“Kenapa kesini?” Pertanyaan yang tidak seharusnya ditanyakan seorang wanita berstatus ibu mertua. Seharusnya sambutan hangat dirasakan Isyana, saat berkunjung. Tapi banyak hal yang justru terjadi tidak sesuai keinginan. Salah satunya perlakuan sang Ibu mertua.
“Mungkin Ibu kangen.” Alea tersenyum jahil, yang dibalas tatapan sinis Ajeng.
“Ayo masuk, kamu sudah makan?” Lain Ajeng, lain dengan Oma. Wanita paruh baya yang kerap tersenyum lembut padanya, menyambut kedatangan Isyana.
“Sudah, Oma.” Balas Isyana.
“Dimana suamimu?”
Oma memegang tangan Isyana, bisa dirasakan sentuhan hangat yang mengalir melalui tangan wanita itu.
“Di Bandung.” Tidak tahu pasti dimana Albi saat ini, yang diketahuinya dari pembicaraan tadi, lelaki itu ada di bandung bersama Dimas.
“Albi memang sering ke luar kota untuk kepentingan kantor. Kamu tidak perlu khawatir,” Oma seolah meyakinkan bahwa kepergian Albi hanya sebatas pekerjaan.
“Saat suamimu tidak ada di rumah, datanglah kesini. Di rumah pasti sepi, apalagi kalian belum punya anak.”
“Iya Oma,”
Berkunjung justru hal yang sangat dihindari apalagi setelah mengetahui perlakuan Ajeng padanya. Siapa yang mau datang menimbulkan diri pada mertua seperti itu.
Salah satu hal yang wajib disyukuri isyana adalah Oma. Wanita itu tahu bagaimana keadaan isyana dan perlakuan Ajeng padanya. Oleh karena itu, Oma selalu menemani isyana sepanjang hari, selama ia ada di rumah Ajeng.
“Oma boleh tidur disini?” Wanita tua itu membawa selimut miliknya, masuk kedalam kamar yang ditempati isyana.
“Boleh, Oma. Sini,” Isyana menepuk ruang kosong yang ada di sampingnya.
Oma membaringkan tubuhnya di samping Isyana.
“Oma tidak ngorok, oma sangat tenang saat tidur. Percayalah.”
Isyana tertawa. “Bukan itu yang aku takutkan, tapi aku takut Oma nggak bisa tidur karena aku.” Isyana menggeser tubuhnya lebih dekat. “Aku sangat berisik saat tidur.”
“Benarkah?”
Isyana mengangguk. “Iya, harus tahan tidur bareng aku.”
Isyana mematikan lampu dan hanya menyisakan lampu kamar, yang ada di kedua sisi ranjang.
“Isyana,” Panggil Oma.
“Iya, Oma.” Isyana menatap ke arah Oma. Keduanya belum tidur, masih sibuk dengan pemikiran masing-masing. Terutama Isyana. Jangan harap ia bisa tidur di tempat baru, bahkan di apartemen Albi pun ia masih kesulitan tidur.
Isyana terlalu sensitif dengan situasi dan kondisi tertentu, hingga ia kerap merasa tidak nyaman berada di ruangan yang menurutnya masih asing. .. Di kamar ini, dimana Oma dan Isyana berada, rasanya sangat nyaman, entah karena situasi kamar yang memiliki cat dan tatanan mendominasi warna coklat muda hingga menimbulkan kesan hangat, atau mungkin karena ada Oma di sampingnya.
“Rumah tangga memang tidak akan selalu bahagia, dibalik segala kecukupan yang kalian miliki saat ini, masalah pasti akan datang menghampiri. Oma hanya berpesan, apapun yang terjadi nanti, tetaplah bertahan. Selesaikan masalah dengan kepala dingin dan jangan berasumsi hanya dari sebelah pihak saja.” Oma kembali meraih tangan Isyana, menggenggamnya dengan begitu lembut.
“Sabar, kuatkan hatimu dan tetaplah percaya pada suamimu. Oma yakin, dia sangat mencintaimu.”
Nasihat yang baru pertama kali didapat Isyana, setelah menyandang status sebagai nyonya Albi. Isyana menerima nasihat Oma, mungkin ia tidak akan menerapkannya saat ini, pada perjalanan rumah tangganya bersama Albi, tapi Isyana akan selalu mengingatnya untuk dipraktekkan nanti, bersama pasangan yang sebenarnya.
