"Dokter ingin bicara padamu tentang kondisi Fathur." ucap Panji pelan.
"Panji !! Aya !! Cepat." ucap Wibisono teriak dengan sangat keras.
Wibisono pun berlari berbalik arah lagi ke arah kamar Fathur. Di sana sudah ada dokter dan perawat yang sedang memeriksa Fathur. Kondisinya melemah bahkan sangatlah lemah.
Aya dan Panji pun berlari di sepanjang koridor rumah sakit itu hingga mengeluarkan suara menggema dari derap langkah kakinya akibat hentakan alas kakinya yang menyentuh lantai rumah sakit itu.
Suasana yang sunyi dan sepi membuat tubuh Aya pun sedikit merinding dengan hawa dini hari yang dingin menusuk hingga ke lapisan kulit yang paling dalam.
Kamar itu terang benderang dan sudah ramai di penuhi tenaga medis. Ada dua dokter yang memeriksa dan tiga orang perawat dengan tugasnya masing-masing.
Aya pun masuk ke dalam kamar itu, tatapannya langsung ke arah Fathur yang terbaring lemah dibatas brankar rumah sakit. Wajahnya sangat pucat dan tubuhnya pun sudah dingin saat di sentuh.
Beberapa alat bantu di tempelkan di dadanya, dan selang pernafasan yang masih setia menempel di hidung Fathur. Dua selang infusan yang ditujukan pada kedua tangannya. Satu kata yang bisa diucapkan bila melihat kondisi Fathur saat ini mengenaskan.
"Apa yang terjadi dengan adik saya dokter?" tanya Aya yang sudah berdiri di ujung belakang brankar Fathur dengan memegang kaki Fathur.
Dokter muda itu menoleh ke arah Aya. Lalu menghampiri Aya yang masih memandangi wajah adiknya dengan penuh rasa iba dan kasihan.
"Bisa kita bicara di ruangan saya." ucap Dokter itu pelan.
Aya pun hanya mengangguk pasrah dan menoleh ke arah Panji yang sedari tadi pun menyimak pembicaraan keduanya. Aya menatap ke arah Panji seolah-olah meminta ditemani untuk membicarakan masalah adiknya ini.
"Saya Kakaknya juga, kami berdua akan bicara dengan Anda dokter tentang perkembangan Fathur." ucap Panji dengan tenang.
Mereka pun berjalan menuju ruangan dokter muda itu. Satu tulisan nama dan pekerjaan dokter tersebut tertempel pada papan kecil di dinding samping pintu masuk.
Dokter muda itu bernama Putra Specialis Saraf. Begitu tulisan yang tepampang di dinding depan.
Kedua tamunya itu dipersilahkan duduk di kursi yang sudah di sediakan berhadapan dengan Dokter Muda itu.
"Begini ya Mbak dan Mas, Saya akan menjelaskan permasalahan tentang pasien kita Fathur. Ada benturan di kepalanya yang membuatnya mengalami gangguan mental. Benturan ini ternyata mengakibatkan darah membeku di dalam dan harus segera di operasi. Nah penyumbatan ini mengakibatkan beberapa syaraf Fathur tidak bisa berfungsi dengan maksimal. Kalaupun sadar dari koma pun, mentalnya akan sedikit terganggu." ucap Dokter Putra kepada Aya dan Panji.
"Lalu kondisinya bagaimana dokter?" tanya Panji kepada Dokter itu.
"Itu yang saya masih sulit mengungkapkan. Percobaan bunuh diri itu mengakibatkan pendarahan yang begitu hebat. Nadinya pin hampir saja terputus. Saya yakin Fathur sembuh tapi hanya waktu yang bisa menjawab. Itu juga harus dengan bantuan semua alat itu, bila tidak kesembuhan itu akan sulit." ucap Dokter itu dengan sangat lirih.
Hal seperti ini yang membuat seorang dokter pun tidak sanggup mengatakan kepada keluarga pasien. Harus berbohong mengenai kondisi pasien yang sesungguhnya.
"Berapa lama lagi Fathur adik saya akan tersadar Dokter Putra?" tanya Panji menyelidik.
"Saya tidak bisa memastikan hidup atau meninggalnya seorang pasien, yang terpenting kita sama-sama berusaha dan berdoa. Fathur akan aman berada di ruangan itu." ucap Dokter Putra memberikan saran.
