“Kita ke toko perhiasan dulu,” ucap Atlantis sambil fokus mengemudi tak lama setelah mendapat arahan dari Ayana.
“Toko perhiasan? Mau ngapain?” Ayana menatap penasaran Atlantis.
“Y—ya beli, masa jual?” Atlantis menatap heran Ayana.
“Minimal, kamu harus memenuhi leher, tangan, bahkan bila perlu kaki kamu, pakai perhiasan!” ujar Atlantis. “Definisi kaya di mata orang kampung, gitu, kan? Leher penuh perhiasan. Patah-patah tuh leher karena keberatan emas!”
“Astaga ... ada gila-gilanya juga nih orang!” batin Ayana yang juga memperkarakan keputusan Atlantis membuat acara mewah untuk syukuran pernikahan mereka.
“U—ang dari mana?” ucap Atlantis yang dalam hatinya langsung ingat, pak Supri mengenalkan dirinya kepada Ayana, sebagai sopir yang merangkap jadi tukang bangunan.
“Kamu menang slot, ya?” ucap Ayana tak segan menuduh.
“Sebentar, ... slot itu apa?” bingung Atlantis.
“Dia enggak tahu slot? Masa iya, orang miskin enggak tahu slot,” batin Ayana yang kemudian jadi agak bingung. Sebab Atlantis mengaku, bahwa pria itu menemukan harta karun ketika kerja di proyek.
“Keterangan dari kami, agak nganu, sih,” ucap Ayana.
“Heh, nganu gimana? Ini kamu bilang nganu, pikiranku langsung traveling, Ay!”
Apa yang Atlantis katakan barusan, sudah langsung membuat Ayana meliriknya tajam.
Pada akhirnya, Atlantis sungguh memborong perhiasan untuk Ayana.
“Nanti langsung pake. Angkat kedua tangan kamu yang bakalan penuh gelang. Full senyum, ok!” berisik Atlantis, meski pria itu melakukannya dengan berbisik-bisik.
Ayana merengut sebal kemudian geser sengaja menjaga jarak dari suami dadakannya.
Namun karena penasaran pada ATM atau malah kartu kredit milik Atlantis, ia sengaja mengambilnya dari tangan karyawan toko perhiasan. Pria baya bermata sipit khas orang chinese itu, Ayana ketahui merupakan pemilik toko. Karena yang Atlantis beli termasuk sangat banyak, mereka langsung dilayani secara khusus oleh pemilik toko.
“Makasih banyak, Bah!” ucap Atlantis membiarkan kartu ajaib selaku alat pembayarannya, diambil Ayana.
“Mencurigakan!” cibir Ayana sambil melirik curiga Atlantis.
“Apa lagi?” lirih Atlantis.
Karena si Babah pemilik toko perhiasan, justru menggoda Atlantis dan Ayana. Dengan enteng Atlantis membalasnya, “Istri memang gini Bah. Dikasih dikit, katanya kita pelit. Dikasih banyak, kita malah dicurigai!”
“Masalahnya, katanya kamu miskin, Mas! Masa iya, ayahku berbohong!” batin Ayana.
Ketika Ayana merasa tersinggung dengan sindiran Atlantis. Tidak dengan babah pemilik toko perhiasan. Pria bertubuh gempal yang memakai kalung emas menyerupai rantai sepeda anak-anak itu sampai keluar dari toko, mengantar mereka dengan santun.
“Ay, ... ini tetangga kamu, apa orang-orangnya ibu camat, ada yang lihat kita borong emas, enggak? Biar mereka gibahin, dibesar-besarin gitu, dan kabar aku beliin kamu banyak perhiasan, langsung tersebar?” ucap Atlantis berbisik-bisik persis di sebelah kanan belakang Ayana yang memimpin langkah.
Alih-alih kesal apalagi tersinggung, yang terjadi pada Ayana malah menertawakan Atlantis. Tangan kanan Ayana yang pundaknya dihiasi tas dirinya menyimpan perhiasan, juga refleks mendorong d**a Atlantis.
“Mas beneran cocok jadi pembawa berita gosip itu loh!”
“Eh sembarangan! Gini-gini aku mahal. Sementara kang pembawa acara gosip, kebanyakan melambai!” balas Atlantis.