“Darimana Oma tahu Albi mencintaiku?” Sedikit menggelikan saat mendengarnya. Bahkan Isyana tidak yakin cinta itu benar-benar ada dalam hati Albi, khususnya untuk Isyana.
“Oma sangat mengenal baik Albi. Kami hidup bersama sejak Albi masih berada di dalam kandungan ibunya. Oma sudah seperti ibu kedua untuknya, jadi Oma tahu bagaimana watak dan hati Albi.”
Isyana hanya tersenyum samar.
Ia tidak ingin berbesar kepala, dari sekian banyak ucapan Oma yang dipercayai, hanya pernyataan itu yang tidak dipercaya Isyana.
“Albi sangat bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya. Bersabarlah.”
Oma tidak menjelaskan mengapa Isyana harus bersabar, tapi ia memang akan bersabar sampai hari itu tiba, saat mereka akan berpisah.
“Tidurlah, besok pagi temani Oma jalan-jalan di sekitar komplek. Ada banyak makanan enak disini.”
“Iya, Oma.”
Isyana memang tidak pernah merasakan bagaimana hangat pelukan seorang nenek, atau belaian dari seseorang yang kerap dianggap malaikat dalam sebuah keluarga. Tapi malam ini, Isyana merasakan sentuhan hangat yang tidak hanya bisa dirasakan di kepalanya tapi tembus sampai ke hatinya. Di dunia penuh tipu-tipu ini, Isyana bisa merasakan sendiri ketulusan Oma, yang bisa dirasakan hanya dari sentuhan saja.
Isyana tidur pulas, ia tidak mengalami insomnia akut seperti yang kerap dirasakannya akhir-akhir ini. Isyana bisa tertidur dari pukul sepuluh malam sampai pagi, suatu pencapaian luar biasa sebab setelah hidupnya dihujani berbagai masalah ia mengalami kesulitan. Tidur hanya tiga jam, paling lama empat jam. Tapi malam ini Isyana bisa tidur seperti manusia normal umumnya, yakin tujuh jam. Dan saat bangun pagi, Isyana benar-benar merasakan tubuhnya jauh lebih sehat dan bersemangat.
“Mandilah, setelah sarapan temani Oma jalan-jalan.” Oma membangunkan Isyana tepat pukul enam pagi. Rencananya setelah membersihkan diri, keduanya akan pergi bersama, jalan-jalan pagi.
“Ibu belum bangun?” Isyana belum melihat Ajeng atau Alea muncul di sekitar ruang keluarga atau meja makan. Situasi rumah masih sangat sepi.
“Belum. Mereka akan keluar sekitar pukul sembilan pagi.” Tutur Oma
“Ayo, jalan-jalan.” Ajaknya.
Oma memang sudah menggunakan tongkat untuk membantu menopang tubuhnya saat berjalan. Tapi secara keseluruhan Oma masih terlihat sangat sehat.
“Di sana ada penjual kue basah tradisional. Kamu pasti suka, rasanya enak dan murah.” Oma menunjuk ke arah ujung jalan, dimana terdapat beberapa penjual mangkal disana.
“Mau beli apa? Ambilah apapun yang kamu mau.”
Melihat berbagai jenis jajanan tradisional membuat Isyana kalap dan ingin membeli semuanya.
“Kelihatan enak-enak, jadi mau semuanya.” Isyana tidak bisa menutupi ketertarikannya pada kue-kue beraneka jenis dan warna itu .
“Albi suka ini, belikan agak banyak dia pasti suka.”
“Iya, Oma.” Isyana menurut, meski tidak tahu apakah Albi akan senang menerimanya nanti atau justru sebaliknya.
Jalan-jalan santai yang berlangsung cukup lama, bahkan Isyana mulai berkeringat, begitu juga Oma
“Ayo, kita pulang.” Ajak Oma. Keduanya pulang, dimana Isyana langsung disambut senyum masam dari ibu mertuanya.
“Darimana kamu?” Tanya Ajeng.
“Habis temani Oma jalan-jalan.”
“Oma mandi, setelah itu istirahat. Oma pasti lelah.”
“Baiklah, oma mau ke kamar, kamu mandi dan makan ya?”
“Iya, Oma.” Melihat Oma pergi meninggalkannya, Isyana justru merasakan bahaya muai mendekati.
“Buatkan aku sarapan! Jangan menu berat, aku nggak mau berat badanku naik! Buat sarapan sehat!” Bahaya memang sudah didepan mata, Isyana hanya perlu sedikit gila ubah mengimbanginya.
“Baik.”
Penjajahan pun do mulai!!