Hanya satu yang menjadi beban Aya, itu adalah biaya rumah sakit. Kenapa nasibnya begitu menyedihkan seperti ini. Lalu apa arti kecantikan yang Aya miliki kalau kehidupannya berakhir dengan kesedihan dan masalah yang terus saja datang silih berganti.
Aya dan Panji pun ke luar dari ruangan Dokter Putra lalu duduk di kursi panjang yang ada di depan ruangan tersebut.
Aya menangis sejadi-jadinya. Ia meratapi nasibnya yang yatim piatu dan malang ini.
"Kecantikan yang aku miliki tidak berguna Mas Panji. Lalu untuk apa aku cantik dan dikenal banyak orang bila hidupku harus berakhir tragis seperti ini. Aku lebih baik buruk rupa tapi hidupku dikelilingi banyak orang yang sayang dengan aku!!!" ucap Aya dengan suara keras dan menggema.
Pagi ini Aya benar-benar meluapkan bebannya dengan berteriak di rumah sakit yang sunyi itu. Suaranya menggema di seluruh koridor panjang itu. Tangisannya tidak bisa berhenti hingga dadanya pun ikut sesegukan karena rasa yang begitu nyeri di dadanya.
Panji hanya membiarkan Aya seperti itu, biar Aya meluapkan kesedihannya, kekesalannya, dan kekecewaannya terhadap dirinya sendiri. Padahal itu bukan solusi utama. Tetap solusi terbaik adalah berwudhu lalu sholat dan bersujud di atas sajadah, rasakan nyaman dan kenikmatan yang perlu kamu syukuri.
Beban yang ada bukanlah tanpa sebab melainkan akibat dari hal sebelumya. Begitu pula dengan takdir, karena roda kehidupan itu terus berputar. Ada pertemuan pasti ada perpisahan, ada kelahiran dan ada kematian. Jangan pernah salahkan takdir yang sudah menjadi ketetapan Allah SWT, tapi memohon untuk bisa mengikhlaskan dan bersabar menghadapi setiap cobaan yang hadir dalam kehidupan kita.
Melihat Aya yang semakin terlihat frustasi, Panji menariknya dan memeluk Aya dengan erat. Mengusap punggung gadis itu dengan pelan dan lembut hingga isakannya pun perlahan berhenti. Aya pun sudah mulai tenang dalam pelukan itu, hingga suara adzan shubuh pun terdengar sangat jelas. Panji pun melepaskan pelukan itu dengan pelan dan menatap Aya dengan tatapan lembut dan penuh kasih sayang.
"Kita sholat shubuh dulu. Kamu mau kan? Biar hati kita tenang dan pikiran kita semakin jernih untuk berpikir. Setelah ini kita cari solusi yang terbaik, agar kehidupan kita tidak berhenti sampai disini karena meratapi kesedihan dan keterpurukan." ucap Panji menjelaskan.
Aya mengganggukkan kepalanya dengan pasrah, entah mengapa mendengar kata sholat saja hatinya seperti tersiram air es yang dingin. Nyeess .... membuat hati dan jantung pun ikut mengebulkan asap karena suasana hati yang belum stabil.
Dengan tulus Panji pun menggandeng tangan Aya dan berjalan menuju mushola di rumah sakit itu. Lalu mereka berwudhu dan sholat shubuh berjamaah.
"Gimana? Sudah lebih tenang?" tanya Panji pelan lalu membantu Aya membereskan mukena dan sajadahnya.
"Alhamdulillah Mas Panji. Aya lebih tenang. Mas Panji, rumah akan Aya jual saja. Aya akan cari kost yang dekat sini. Biar mudah menjenguk Fathur. Pagi Aya tetap sekolah, dan sore Aya juga akan tetap berjualan. Hanya ini yang Aya bisa, sebelum ada pekerjaan lain yang tidak mengganggu waktu sekolah Aya." ucap Aya dengan pelan.
"Aku setuju, baiklah biar Nunu dan Wibisono yang mencari peminat rumah kamu. Nanti aku akan Carikan kost dekat sini. Kita berempat akan menjaga Fathur bergantian. Aya ... tidak ada yang tidak mungkin. Tetap semangat menggapai cita-cita kamu." ucap Panji memberikan motivasi.
Hari ini bisa jadi mereka menyelesaikan masalah mereka dengan kepala dingin. Hari esok, lusa apa yang akan terjadi pun belum bisa kita ketahui. Manusia hanya berharap semua doa-doanya dikabulkan sesuai keinginannya dengan cepat dan instant. Padahal semua itu butuh proses dan perjuangan yang sangat berat dan berliku.
