“Selamat untuk pernikahan kalian, saya ikut senang kalian menikah.”
Di tengah hujatan, rupanya Isyana dan Albi masih mendapatkan ucapan selamat atas pernikahan keduanya. Seorang lelaki berpakaian rapi, khas eksekutif muda menghampiri saat keduanya berada di lobby apartemen. Kemungkinan besar lelaki itu adalah manager di apartemen tempat Albi tinggal.
“Terima kasih,” Balas Albi, sementara Isyana hanya tersenyum.
“Kami punya sesuatu untuk kalian berdua, sebagai ucapan selamat atas pernikahan. Kami harap kalian berdua mau menerimanya.”
Lelaki itu menunjuk ke arah pojok, dimana terdapat rangkaian bunga mawar besar bertuliskan Happy wedding.
“Kami juga ada sedikit hadiah untuk kalian berdua, jika berkenan datanglah ke restoran kami.” Dua kartu undangan makan malam exclusive.
“Terima kasih,” Albi menerimanya, meskipun Isyana tahu lelaki itu tidak membutuhkan kartu undangan makan gratis seorang itu. Albi sangat mampu untuk membelinya dengan uang sendiri, tapi untuk menghargai pemberian orang lain, lelaki itu menerimanya dengan ekspresi senang.
“Sama-sama. Kartunya berlaku kapan saja, tidak ada batas waktu dan batas limit penggunaan.”
“Aku ambil bunganya,” Isyana berinisiatif untuk mengambil buket bunga mawar merah yang terlihat begitu indah. Isyana menyukainya.
“Ada dua karangan bunga, apakah dua-duanya milik kami?” Tanya Isyana, saat melihat ada rangkaian bunga lainnya, tapi jaraknya lumayan jauh.
“Itu,, sebenarnya sudah ada sejak kemarin tapi kami nggak berani untuk mengatakannya.”
Isyana menoleh ke arah lelaki itu, yang juga telah mengikutinya bersama Albi.
“Bunga untuk kami? Kenapa kalian tidak memberitahunya?” Albi mendekat, mengambil karangan bunga yang terselip di tempat yang sedikit tersembunyi.
“Kalian seharusnya kasih tau kami,” Albi tidak menuntaskan ucapannya, saat membaca tulisan yang tertera di depan karangan bunga.
_Selamat menikah untuk Albi dan turut berduka cita atas meninggalnya Isyana Melani_
Kedua mata Albi membulat sempurna, siapa yang mengirim rangkaian bunga seperti itu?
“Siapa pengirimnya?” Tanya Albi, dengan tatapan tajam.
“Tidak ada identitas pengirimnya, bahkan bunga tersebut diletakkan begitu saja di depan sana. Kami sempat mengira bom, karena ada bungkusan hitam di bawahnya, ternyata itu hanya spons bunga.” Jelas lelaki itu.
“Buang! Kalau perlu bakar!” Perintah Albi.
“Baik, Pak.”
Isyana menatap rangkaian bunga tersebut dengan tatapan kosong. Seseorang mengucapkan selamat dengan dua arti yang berbeda, bahkan lebih parahnya orang tersebut mengirim karangan bunga ucapan berduka dimana Isyana masih hidup di dunia ini. Apakah orang tersebut menginginkan Isyana mati?
“Ayo!” Ajak Albi, menarik tangan Isyana, membawa wanita itu ke atas, ke rumahnya.
Isyana terdiam, bingung sendiri entah harus bagaimana menyikapi karangan bunga tersebut. Albi sudah meminta petugas apartemen untuk membuangnya, tapi bayangan yang sudah terekam jelas dalam ingatan Isyana tidak bisa dihilangkan begitu saja.
“Masak, aku lapar.”
“Baik.”
Tahu wanita itu masih terkejut sekaligus sedih, Albi memintanya untuk memasak sebagai salah satu bentuk pengalihan.
Albi pun sebenarnya sudah tidak merasakan lapar, suasana hatinya terlalu buruk untuk menikmati makan malam.
“Aku tidak tahu makanan kesukaan kamu, hanya mengira-ngira saja.”
Isyana menggoreng olahan ayam dan tumis sayur. Jujur saja hanya menu sederhana itu yang terlintas dalam benaknya.
“Kamu bisa tuliskan menu maknanya kesukaanmu, aku akan berusaha membuatnya besok.” Isyana menaruh makanan diatas meja dengan tangan bergetar.
“Aku mau ganti baju, nanti aku bersihkan setelah kamu selesai makan.”
Isyana bergegas menuju kamar yang akan ditempatinya selama tinggal di kediaman Albi. Mereka memang akan melakukan “Itu” Entah hari ini atau mungkin besok, tapi Isyana dan Albi tetap akan tidur di kamar yang berbeda.
Di dalam kamar, Isyana tidak segera membersihkan diri. Ia justru duduk di tepian tempat tidur menatap dirinya pada cermin besar yang ada di depannya. Wajahnya sedikit pucat, bagaimana tidak ucapan berduka itu benar-benar membuatnya terancam.
