“Udah mendingan?” Tanya Ibu, saat melihat Tiara duduk di meja makan setelah tiga hari mengurung diri di dalam kamar. Awalnya hanya ingin cuti dua hari saja, tapi kondisinya sedikit bermasalah. Selain terkejut dengan pertemuan yang tidak diinginkan itu, juga karena asam lambung nya kumat.
“Udah.” Tiara mengangguk.
“Jangan lupa obatnya dibawa.”
Ibu mengingatkan, lagi-lagi Tiara mengangguk. Memasukan obat ke dalam tasnya.
“Aku pamit dulu, Bu. Tiara dan Mbak Imas ada di belakang, katanya mau renang.”
“Iya, nanti Ibu ke belakang, mau antar makanan ke kebun Bapak dulu.” Bapak dengan hobinya berkebun, sementara Ibu ikut menjaga Tiara dan mengurus rumah.
Tiara senang, masa tua kedua orang tuanya dihabiskan dengan hal-hal yang mereka sukai, bapak dengan hobinya berkebun, sementara Ibu mengurus cucu dan rumah. Tiara tidak membebankan semua pekerjaan rumah pada Ibu, ia juga mempekerjakan seorang asisten untuk membantu Ibu.
Kehidupan yang semakin membaik dari waktu ke waktu, jika dulu ia merasa begitu pesimis dengan masa depannya yang tidak tahu kemana arah dan tujuannya, kini Tiara bisa menikmati hasil jerih payahnya selama tiga tahun terakhir. Walaupun tidak semua hal berjalan seperti keinginan, tapi Tiara tetap bersyukur atas pencapaian yang dimilikinya.
“Iya.”
Tiara pamit, dan ia akan kembali memulai harinya setelah tiga hari kemarin meratapi nasibnya di dalam kamar.
Usai memarkirkan mobil di area khusus karyawan, Tiara segera bergegas menuju ruang kerja Madam Ida. Beberapa waktu lalu ia sempat menghubungi Ajeng untuk menanyakan keberadaan Madam, dan ia pun mendapat informasi bahwa Madam sudah datang sejak pagi. Tiara tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu dengannya secepat mungkin.
“Selamat pagi Madam,” sapa Tiara, setelah mengetuk pintu beberapa kali.
“Tiara,” madam terkejut dengan kehadiran Tiara. “Sudah sehat?” Bahkan wanita paruh baya itu sampai beranjak dari tempat duduknya menghampiri Tiara.
“Masih demam?” Satu tangan Madam menempel di dahinya, untuk memeriksa suhu tubuh Tiara.
“Sudah membaik, Madam.” Tiara meyakinkan.
“Tapi kamu masih pucat.”
Tiara tersenyum, walau ia sudah berusaha merias wajahnya agar terlihat segar, namun tetap saja sorot matanya masih terlihat sayu.
“Sudah sangat membaik.” Tiara kembali meyakinkan.
Madam menarik sikut Tiara, mengajaknya duduk di sofa berwarna merah muda yang ada di dalam ruang kerja Madam. Ruangan tersebut memang bernuansa serba pink, warna kesukaan Madam Ida.
“Kamu boleh istirahat lebih lama kalau dirasa belum sembuh. Nggak apa-apa, semua pekerjaan di kantor aman terkendali.”
Selama Tira libur, memang bertepatan dengan kondisi kantor yang tidak terlalu sibuk. Meski begitu, Tiara tidak ingin mengabaikan tanggung jawabnya.
“Kamu harus sehat, Ti. Ingat, kita ada proyek besar sebentar lagi.”
Madam memberikan satu botol vitamin pada Tiara.
“Seorang teman memberiku vitamin. Ini bagus, coba kamu konsumsi sehari satu tablet aja, aku jamin nggak akan gampang sakit.”
“Terimakasih, Madam. Tapi,”
“Progresnya sudah sampai mana? Ajeng bilang, Rima ingin membahas lebih pastinya besok.”
Tiara memegang erat botol vitamin dengan kedua tangannya. Tujuannya datang langsung ke ruang kerja Madam, yakni untuk membicarakan perihal rencana pernikahan Rima dan lelaki itu.
Tiara sudah meyakinkan diri sejak semalam, ia tidak akan terlibat dalam acara tersebut. Lebih baik menyerahkan proyek itu pada rekannya, Ajeng.
“Kita akan semakin dikenal, Ti. Bukan hanya itu, aku dan Ibunya Rima berteman sejak lama, Rima sudah seperti anakku sendiri.”
Bahkan dari ucapannya saja sudah jelas menggambarkan bagaimana kebahagiaan yang dirasakan Madam, saat ia dipercaya mewujudkan pernikahan impian anak dari sahabatnya. Ralat! Madam sudah menganggap Rima sebagai anaknya sendiri.
Tiara akan semakin kesulitan untuk mundur, tapi di satu sisi ia pun tidak mungkin memaksakan diri tetap terlibat. Hatinya seperti tercabik-cabik saat mengetahui bahwa lelaki itu menjalani hidup dengan baik, bahkan berhasil menyelesaikan pendidikannya dengan baik, dia bergelar Doktor, sementara Tiara hanya seorang karyawan biasa. Mimpinya hancur dan tidak ada kesempatan lagi untuk mewujudkannya.
Tiara menghela lemah, berusaha memberanikan diri.
“Madam,” panggilnya dengan tatapan serius.
“Begini,” ia membetulkan posisi duduknya, agar saling berhadapan.
“Kenapa? Ada masalah?” Tanya Madam, yang juga menyadari perubahan pada Tiara.
“Madam, sepertinya aku nggak bisa ikut terlibat dalam acara pernikahan Rima.”
“Kenapa? Ada masalah? Coba ceritakan.”
Madam memberondong Tiara dengan tiga pertanyaan sekaligus.
Tiara nampak berpikir, ia tidak menyiapkan alasan yang mungkin bisa diterima Madam. Seharusnya ia sudah menyiapkannya sejak awal, bukan dadakan seperti ini.
“Begini Madam, acara pernikahan Rima bertepatan dengan ulang tahun Davina. Aku Uda terlanjur pesan segala macam keperluan acara ulang tahun, nggak mungkin aku membatalkannya.” Hanya itu satu-satunya alasan yang terlintas dalam pikiran Tiara. Ulang tahun Davina yang bertepatan dengan acara pernikahan Edo, ayahnya.
“Oh, itu. Kirain apaan.” Madam terkekeh, ekspresi yang tidak pernah Tiara duga.
“Madam nggak marah?” Tanya Tiara ragu.
Wanita itu menggeleng, bahkan dengan senyum yang menghiasi wajahnya. Sungguh di luar dugaan, jika sebelumnya Tiara mengira Madam akan beraksi kesal, kecewa atau marah, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Madam terkekeh saja, seolah apa yang diucapkan Tiara bukan masalah besar untuknya.
“Kenapa harus marah?” Madam balik bertanya.
“Kan, aku nggak bisa ikut acara pernikahan itu.”
“Siapa bilang?”
Kening Tiara mengerut, tidak mengerti dengan situasi yang terjadi.
“Ulang tahun Davina akan tetap berjalan sesuai rencana, begitu juga dengan pernikahan Rima.”
“Ajeng yang akan mengambil alih?”
Madam menggelengkan kepalanya. “Tetap kamu, aku nggak mau orang lain.”
“Tapi, Madam.”
Wanita itu mengacungkan ibu jarinya, memberikan isyarat pada Tiara untuk diam
“Kamu tetap menjadi penanggung jawab utama pernikahan Rima.” Tegasnya.
“Tanpa membatalkan acara ulang tahun Davina tentu saja.” Lanjutnya, sementara Tiara terdiam dengan mulut terbuka.
“Kamu bisa membantu Rima menyiapkan acara pernikahan, dan pas hari H’nya, kamu nggak perlu hadir ada kru yang lain, yang bisa menggantikan.”
“Tapi, Madam.”
“Jangan dibuat ribet, kamu masih bisa bantu acara pernikahan Rima dan acara ulang tahun Davina pun tetap berjalan. Oke.”
Tiara hendak kembali beralasan, tapi Madam sudah terlebih dulu beranjak dari tempat duduknya.
“Jam satu siang, kita akan bertemu keluarga Rima. Siapkan semuanya, ya? Jangan lupa makan dan minum obat, aku nggak mau kamu sakit. Oke?” Madam mengusap puncak kepala Tiara dengan lembut, lantas kembali menuju meja kerjanya.
Saat madam mengenakan kacamata dengan model cat eye itu, artinya ia tidak ingin diganggu dan dalam mode serius. Tiara hanya bisa menghela lemah, jika sudah seperti ini ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Akhirnya ia tetap akan menjadi orang yang bertanggung jawab untuk pernikahan mantan suaminya.
Tiara tersenyum samar.
“Sial!”