Cinta mengunyah makanannya dengan wajah kesal. Tubuhnya tetap terbalut selimut, menutupi lekuk yang jelas terlihat di balik slip dress tipis yang ia kenakan. Sendoknya beberapa kali beradu dengan piring, menimbulkan suara nyaring yang jelas-jelas ia sengaja. Bias yang duduk di depan Cinta hanya menahan tawa. Memasang wajah serius, sambil terus menyantap sarapan paginya. “Awas, nanti piringnya pecah,” kata Bias memperingatkan. Cinta tidak membalas, hanya memberi tatapan tajam. Saat ini, ia sedang memikirkan cara agar bisa pergi dari hotel. Selain pakaian, Bias juga menyembunyikan tas yang berisi ponsel dan dompetnya. Karena itulah, ia sedang berpikir keras, mencoba mencari celah sekecil apa pun untuk kabur. Satu-satunya yang bisa dihubungi Cinta saat ini adalah Dinda, karena hanya nomor