“Ay, itu toko elektronik ... pesen di sini saja kali ya. Minta diantar ke rumah orang tuamu. Kita beli kulkas, kipas, kompor, ... daster jangan lupa Ay, biar para ibu-ibu heboh nyuruh suaminya ikut panjat pinang di acara kita!” ucap Atlantis.
“Buang-buang uang kan Mas?”
“Kalau mau kelihatan Wah memang harus banyak modal. Jangan tanya buat apa? Karena ini jadi satu-satunya cara membungkam mereka yang sudah merendahkan kamu dan orang tuamu.”
“M—Mas Atlantis, orang yang membenci kita tidak akan bisa menerima kita apa pun kondisi sekaligus usaha gang kita lakukan—”
“Yang kita hadapi bukan orang yang membenci kamu dan orang tua kamu. Yang kita hadapi itu masyarakat luas dan lingkungan kamu tinggal. Mereka yang akan menilai kita. Mereka akan menjadikan kemewahan yang kita suguhkan sebagai penilaian. Urusan mereka yang benci, enggak suka ke kita mah, terserah mereka. Biar mereka kena penyakit hati bahkan penyakit liver sekalian!” yakin Atlantis. “Itu perhiasan juga enggak usah dibalikin. Itu punya kamu.”
“M—Mas ...? Mas Bahkan sudah boleh menceraikan aku—” Ayana tidak bisa untuk tidak syok. Karena harga perhiasan yang Atlantis berikan kepadanya saja, bisa untuk membeli sawah seratus lima puluh ubin di kampungnya. Namun dengan entengnya, Atlantis mengalihkan pembicaraan. Atlantis buru-buru menggandeng lengan kanan Ayana, menuntunnya masuk ke toko elektronik yang sebelumnya dimaksud.
“Melawan sakit hati, ... memang harus semodal ini?” batin Ayana.
*
Kehebohan sudah langsung terjadi, bersamaan dengan kepulangan Ayana dan Atlantis. Sebab di belakang mereka ada mobil pick up yang mengangkut belanjaan mereka.
Wajah-wajah mereka yang menyaksikan, tampak begitu semringah. Mereka langsung bersemangat, tak sabar mengikuti acara yang Atlantis siapkan.
Terlihat pohon pinang yang disiapkan. Para pemuda dan bapak-bapak, dijatah mengurusnya. Sementara ibu-ibu, dijatah masak. Namun ketika dua kambing pesanan Atlantis datang, para bapak-bapak dibagi dua grup. Satu melanjutkan membuat pinang. Sementara kelompok satunya mengurus kambing.
Diam-diam, Ayana terusik oleh ekspresi heboh seorang Atlantis, dan baginya berlebihan. “Mas Atlantis ... iya. Sikapnya agak aneh. Seolah dia enggak pernah lihat kesibukan orang kampung kalau ada acara rewang gini. Lihat, kegirangan gitu mirip orang kaya yang tersesat di kampung,” batin Ayana mengintip dari jendela kamarnya.
Di jendela kayu dua sisi dan ada persis di bagian depan rumah, Ayana melongok kesibukan di luar. Di luar, Atlantis yang seolah tidak memiliki rasa lelah, tengah menjadi bagian kesibukan. Kadang, Atlantis ikut bantu-bantu mengurus persiapan panjat pinang. Tak jarang, Atlantis juga akan kepo dengan proses pemotongan kambing. Dan selama itu terjadi, pak Supri selalu mengikuti Atlantis.
Cara sang ayah mengikuti Atlantis, dirasa Ayana lebih mirip seorang pengasuh yang tidak mau anak asuhnya kenapa-kenapa.
“Iya, ... Ayah kelihatan sayang banget ke mas Atlantis. Mmm, apa karena mas Atlantis sudah keluar banyak uang buat angkat derajat kami?” pikir Ayana masih bertahan mengawasi dari jendela sambil manyun. Barulah ketika Atlantis yang sedang cengengesan dengan warga tak sengaja menoleh kepada Ayana. Ayana sudah langsung kikuk, kebingungan harus melakukan apa. Ayana buru-buru balik badan. Hingga Atlantis yang menyaksikan lucunya salah tingkah dari seorang Ayana, tersipu mengawasinya.
Ketika bayi tua yang dijaganya malah tersipu malu mengawasi jendela kamar Ayana. Saat itu juga pak Supri makin yakin. Bahwa anak bosnya memang sudah ada rasa kepada Ayana, putri semata wayangnya.