang ada sudah ada, bisa dipastikan ia akan bangkrut dan tidak memiliki apapun lagi. “Aku akan menjual apartemen itu secepatnya. Aku sudah menghubungi biro jasa iklan dan agen jual beli properti. Aku akan memastikan sebelum kita bercerai, semua hutang ku lunas.” Albi tersenyum samar. “Aku tidak ingin uangku dikembalikan dengan bentuk yang sama.” “Maksudnya?” “Kamu hanya perlu melayaniku dengan baik,” Isyana menyipitkan kedua matanya. “Kamu anggap aku p*****r? Menjual diri untuk menebus hutang?” “Tentu tidak. Jangan berpikir negatif seperti itu.” Albi menyesal minuman dingin dalam kaleng. “Kamu istriku, mana ada p*****r atau menjual diri sampai menikah.” Memang bukan jual diri seperti yang dilakukan banyak orang, Isyana sudah menikah tapi alasannya tetap sama. Situasi yang sudah terlanjur rumit, tidak ada alasan untuk mundur bahkan Isyana akan semakin sulit untuk melepaskan diri di usia pernikahan yang masih belum menyentuh angka satu bulan. “Baiklah, aku akan melakukan yang terbaik untuk menebus hutang yang sudah terlanjur ada. Jujur saja, jika pada akhirnya aku hanya akan jadi peliharaanmu seperti ini, lebih baik aku mati saja malam itu. Kamu tidak perlu bersikap seolah menjadi pahlawan untukku.” Isyana menatap tajam ke arah Albi. “Kamu sama saja seperti dia temanmu yang lain. Sama-sama bajingnn!” Untuk beberapa saat keduanya saling bertatapan, mencari sesuatu yang masih disembunyikan di balik bola mata hitam yang selalu menatap tajam ke arahnya. Isyana memutus pandang, “Jadi, apa saja yang harus aku lakukan? Apa kita akan melakukannya sekarang? Aku mandi dulu kalau begitu.” Isyana hanya peliharaan, setidaknya itu anggapannya saat ini. “Aku lapar, tolong buatkan aku makanan.” “Baiklah.” Isyana beranjak dari tempat duduknya, menuju dapur yang terlihat sangat bersih. Bisa dipastikan dapur tersebut tidak pernah digunakan sebelumnya. “Tidak ada stok makanan. Aku akan membeli bahan-bahanya di bawah, tunggu sebentar.” Apartemen yang ditempati Albi memiliki fasilitas dimana penghuni memiliki akses yang langsung menghubungkan gedung utama dengan supermarket. Lokasinya ada di lobi bawah, dimana terdapat lorong khusus yang hanya boleh digunakan penghuni. Hal tersebut sangat memudahkan penghuni untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari, supermarket tersebut menyediakan segala kebutuhan dari mulai makanan pokok sampai alat rumah tangga lainnya. “Kita belanja bersama, mulai hari ini kamu harus menyiapkan makanan untukku.” “Baik.” Memasak bukan hal sulit untuk Isyana, ia sudah terbiasa melakukannya bahkan saat usianya masih terbilang kecil pun, ia sudah memasak untuk dirinya sendiri dan Ibu. Mungkin keahliannya dalam memasak tidak bisa memenuhi ekspektasi Albi yang sudah terbiasa hidup mewah sejak kecil, tapi Isyana bisa diandalkan. Setidaknya maknanya yang dikonsumsi lelaki itu tidak akan membuatnya sakit perut atau keracunan. Belanja di supermarket tidak pernah dilakukan di jam ramai seperti ini, biasanya Isyana, Mika, dan Doni ke supermarket menjelang tutup. Hal tersebut dilakukan karena Isyana kerap menjadi pusat perhatian, membuat kegaduhan akibat beberapa pengunjung memintanya berfoto. Selain itu Isyana pun kerap menggunakan pakaian tertutup, seperti hoodie besar, kacamata dan topi. Penampilan yang akan membuatnya tidak mudah dikenali. Tapi kali ini ia mematahkan segala kebiasaan yang dilakukannya dulu. Ia datang ke sebuah supermarket dengan penampilan terbuka, tidak mengenal hoodie besar atau kacamata. Isyana memposisikan dirinya seperti pengunjung lain. “Dia selebgram sok suci itu ya? Berani banget muncul di tengah keramaian.” Bahkan saat mengatakannya suara itu terdengar sangat lantang, bukan lagi bisik-bisik yang hanya bisa di dengan dua orang. “Iya. Pencitraan, wajahnya aja cantik tapi kelakuannya sama aja kayak l***e! Kawin pas udah kena grebek.” Isyana masih tetap tenang, membiarkan mereka mengatakan apapun sesuka hatinya. Isyana hanya tersenyum samar. “Katanya suaminya punya kekasih, artinya dia pelakor.” Wajahnya mulai panas. “Iya, penasaran siapa wanita yang jadi korbannya, kasihan sekali dia.” Isyana ingin membalas, tapi Albi sudah terlebih dulu menahannya. “Mereka akan senang saat melihatmu marah. Lebih baik lakukan ini,” Albi menangkup wajah Isyana dengan kedua tangannya lantas mencium bibir wanita itu dengan lembut. “Kita adalah pasangan yang harus selalu menunjukkan kemesraan di depan umum, untuk membungkam mereka.” Isyana setuju, tapi kenapa jantungnya berdegup sangat kencang?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD