BAB 10
THINKING CLEAR
Mara...
Ternyata keesokan harinya menjadi lebih sulit untuk kami lalui tanpa rasa canggung.
Aku tidak bisa kemana-mana sementara kakiku masih membengkaka dan berdenyut-denyut. Bahkan untuk membersihkan dirimu sendiri saja aku tidak bisa. Di istanya aku memang sudah biasa di layani, bahkan untuk mandi dan menggosok punggungnku, tapi sampai saat ini aku masih belum bisa membayangkan jika semua itu dilakukan oleh seorang pria. Aku memang tidak memiliki pilihan kecuali mengabaikan rasa maluku, walaupu Theo terlihat santa saat melakukannya tapi aku yakin semua pekerjaan itu pasti sangat tidak midah baginya.
"Terimakasih," kataku setiap kali dan biasanya Theo hanya tersenyum dan menciumku sebentar.
Theo memang melakukan semuanya untukku, dia benar-benar mengurusku dengan baik beberapa hari ini. Sementara aku tidak tau apa dia masih mengingat Putri yang di impikannya itu saat sedang bersamaku seperti ini. Berulang kali pikiran itu sangat menggangguku. Meski rasanya sangat alami saat kami bersama tapi aku tetap tidak bisa mengabaikan kenyataan itu begitu saja.
Aku ada di tempat ini untuk sebuah tujuan, yang jelas bukan untuk jatuh cinta dengan seorang pemburu tampan yang ku temukan di tengah hutan, terlebih aku tau jika dia juga memiliki mimpinya sendiri. Tapi kami sama-sama tidak tau kenapa kami justru membiarkan hal bodoh ini terjadi, baik aku ataupun Theo sepertinya sama-sama belum pernah benar-benar memikirkannya.
hampir satu minggu berlalu, aku. merasa kondisiku sudah jauh lebih baik.
Meski masih terasa nyeri tapi kakiku sudah tidak bengkak lagi, aku mulai bisa turun pelahan dari tempat tidur. Aku memang harus segera belajar untuk bisa berjalan sendiri lagi agar tidak selalu merepotkan orang. Aku sudah duduk di dekat meja saat kuperhatikan kesibukan Theo membuat makanan untukku.
"Kau sudah bangun?" dia terkejut melihatku.
"Sepertinya kita harus bicara," kataku, sepertinya dia cukup paham apa maksudku.
Theo berjalan mendekatiku, menarik tempat duduk di depanku dan duduk di sana setelah mengecup keningku, belakangan dia sudah tidak lagi meminta ijin untuk menciumku.
Kali ini sepasang Netra coklatnya tak bergeming menatapku, dari seberang meja lengannya ter ulur untuk meraih telapak tanganku, menggosok lembut punggung tanganku dan kembali menciumnya setiap kali.
"Dengar, aku tidak tau kenapa aku melakukannya, kurasa kau juga sama," aku mulai bicara.
Ternyata dia menggeleng, "Tidak, aku sangat sadar dengan apa yang kulakukan." Theo kembali mendongaknuntuk mau natapku dengan begitu yakin.
Oh! reflek tiba-tiba kutarik tanganku dari genggamannya, Theo hanya terlihat bingung dengan reaksi tiba-tibaku, tapi dia tidak bertanya dan hanya memilih menyandarkan punggungnya lebih tegak di sandaran kursi dengan masih menatapku.
"Kita tidak bisa melakukan ini," kataku coba mencerna kenyataan.
"Kau benar, tapi aku mulai tidak perduli dengan aturan siapapun."
"Baiklah, anggap saja ini bodoh karena membiarkan kita hanya berdua tinggal dalam satu rumah," aku coba berpikir masuk akal, "dan kau harus tetap ingat aku bukan tuan putrimu," kataku kau mudian, saat mencondongkan tubuhkunke atas meja.
Theo berusaha kembali meraih tanganku tapi aku menolaknya.
"Apa kau tidak menginginkanku karena itu?" lanjutnya dengan agak kecewa, "karena kau selalu ber pikir aku masih mencintai wanita lain?"
Theo mulai menggeleng, "kau salah besar tentang itu, Mara."
Aku mengerjap dan Theo masih menatapku dengan posisi yang sama....
Entah kenapa tiba-tiba aku justru merasa itu pertanyaan untuk hal yang lain....
Oh Tuhan sejauh apa sebenarnya aku sudah mengenal pemuda ini????? ....
mari luangkan untuk memberi dukungan untuk cerita ini, kasih Like sebagai hadiah yang sangat berharga buat penulis