Perjuangan seorang Aya, yang menjadi pengganti Ibu sekaligus Kakak bagi Fathur yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya rasa syukur yang harus Aya panjatkan bahwa masih ada Fathur untuk menjadi penyemangat hidupnya.
'Fathur lekaslah sembuh temani Mbak Aya walaupun itu sangat mustahil tapi Mbak Aya tetap berharap ada keajaiban untuk hidupmu. Bangunlah Fathur jangan terlalu lama tidur dan melupakan Mbak Aya yang selalu menemani kamu.'
Perjuangan seorang Aya, yang menjadi pengganti Ibu sekaligus Kakak bagi Fathur yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya rasa syukur yang harus Aya panjatkan bahwa masih ada Fathur untuk menjadi penyemangat hidupnya.
'Fathur lekaslah sembuh temani Mbak Aya walaupun itu sangat mustahil tapi Mbak Aya tetap berharap ada keajaiban untuk hidupmu. Bangunlah Fathur jangan terlalu lama tidur dan melupakan Mbak Aya yang selalu menemani kamu.'
Satu tahun kemudian ....
Aya sudah terbiasa dengan kesendirian dan kemandiriannya. Sudah hampir setahun ini Fathur belum juga tersadar dari komanya. Aya tetap melakukan rutinitas setiap hari, setiap pagi ke sekolah dan bekerja di sore hari. Dan pada malam hari, Aya pun menemani Fathur dan tidur di rumah sakit. Seperti itu setiap hari.
Sudah hampir dua bulan juga Panji tidak mengunjungi Aya dengan alasan persiapan wisuda. Terlebih saat ini Panji sudah bekerja di Perusahaan Jasa dan Travel di Kota Solo. Rasa rindu dan kehilangan yang teramat sangat pun bercampur menjadi satu, mereka hanya bisa melepas rindu dengan video call di malam hari saja.
Walaupun begitu, Panji rutin memberikan pesan singkat untuk memotivasi atau sekedar memberi kabar tentang mereka. Satu jam tidak ada kabar antara keduanya, disaat itu juga mereka gelisah dan cemas.
Apakah ini Cinta??
Atau
Hanya pengusir rasa sepi karena rindu??
Ikatan batin keduanya pun saling mengontak. Bila yang satu sedang tidak baik-baik saja maka yang satu akan memiliki firasat yang sama begitupun sebaliknya.
Rumah Aya pun sudah di jual untuk biaya rumah sakit Fathur beberapa bulan ke depan selama perawatan. Entah apa lagi yang harus Aya lakukan bila uang itu sudah habis untuk biayai perawatan dan pengobatan Fathur.
Saat ini, Aya hanya tinggal di kamar kost yang cukup nyaman dan aman. Ibu kostnya pun baik dan ramah. Sudah beberapa kali Panji pun datang ke kost tersebut untuk menjenguk Aya sewaktu sakit karena kelelahan.
Apa Kabar denganmu Firman???
Firman adalah sahabat Aya yang sudah lama menghilang dan tidak diketahui keberadaannya. Hanya satu yang mengetahui tentang Firman dia adalah Panji. Sesuai keinginan Firman, Panji pun menutup rapat informasi tentang Firman.
Sebentar lagi adalah kelulusan sekolah SMK Pariwisata, jadi Aya pun mulai di sibukkan dengan banyak tugas dan ulangan harian di sekolahnya dan waktunya banyak di gunakan untuk belajar mempersiapkan ujian nasional.
Aya sedang bersiap untuk pergi berjualan di Alkid. Malam ini adalah malam Minggu, seperti yang sudah-sudah Aya akan datang lebih awal untuk membantu Mas Budi berjualan.
Terakhir memberikan kabar kepada Panji bahwa dirinya selesai menjenguk Fathur dan akan bersiap berjualan, namun pesan itu tidak dibalas bahkan tidak dibaca oleh Panji.
"Assalamualaikum Mas Budi ..." ucap Aya dengan ramah.
"Waalaikumsalam ... Aya? Kamu sudah datang?" ucap Mas Budi pelan.
"Sudah Mas, tadi habis dari rumah sakit melihat Fathur, kan malam ini Aya pulang agak malam." ucapnya pelan.
Aya pun langsung membantu melayani pembeli yang memesan di lapak Angkringannya.
"Tadi ada seseorang yang mencari kamu, wajahnya tidak asing, tapi aku lupa menanyakan namanya." ucap Mas Budi yang sedang membakar jahe.
