Isyana menoleh ke arah jam di dinding, menatap dengan gelisah. Seharusnya Albi sudah pulang, tapi lelaki itu tidak kunjung menunjukkan barang hidungnya. Kemana perginya lelaki itu?
Ada penjelasan yang sangat ditunggu Isyana.
Setelah pertemuannya dengan Dimas tadi pagi, Isyana benar-benar dihantui ketakutan yang sangat besar.
Bagaimana jika Albi adalah salah satu komplotan Della, yang sengaja ingin menjatuhkannya.
“Bodoh banget sih, Na.” Ia memukul kepalanya sendiri. “Kenapa nggak kepikiran sejak awal, malah nganggap dia baik.” Sesal mulai datang, setelah segala kemungkinan buruk menghantui.
“Bagaimana kalau aku cuman dijadikan mainan, wanita bergilir untuk mereka.” Isyana merinding, mengusap kedua lengannya.
Membayangkan dirinya hanya dijadikan mainan oleh Albi dan teman-temannya.
“Bagaimana ini?!” Khawatir dan takut, bagaimana jika hal tersebut benar-benar terjadi, di tengah kota dan di dunia hiburan yang penuh dengan segala sisi gelap yang tidak diketahui masyarakat umum, Isyana kerap menjadi sasaran para pengusaha yang menginginkan tubuhnya. Dulu, banyak tawaran seperti itu padanya. Dengan dijanjikan karir cemerlang dan kemewahan yang tidak terbatas. Tapi Isyana menolak, ia tidak mau jadi simpanan atau b***k pemuas nafsu. Isyana ingin berkarir karena bakatnya, bukan karena pekerjaan terselubung dan menjual diri.
Tapi situasi saat ini semakin menyulitkannya, apalagi setelah ia berstatus sebagai istri dari Albi Alexander.
Isyana terus menunggu hingga larut malam, tapi Albi tidak kunjung pulang.
“Dia kemana sih?! Kenapa nggak pulang?!” Isyana mengambil ponsel, niatnya menghubungi Albi tapi keraguan kembali muncul. Bagaimana kalau ternyata respon lelaki itu membuatnya kembali kecewa, bagaimana jika Albi marah lantas benar-benar mengirim Dimas untuknya malam ini.
“Ya ampun!” Isyana mengusap wajahnya sendiri. Meratapi nasib yang belum jelas. Tidak ada satu orang pun yang menolongnya.
Takut, sedih, semuanya bercampur menjadi satu.
“Ibu, Na takut Bu. Bisakah Ibu bawa Na pergi? Na nggak punya siapapun sekarang. Semua orang meninggalkan Na. Mereka semua jahat, Bu.” Isyana duduk, memeluk lututnya sendiri.
“Aku takut, Bu.” Rintihannya, menangis dalam keheningan malam.
Besok paginya, Isyana masih belum menemukan Albi. Lelaki itu tidak pulang, bahkan tidak juga memberinya kabar. Entah apa yang dilakukannya, di luar sana. Mungkin karena urusan pekerjaan atau mungkin ada hal lain yang tengah dikerjakannya bersama Dimas. Entahlah, sulit sekali berpikir baik di tengah gempuran segala kemungkinan yang mungkin akan terjadi besok padanya.
Isyana yang tidak memiliki kegiatan apapun, berusaha untuk tetap melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Ia merapikan rumah, melipat pakaian dan mencuci. Semua pekerjaan rumah dikerjakannya dengan mudah. Isyana memang memiliki seorang asisten rumah tangga, tapi hanya datang seminggu dua kali untuk membantunya membersihkan rumah, sementara untuk pakaian, Isyana mempercayakannya pada jasa laundry.
Sebagai seorang artis ternama, Isyana tidak pernah sungkan untuk melakukan berbagai macam pekerjaan rumah. Bahkan Isyana senang melakukannya, anggap saja sebagai olahraga, menggerakkan tubuhnya.
Begitu juga yang kini dilakukannya, Isyana merapikan seluruh sudut rumah Albi. Tidak ada satu sudut pun yang terlewat.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga dan perutnya, Isyana memasak.
Ia tidak suka menu yang terlalu sulit dibuat, ia pun tidak suka makanan yang terlalu banyak bumbu, begitu juga yang dibuatnya hari ini. Hanya tumis sayur dan ayam panggang, tidak lupa ia juga membuat sambal.
Perutnya terasa perih, saat ia baru saja menyelesaikan mencuci pakaian.. Bergegas menuju meja makan, Isyana pun mengambil piring dan mengisinya dengan lauk pauk yang sudah dibuatnya tadi.
Makanan sederhana dengan suasana hening sudah menjadi kebiasaannya. Hanya situasinya saja yang berbeda.
Isyana makan dengan lahap, saat terdengar suara pintu terbuka. Isyana nyaris memanggil nama Albi, bibirnya terbuka hendak menyebut nama lelaki itu. Tapi suaranya tertahan, saat melihat sosok wanita berambut panjang muncul.
“Alea.” Gumamnya.
“Hai!” Alea melambaikan tangan.
“Hai,” Balas Isyana.
“Albi nggak ada di rumah.”
Alea mengangguk. “Aku tahu, dia pergi bersamaku Dimas ke Bandung.” Alea mengambil gelas dan mengisinya dengan air, lantas meneguknya sampai habis. Wanita itu terlihat sangat kehausan.
“Masak apa? Aku lapar.” Alea duduk, persis di depan Isyana.
“Masak ini.” Isyana menunjuk ke arah meja makan, dimana masih ada sisa lauk yang belum dimakannya.
“Masih baru kan? Belum kamu sentuh?”
Isyana menggelengkan kepalanya. “Belum.”
“Bagus. Aku mau makan, ambilin dong.”
Isyana mengangguk, lantas bergegas mengambil piring untuk Alea.
“Ayamnya kurang garam, hambar.” ucap wanita itu, tapi mulutnya terlihat penuh oleh makanan.
“Sengaja, aku memang mengurangi asupan garam.”
“Diet, kah? Ngapain diet, kamu udah nggak jadi artis. Nggak perlu lagi jaga bentuk tubuh. Percuma.”
Isyana tersenyum. “Benar. Aku bukan lagi artis, tapi aku harus tetap menjaga bentuk tubuhku, supaya suamiku tetap menyukainya.”.
Alea menatap Isyana dengan tatapan menyelidik. “kamu takut suamimu selingkuh?”
“Tentu. Aku tidak mau cintanya untukku terbagi, aku ingin cintanya hanya untukku saja.”
Alea tertawa. “Ya Tuhan! Kamu masih berpikir lelaki bisa mencintai satu wanita saja? Padahal kamu tahu, dulu saat menjalani hubungan bersama Arik, lelaki itu pun berselingkuh dengan kakak iparnya sendiri. Contoh nyata yang harusnya bisa kamu yakin, bahwa lelaki nggak ada yang setia.” Alea tertawa, sambil menggelengkan kepalanya.
“Jangan percaya lelaki, bahkan mereka bisa bercinta tanpa menggunakan perasaan. Melakukannya tanpa cinta.” Alea bergidik. “Sangat mengerikan.”
Isyana terdiam, Tiba-tiba saja lapar yang dirasakannya hilang begitu saja. Padahal nasi dalam piringnya masih tersisa separuh. Tapi Isyana enggan untuk melanjutkannya.
“Aku sudah kenyang.” Isyana beranjak dari tempat duduknya, menaruh piring kotor di wastafel.
“Lauknya aku habiskan ya.”
Isyana mengangguk. “Bukan karena enak, tapi sayang aja daripada mubazir.”
Isyana mengangguk, terserah saja. Apapun alasannya ia tidak peduli tapi ganjalan di hatinya semakin besar, hingga membuat nafasnya sesak.
Usai menghabiskan makanan cukup banyak, Alea tidak langsung pergi. Hal tersebut membuat Isyana merasa tidak nyaman.
“Ayo ikut aku pulang.” Ajak Alea.
“Kemana?”
“Ke rumah lah!”
“Tapi, “ Isyana ingin menolak, tapi Alea sudah terlebih dulu menarik tangannya.
“Ayo, keburu macet. Jalan Sudirman macet parah, harus cepet.”
“Tapi aku nggak.”
“Si Albi nggak bakal pulang malam ini, paling besok siang. Mending ikut aku, daripada aku harus nungguin kamu disini. Bosen!”
“Aku nggak harus di tungguin, aku bukan anak kecil.”
“Ih cerewet! Ayo ikut.” Alea tidak menerima penolakan.
“Kalau bukan dipaksa, aku nggak bakal mau kesini.” Gumamnya, tapi Isyana masih bisa mendengarnya. Isyana tidak sempat bertanya siapa yang memaksa Alea datang untuk menemaninya, sebab wanita itu sudah terlebih dulu menariknya ke lift, menuju area parkir dimana mobilnya berada.