Aku bahagia. Aku menikmati setiap momen di Nusa Penida. Tak terasa, besok aku dan Mas Iqbal sudah harus pulang. Aku sebetulnya ingin minta perpanjangan, tetapi itu tidak mungkin karena setumpuk pekerjaannku sudah menunggu. Belum-belum aku sudah membayangkan mengoreksi ratusan lembar tugas dari beberapa kelas yang kutinggalkan minggu ini. “Jangan ngelamun, Ay.” Mas Iqbal datang membawa dua es degan yang baru saja dia beli. Sejak tadi kami duduk di bawah pohon kelapa dengan beralaskan tikar seadanya. Cuaca masih panas, padahal sudah sore. “Mas, tahu enggak ...” “Apa?” dia menyerahkan satu es degan padaku dan aku menerimanya. “Ini udah berapa hari sejak panggilan buatku ganti?” “Tiga harian? Kenapa emang?” “Jangan salah paham, ya, Mas, tapi masa aku masih geli aja dengernya. Pe