"Mas Panji? Mas Nunu? atau Mas Wib?" tanya Aya pelan sambil menatap Mas Budi.
Mas Budi yang ditatap pun hanya mengangkat bahunya ke atas tanda tidak tahu.
Aya hanya manggut-manggut tapi dalam hatinya penasaran. Siapa gerangan yang datang mencarinya???, gumam Aya dalam hatinya.
Hari pun semakin senja dan semakin gelap, adzan maghrib pun sudah bergema. Suasana yang ramai pun kini mulai menyepi, suara gemuruh teriakan anak-anak kecil pun berganti suara ayat Alquran yang terdengar keras di sekitar Alkid.
Aya pun sibuk menyiapkan minuman, menghancurkan es batu dan memasak air panas. Aya sudah ditinggalkan Mas Budi untuk berkeliling ke lapaknya yang lain.
"Assalamualaikum .... " ucap seseorang mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam ... Pesen apa Mas??" ucap Aya pelan tanpa menoleh ke arah suara pengucap salam.
"s**u Jahe dan mendoan bakar, kecapnya yang banyak." ucap Lelaki itu memesan makanan kesukaannya.
Aya pun merasa kenal dengan pemilik suara dan pesanan ini pun seperti biasa. Aya mendongakkan wajahnya menatap lelaki yang ada di depannya saat ini
"Kak Fadil?!!" teriak Aya sedikit histeris.
Aya pun memutar lapaknya dan menubruk tubuh kurus itu yang tak lain adalah Fadil.
"Gimana kabar Kak Fadil? Kakak kemana aja?" tanya Aya dengan beruntun.
Fadil pun melepaskan pelukan Aya yang semakin erat hingga membuat dadanya sedikit sesak
"Kok nangis? Kakak yang harusnya bertanya, kalian pindah kemana?" tanyanya penuh harap kepada Aya, adik perempuan satu satunya.
Aya mendengar penuturan Kak Fadil pun tersenyum kecut dan memory satu tahun yang lalu pun kembali berputar. Aya pun menjauhkan tubuhnya dari tubuh Fadil. Rasa kecewa dan sesak di dadanya pun semakin terasa.
"Maafkan Kakak, Aya ... Kakak tidak bermaksud menyakiti dan membuat Ibu dan kalian semua kecewa. Kakak mau minta maaf sama Ibu." ucapnya lirih penuh penyesalan yang teramat dalam.
Buliran kristal itu sudah membuat mata Fadil menjadi basah dan merah. Selama ini hidupnya pun tidak berkah dan kehadirannya sebagai suami pun hanya sebatas status belaka. Banyak yang tidak mengetahuinya, di depan Fadil dan Friska memang tampak romantis dan saling menyayangi, namun di belakang, itu semua hanya sandiwara belaka. Rumah tangganya hancur dan hanya berumur pendek.
Selama ini Fadil menyendiri dan malu untuk kembali, hingga akhirnya bertemu dengan Panji di kota yang sama. Mereka bekerja di lokasi yang sama hanya berbeda perusahaan.
Banyak hal yang di ceritakan, namun ada hal lain yang tidak di ceritakan oleh Panji. Tentang kematian Ibunya dan Fathur yang koma selama setahun ini.
"Mudah Kak Fadil bilang maaf? Mungkin saat ini juga, Aya bisa memaafkan Kak Fadil, tapi Ibu dan Fathur? Aya tidak bisa membantu Kak Fadil untuk mendapatkan maaf dari mereka." ucap Aya yang sedikit ketus dan penuh amarah.
"Kenapa Aya?? Kalian baik-baik saja bukan? Ibu sehat kan? Fathur juga sehat kan? Dimana mereka?? Kakak mau bertemu." ucap Fadil sedikit terisak.
Tatapan teduh Fadil mengisyaratkan bahwa dirinya kecewa dan menyesal dengan kejadian satu tahun yang lalu. Fadil kembali pun atas dorongan Panji yang menginginkan keluarga Aya pun kembali seperti dulu. Kebahagiaan Aya yang sempat terenggut oleh kesedihan pun bisa terobati.
'Kembalilah Fadil, percaya padaku semuanya akan baik-baik saja. Titip salam untuk Aya adikmu dan Ibu serta Fathur. Mereka orang yang begitu baik dan akan selalu ada di hatiku selamanya.'
Begitu ucapan Panji untuk terakhir kalinya sebelum Panji pergi ke luar kota untuk pekerjaan fotografer disana dalam waktu yang cukup lama.
'Aku akan merindukanmu Fadila ....'