Sepertinya jadwal hari padat, dan memulainya dengan perut kosong bukan pilihan bijaksana. Tiara mengambil roti isi yang ada di pantry lengkap dengan satu botol air mineral, baginya itu sudah cukup untuk mengganjal perut selama pertemuan kali ini.
Madam Ida mengulang dan menekankan kata penting beberapa kali sejak tadi, Tiara tahu kekhawatiran yang dirasakan wanita si serba pink itu. Karena proyek kali ini bukan hanya untuk klien kelas elite saja, tapi juga sahabat baiknya sekaligus sosok yang sudah dianggap anak olehnya. Wajar saja jika ia merasa begitu antusias, sekaligus gugup.
Madam begitu mempercayainya, sebab pada awalnya Tiara tidak berekspektasi tinggi akan menjadi seperti saat ini. Ia hanya melamar sebagai karyawan biasa saja, tapi Madam justru mempercayainya lebih dari itu. Tiara mengira impiannya sebagai desainer interior haya angan-angan saja, tapi Madam justru mewujudkannya. Sudah sepantasnya ia membalas kebaikan Madam, dengan terlibat di acara penting sahabatnya. Tapi, kenapa harus serumit ini.
Tiara memijat pelipisnya, tiba-tiba saja ia kembali didera sakit di bagian kepala.
“Kamu kenapa? Pusing lagi?” Tanya Madam, menoleh ke arah Tiara.
“Sedikit, udah bawa obat ko.” Tiara menunjukkan kantong plastik kecil berisi obat miliknya.
“Minum dulu, siapa tahu sakitnya hilang.”
Tiara mengangguk, lantas mengambil beberapa butir obat dan menelannya sekaligus.
Seharusnya ia tidak perlu terbawa emosi dengan acara tersebut, cukup saja fokusnya pada kebaikan Madam Ida. Kapan lagi ia bisa membalas kebaikan Madam.
“Jangan baper, Tiara! Tolong.” Merapalkan mantra untuk dirinya sendiri, berharap bisa mengurangi ketegangan yang dirasakan. Tapi semakin dekat dengan lokasi tujuan, Tiara justru merasa jantungnya berdebar tidak karuan.
Tiara dan Madam berjalan beriringan menuju sebuah cafe, dimana pertemuan itu berlangsung. Madam berusaha datang lebih awal dan tepat waktu, namun sepertinya Rima dan seorang wanita paruh baya seusia Madam sudah terlebih dulu sampai.
“Kalian sudah sampai?” Madam merangkul wanita paruh baya, teman baiknya.
“Kami baru sampai.” Balas wanita itu.
“Calon pengantin, apa kabar sayang?” Madam memeluk Rima, kayaknya seorang ibu dan anak.
“Makin cantik aja.” Pujinya.
Rima memang cantik, fakta yang tidak bisa dielakkan lagi. Dia adalah tipikal wanita muda kekinian yang selalu terlihat modis, dan elegan, meski hanya mengenakan kaos putih polos dan celana jeans. Tentu saja pakaian yang dikenakannya itu bukan barang kaki lima atau merk lokal. Semua yang dikenakannya nyaris sama dari brand ternama luar negri yang dipuja banyak orang kaum sosialita.
“Dera, kenalin ini Tiara, asisten pribadi aku.” Akhirnya Madam memperkenalkan Tiara pada wanita bernama Dena itu.
Sedikit membingungkan untuk Tiara, sebab respon wanita paruh baya bernama Dena itu cukup mengejutkan. Ia menatap tajam ke arah Tiara, seolah menyelidiki dan berusaha mengingat sesuatu.
“Tiara Novelita, Bu.” Meski respon Dena tidak seramah Rima, anaknya, Tiara tetap memperkenalkan diri dengan sopan.
“Dena.” Balas wanita itu singkat.
“Kalian sudah pernah bertemu, kan?” Kali ini Madam menatap ke arah Rima, yang juga tersenyum ke arah Tiara.
“Udah dong, bahkan kami sempat bertukar pesan beberapa hari lalu. Iya kan, Mbak Ti?”
Tiara mengangguk. Beberapa hari lalu ia sempat menerima pesan singkat dari nomor baru, awalnya Tiara berniat mengabaikan, sebab ia tidak terlalu ramah pada seseorang yang menghubunginya tanpa menyertakan nama dan tujuan dengan jelas. Tapi setelah beberapa kali Rima mengirim pesan dan menyebutkan nama, barulah Tiara membalas.
“Maaf, waktu itu responnya lambat banget. Lagi kurang sehat.” Jelas Tiara
“Oh, gitu. Sekarang udah sehat?” Tanya Rima dengan nada khawatir.
“Sudah.”
“Aku kasih dia vitamin yang kamu belikan dari luar negeri itu.” Ucap Madam dengan bangga. “Ujung tombak perusahaan nggak boleh sakit.”
Tiara haya tersenyum saja. “Madam bisa aja. Sakit itu manusiawi, kalau nggak sakit justru bahaya, jangan-jangan aku robot.”