Isyana tahu siapa pengirimnya, dengan kata lain orang tersebut menginginkan kematiannya.
Ataupun orang tersebut sudah memberikan sinyal agar Isyana siap siaga.
Kesepakatan yang disepakati bersama Della tidak berjalan dengan baik, bahkan mungkin tidak sesuai rencana. Wanita ular itu tidak akan tinggal diam, meskipun ia tidak berada di Jakarta tapi kaki tangan wanita itu ada dimanapun, salah satunya Dimas, yang tidak lain merupakan sahabat Albi.
Isyana harus waspada, Dimas sangat licik.
“Aku sudah selesai makan.” Suara Albi terdengar dari arah pintu, yang membuat Isyana menoleh seketika.
“Iya. Aku akan membersihkannya.”
Isyana langsung bergegas merapikan meja makan, namun langkahnya terhenti saat Albi menahan satu tangannya. “Jadi, kamu belum mandi?” Albi menatap Isyana dengan tatapan menilai.
“Sayang sekali, padahal aku sudah membayangkan kesegaran dari tubuhmu. Rambut basah,” Albi menarik ikat rambut Isyana, hingga membuat rambutnya terurai.
“Harum dan,” Lelaki itu mengenyampingkan rambut Isyana, menatap leher jenjang yang begitu putih dan menggoda.
“Aku akan menyelesaikannya dengan cepat, setelah itu kamu boleh meminta hakmu,” Isyana menepis wajah Albi, yang nyaris saja menempel di lehernya.
“Baiklah, jangan terlalu lama. Datanglah ke kamarku.”
“Baik.”
Isyana mengangguk, segera menuju meja dimana semua makanan masih utuh seperti semula, hanya tumis sayurnya saja yang tidak tersisa, sementara nasi dan olahan daging ayam masih utuh, tidak tersentuh sedikitpun.
Satu hal yang diketahui Isyana tentang lelaki itu, Ia tidak menyukai olahan yang termasuk dalam kategori makanan instan. Melihat bagaimana bentuk tubuhnya, lelaki itu pasti sangat menjaga kebugaran tubuhnya dengan tidak sembarangan mengkonsumsi makanan.
“Sayang kalau dibuang, memuaskannya butuh banyak tenaga.” Isyana mengambil satu centong nasi penuh, menaruhnya di atas piring, ia pun mengambil beberapa potong olahan daging dan memakannya.
“Kamu harus kuat Isyana, setidaknya untuk satu tahun kedepan. Ambil hartanya sebanyak mungkin, setelah itu pergi ke tempat yang sangat jauh.” Memang tidak ada rencana pasti yang akan dilakukannya dalam waktu dekat, mengingat namanya di dunia entertainment sudah sangat buruk dan mungkin akan redup dalam beberapa bulan mendatang. Isyana tidak bisa memastikan apakah ia bisa menghasilkan uang seperti dulu lagi, tapi yang jelas saat ini ia memiliki seorang suami kaya raya yang menjadi sumber kehidupannya.
Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, menjadi b***k Albi tidaklah terlalu buruk.
Sesuai janjinya, Isyana pun datang ke kamar lelaki itu usai membersihkan diri. Membiarkan rambut panjangnya yang masih basah terurai. Isyana membawa beberapa pakaian, diantaranya pakaian tidur berbahan tipis.
Secara perlahan ia membuka pintu kamar Albi, dimana lelaki itu baru saja keluar dari dalam kamar mandi. Hanya mengenakan celana pendek sebatas paha, sementara bagian tubuh atasnya dibiarkan polos tanpa mengenakan apapun. Keduanya sama-sama baru selesai mandi, bau harum maskulin langsung menusuk hidung..
Isyana segera mendekat, berjalan dengan santai sementara jantungnya nyaris meledak karena gugup sekaligus takut.
“Apa yang harus aku lakukan?” Tanya Isyana, saat jarak keduanya sudah sangat dekat.
Dari jarak yang sangat dekat dan dengan penampilan Albi malam ini, ketampanan lelaki itu benar-benar meningkat puluhan kali lipat. Rambut basah, dengan tetesan air masih terlihat di sebagian tubuhnya meninggalkan kesan segar yang memanjakan mata Isyana.
“Apa kamu pernah tidur dengan lelaki lain sebelumnya?”
“Pernah. Arik, dia satu-satunya lelaki yang pernah tidur denganku.” Isyana tidak akan berbohong, ia memang pernah tidur dengan Arik, saat keduanya masih berstatus sebagai sepasang kekasih.
“Aku bukan gadis perawan, maaf sudah mengecewakan ekspektasimu.”
“Akun kecewa, karena kamu pernah tidur dengan teman baikku. Tapi tidak apa, itu tidak lagi penting.”
Albi mendekat, jarak semakin terkikis.
“Puaskan aku malam ini,” Bisiknya, sebelum bibir lelaki itu mendarat di bibir Isyana.