12. berbagai

1133 Words
“Kenapa terlihat gugup, bukankah kamu pernah melakukan sebelumnya?” Albi menyeringai, menatap Isyana yang kini sudah berada di bawahnya, dalam kuasanya. Wanita itu sudah tidak mengenakan sehelai benangpun, tubuh putih mulusnya terlihat dengan jelas meski penerangan kamar hanya dari dua lampu kamar yang dibiarkan menyala remang-remang. Isyana balas menatap lelaki yang ada di atasnya, lelaki itu masih mengenakan celana, setidaknya ia tidak benar-benar telanjang sepertinya. “Licik! Buka pakaianmu!” Tantang Isyana, bukan karena ingin segera melakukannya tapi Isyana merasa sangat malu, saat Albi berhasil menelanjanginya tapi lelaki itu masih mengenakan pakaian. Jejak basah dan bercak merah terlihat jelas di beberapa bagian tubuh isyana, lelaki itu berhasil membangkitkan hasrat dalam dirinya tapi saat situasi sudah mulai memanas, Albi menghentikannya dan malah menatap Isyana tanpa melakukan apapun lagi. “Kenapa? Apa kamu inginkan segera merasakannya atau kamu akan membanding kemampuanku dan Arik?” Albi menyeringai, memegangi kedua tangan Isyana, yang dijadikan satu, di atas kepalanya. “Artinya kamu ragu dengan kemampuanmu sendiri?” Isyana benar-benar menggoda lelaki itu, membuatnya merasa terintimidasi. Tujuannya hanya untuk menyelesaikan sesi bercinta segera usai. Jika sudah menuntaskannya, Isyana akan segera pergi ke kamar, tidak ingin menjadi bahan tonton seperti ini. “Atau, kamu memang merasa Arik jauh lebih unggul daripada dirimu?” “Apa?!” Berhasil, Isyana berhasil membuat lelaki itu tersinggung. “Aku tidak bisa membandingkan mana yang lebih unggul sebelum merasakannya.” Isyana tersenyum meremehkan, tapi sepertinya ia sudah terlanjur membangunkan macan tidur. Tanpa aba-aba, lelaki itu kembali menyerangnya tanpa ampun. Kasar dan b*******h. “Tolong perlahan,” Rintih Isyana, saat Arik melakukannya dengan kasar dengan posisi yang membuatnya sangat dekat lemah. Lututnya terasa lemas, nyaris tidak mampu menahan tubuhnya sendiri saat lelaki itu menyerangnya dengan kasar dari belakang. “Apakah Arik juga melakukan seperti ini? Atau lebih?!” Hentakan kian kencang, Isyana akan roboh sebentar lagi. “Tidak, Albi! Arik tidak sepertimu!” Isyana sudah tidak kuat menahan, tapi sebelum jatuh tersungkur, Albi terlebih dulu menahan pinggangnya. Memeluk tubuh Isyana dari belakang, tanpa melepaskan penyatuan mereka. “Akulah yang terbaik,” Bisiknya, sebelum melepaskan penyatuan dan membalikkan tubuh Isyana agar menghadap ke arahnya. Wajah Isyana memerah, pendinginan udara tidak mampu meredam panas yang terjadi diantara keduanya. Isyana mengangguk, “Benar. Kamu yang terbaik,” hal baru ditemukan dalam diri Albi, lelaki itu tidak suka tersaingi, ingin selalu menjadi yang utama dan paling unggul. Albi mengusap wajah Isyana dengan lembut, mencium bibirnya dengan sama lembutnya. Tidak seperti tadi, kasar dan menyakitkan kali ini Albi memperlakukan Isyana dengan begitu lembut seolah barang pecah yang akan hancur jika diperlakukan dengan kasar. Tidak hanya itu, penyatuan mereka pun tidak tergesa apalagi cenderung menyakiti, kali ini benar-benar perlahan dan lembut. “Albi.” Rintih Isyana, memegang pundak lelaki itu, menatap kedua mata Albi di tengah penyatuan yang begitu memabukkan. “Albi,” Panggilnya lagi. “Iya, terus panggil namaku dan hanya aku seorang.” Ritmenya semakin meningkat, cengkraman Isyana di punggung lelaki itu pun kian menguat. Albi dan Isyana sama-sama mencapai puncak, lelaki itu menghela, masih dengan posisinya di atas Isyana membiarkan tubuhnya tergeletak di atas tubuh Isyana. “Kita tidak menggunakan pengaman.” Bisik Isyana, saat ia baru menyadari setelah permainan selesai. “Tidak hamil! Aku tidak mau punya anak!” Albi langsung melepaskan penyatuan. “Pergilah dan minum obat yang ada di dekat lemari depan.” “Kamu sudah menyiapkannya?” Isyana bangun, menarik selimut tipis lantas