Madam dan Rima tersenyum, hanya Dena yang tidak memberikan respon apapun, selain menoleh beberapa kali dengan tatapan yang mencurigakan.
Mungkinkah mereka pernah bertemu beberapa waktu lalu tapi Tiara tidak mengingatnya?
Entahlah, Tiara tidak ingat sama sekali.
“Konsepnya sudah matang, ingin tema white garden party, tapi ada unsur gold di dalamnya buat jadi pembeda antara pernikahanku dan Kamila.” Ujar Rima, menunjuk ke arah gambar di acara pernikahan Kamila beberapa waktu lalu.
“Aku pesan gaun yang ada tema gold nya, biar matching dekorasi dan gaun pengantinnya.”
Tiara mengangguk, mulai memahami keinginan dan konsep yang dimaksud.
“Boleh tunjukkan gaunnya seperti apa?” Tiara harus menyesuaikan terlebih dahulu, sebelum ia menyusun gambar dan sketsa aula pernikahan.
“Ini,” wanita itu menunjukkan gambar dimana Rima sedang mencoba gaun yang terlihat begitu cantik dan menyesuaikan bentuk tanggung tubuhnya yang ramping.
“Cantik sekali.” Puji Tiara.
“Bajunya atau aku, nih?” Rima tersenyum menggoda.
“Dua-duanya dong,” balas Tiara.
“Wanita cantik pantas bersanding dengan lelaki tampan. Selain harus sebanding dari fisik, juga dari finansial.” Balas Dena.
Ucapannya tidak nyaman di dengar, sebab Tiara merasa ada makna lain yang tersirat di dalamnya. Tapi ia tidak tahu kemana arah tujuan ucapannya, entah untuk dirinya sendiri atau memang pembawaan Dena memang seperti itu. Judes.
“Benar, Rima dan Dokter Edo sangat serasi.” Puji Tiara.
“Iya, aku yakin mereka berjodoh.”
Tiara hanya tersenyum samar. Apakah wanita itu menunjukkan gelagat tidak menyukainya?
Kenapa?
Bahkan mereka baru bertemu untuk yang pertama kalinya, tapi Dena seolah membenci dan kerap menyangkal saran ataupun ucapan Tiara.
Tapi tidak apa-apa, ia sudah terbiasa menghadapi banyak perlakuan, tidak hanya perlakuan baik yang diterimanya, tapi juga sebaliknya seperti saat ini.
“Untuk catering, ada ide mungkin? Makanan di acara pernikahan Kamila enak-enak, apa nama catering nya?” Tanya Rima.
“Star catering, kebetulan kami kenal baik pemiliknya. Kalau mau, bisa kita atur jadwal pertemuannya nanti.”
“Kenapa harus star catering? Di jakarta ini banyak catering ternama. Nggak usah itu,” Dena kembali menunjukkan ketidaksukaan nya dengan cara yang sangat berlebihan tentu saja.
Tiara tidak menyarankan, hanya saja ia kenal baik dengan pemilik catering tersebut.
“Saya tidak merekomendasikan, hanya jika berkenan saja. Kalau untuk urusan catering dan gaun, itu semua diluar kuasa kami.” Jelasnya dengan lembut dan penuh pengertian.
“Mamah kenapa ngegas Mulu sih dari tadi, bikin ngobrolnya nggak nyaman deh!” Protes Rima, yang menyadari sikap ibunya terlalu berlebihan.
“Kayaknya lebih baik Mamah dan Tante Ida jalan-jalan aja, biar aku saja Mbak Tiara ngobrol berdua.” saran Rima.
“Bener. Biarkan mereka ngobrol berdua, lebih baik kita cari yang segar-segar, beli tas misalnya.” Ajak Madam Ida.
Akhirnya Dena pun mengalah, ia dan Ida pergi menuju salah satu pusat perbelanjaan elit, meninggalkan Tiara dan Rima berdua saja.
“Maaf ya mbak Ti, Mamah emang suka gitu. Kadang sensian.” Rima meminta maaf, atas sikap ibunya.
“Nggak apa-apa, mungkin Mamanya tegang dan gugup menjelang hari bahagia putri kesayangannya.” Tiara selalu berusaha memaklumi.
“Mamah kadang suka berlebihan aja, mengkhawatirkan banyak hal. Bahkan sampai Edo pun di curigai, katanya takut selingkuh. Padahal selama ini hubungan kami baik-baik aja.” Rima terkekeh.
“Mudah-mudahan acaranya lancar ya, sampai hari H nanti.” Doa tulus itu mengalir begitu saja dari bibirnya. Kebencian dan kekecewaan yang ada dalam hati Tiara di kubur dalam-dalam, ia tidak ingin mendoakan hal buruk pada pernikahan Edo dan Rima. Biar saja kesalahan itu menjadi bagian dari kehidupannya, tidak untuk diulang dan tidak untuk dijadikan dendam.