menutup tubuh telanjangnya. “Tidak. Itu bukan milikku, tapi milik seseorang.” Isyana mengangguk, jadi bukan hanya dirinya yang pernah tidur bersama lelaki itu. Bahkan mungkin Albi sering membawa wanita yang dikencaninya ke rumah ini. Perasaan tidak Terima itu tiba-tiba muncul, tapi Isyana buru-buru menyadarkan dirinya. Llantas apa yang diharapkan dari sosok lelaki yang jelas-jelas sudah memanfaatkan keadaan sulit yang dialaminya saat ini? Jika dipikir ulang, Albi sama saja dengan penjahat itu, hanya memanfaatkan ketidakmampuan Isyana dalam melindungi dirinya sendiri. Isyana memunguti pakaiannya yang tercecer di lantai. Ia bergegas pergi menuju lemari dimana Albi menyimpan obat yang bisa menahan kehamilan. Isyana harus memastikan dirinya tidak hamil, jika hal tersebut terjadi dia akan mati bersama calon bayinya. Isyana kembali membersihkan diri, mengusap setiap inci tubuhnya dimana jejak Albi tertinggal. Beberapa bercak merah terlihat jelas di bagian d**a dan leher, jejak yang tidak akan mudah hilang, butuh waktu beberapa hari hingga warnanya memudar. “Apa bedanya dengan p*****r di luar sana? Kami saja saja Isyana, p*****r berkedok menikah.”. Bangun di pagi hari, lebih tepatnya pukul enam. Isyana bukan kerajinan, bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan pagi Albi, tapi karena ia tidak bisa tidur. Pikirannya benar-benar kacau sejak semalam, yang membuatnya sulit memejamkan mata. Terdengar langkah kaki dari arah lain yang membuat Isyana langsung menoleh, dan mendapati Albi berjalan menuju ke arahnya. Lelaki itu sudah berpakaian rapi, tidak seperti baru bangun tidur. “Kamu sudah bangun? Kukira belum karena terlalu lelah.” Lelaki itu menyeringai, menatap ke arah Isyana. “Aku lapar. Mau sarapan?” Tanya Isyana. Lelah dan banyak pikiran tidak lantas membuatnya bisa tidur dengan tenang. Ia justru mengalami insomnia parah yang mungkin akan mengancam kesehatannya sendiri jika terus dibiarkan seperti itu tanpa diobati. “Tidak. Aku buru-buru.” Isyana mengangguk, tidak juga bertanya kemana lelaki itu akan pergi sepagi ini. “Kamu tidak mau tahu kemana aku pergi?” “Tidak.” Isyana menggelengkan kepalanya. “Itu bukan urusanku. Aku akan menunggumu pulang tanpa mencari tahu dimana dan apa yang kamu kerjakan. Itu kesepakatan pernikahan kita bukan?” “Benar.” Albi tersenyum samar. Isyana memang memposisikan dirinya seperti itu, tujuannya untuk melindungi hati dari perasaan yang tidak diinginkan. Bukankah wanita mudah luluh naya dengan kata-kata dan sentuhan? Albi memang tidak pernah mengatakan kalimat-kalimat manis yang bisa membuat hatinya berbunga, tapi sentuhan lelaki itu sedikit membuatnya hilang kendali. “Hai pengantin baru! Apa kabar kalian?!” Suara nyaring itu terdengar dari arah pintu, dimana sosok Dimas muncul dengan ekspresi senang tapi di mata Isyana ekspresi itu terlihat mengerikan. Tanpa sadar Isyana mundur, saat Dimas masuk, menghampiri Albi dan Isyana yang berada di dekat meja makan. “Gue nggak terima tamu.” Albi menatap tajam ke arah Dimas. “Kita akan melakukan perjalanan bersama. Lama banget nunggu di luar, ternyata ada yang masih enggan ninggalin istri tercinta.” Dimas menatap ke arah Isyana, lantas menyeringai saat menemukan banyak bercak merah di lehernya. “Wahhh sepertinya lo udah punya stok untuk dua hari kedepan, kantong s****a lo pasti kosong, kering kerontang, semalam di habiskan tanpa sisa.” Isyana segera menutup lehernya dengan kedua tangan. “Ayo kita pergi!” Albi beranjak dari tempat duduknya, menarik tangan Dimas. “Lo nggak pernah ingkar janji kan, Bi. Kita masih bisa berbagi dalam hal apapun, termasuk istri?” Sungguh mengejutkan saat mendengarnya, bahkan tubuh Isyana bergetar hebat. Isyana berharap Albi menolak atau setidaknya menunjukkan pembelaan untuknya, tapi lelaki itu diam seolah mengiyakan ucapan Dimas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD