18

2245 Words
'Kembalilah Fadil, percaya padaku semuanya akan baik-baik saja. Titip salam untuk Aya adikmu dan Ibu serta Fathur. Mereka orang yang begitu baik dan akan selalu ada di hatiku selamanya.' Begitu ucapan Panji untuk terakhir kalinya sebelum Panji pergi ke luar kota untuk pekerjaan fotografer disana dalam waktu yang cukup lama. 'Aku akan merindukanmu Fadila ....' "Hanya itu pesan Panji untukmu Aya. Panji banyak bercerita tentang kamu, sepertinya Panji menyukaimu?" ucap Fadil pelan dan menyeruput minumannya. Sejak tadi Aya hanya diam dan fokus kembali dengan pekerjaannya. Hati dan pikirannya tentang masalah pribadinya pun harus dikesampingkan demi pekerjaan yang sedang Aya geluti saat ini. Hanya dengan berjualan inilah Aya bisa mendapatkan uang untuk membiayai kebutuhan sehari-hari, membayar kost dan uang sekolah. Sesekali Aya mengikuti fashion show di beberapa mall yang diselenggarakan oleh Butik Ternama di Yogyakarta. Beberapa bulan lagi Aya akan lulus dari sekolahnya. Waktunya akan lebih banyak mengurus Fathur di rumah sakit, Aya masih berharap Fathur untuk kembali sadar dan berkumpul dengan Aya kembali. Lalu apa kabar dengan cita-cita kamu Aya?? Apa hidupmu akan terus menerus mengurus Fathur? Sedangkan Dokter Putra bilang kondisi Fathur makin lama makin melemah, Fathur bisa hidup karena bantuan alat-alat yang menempel pada tubuhnya, disaat alat itu dilepas? Entah apa yang akan terjadi pada Fathur. "Aya ... Kamu denger Kakak ngomong gak sih?" ucap Kak Fadil yang kesal dengan Aya merasa tidak diperhatikan. Aya menoleh kepada Kak Fadil dan tersenyum manis. "Kak Fadil, Aya kan sibuk. Sebentar lagi juga jam kerja Aya selesai kita bisa bicara banyak." ucap Aya pelan. Fadil yang mendengar ucapan Aya pun hanya manggut-manggut tanda paham. Angkringan Cinta begitulah nama lapak Angkringan Mas Budi yang berada di Alun-alun Kidul Yogyakarta. Angkringan bersejarah bagi Aya. Mungkin tinggal beberapa bulan lagi Aya bisa bekerja di Angkringan ini. Suka duka banyak Aya lewati bersama sahabat, teman dekat dan teman-teman sekolahnya. Setelah kelulusannya kehidupannya pun akan berubah. Aya akan menjadi gadis yang mandiri dan dewasa yang tentu tidak melupakan masa sulitnya dulu. Kini semua itu hanya angan-angan tapi semuanya akan terwujud seiring dengan waktu disertai doa dan usaha dan orang orang yang mendukung Aya secara penuh. "Assalamualaikum ... Aya. Sudah Ayo pulang kasihan adikmu sendirian." ucap Mas Budi yang baru saja masuk ke lapak kepada Aya. Fadil pun mendongakkan kepalanya dan menoleh ke arah Mas Budi yang baru saja ia kenal ternya pemilik Angkringan tempat Aya bekerja. "Waalaikumsalam ... Iya Mas Budi. Terima kasih sudah memberikan kelonggaran waktu buat Aya." ucap Aya pelan. "Ini untukmu Aya. Ambilah, ini hasil jerih payahmu malam ini. Lumayan kan?" ucap Mas Budi sambil tersenyum memberikan tiga lembar uang merah kepada Aya. "Terima kasih ya Mas Budi. Aya pulang dulu." ucap Aya pelan berpamitan. "Aya ... Ini orang yang mencari kamu sejak sore." ucap Mas Budi sambil menunjuk ke arah Fadil. "Dia Kak Fadil, kakak Aya. Kenalin Mas." ucap Aya saling mengenalkan. Aya dan Fadil pun berpamitan pulang dan berjalan menuju parkiran motor. "Kamu di jemput siapa?" tanya Fadil kepada adiknya. Sejak tadi Fadil hanya mengekor Aya. "Aya bawa motor kok Mas. Aya berani sekarang. Mas Panji sering ngajarin Aya teknik karate untuk membela diri." ucapnya datar. Mereka berdua pun menaiki motor masing-masing dan melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Dalam pikiran Fadil, ia akan dibawa ke sebuah rumah yang akan disambut oleh Ibu dan adiknya. Tapi ... tunggu dulu, tadi Mas Budi bilang 'Kasihan Fathur sendirian', apa maksudnya ya?, gumam Fadil dalam hatinya. Ruas jalan di Yogyakarta sangat padat, semakin malam semakin ramai motor dan mobil berlalu lalang. Aya melajukan motornya dari Alun-alun Kidul ke arah Jalan Kaliurang itu cukup jauh dan memakan waktu. Tapi hanya disana rumah sakit yang mau menerima Fathur, itu juga rujukan dari Dokter Putra. Motor sudah diparkirkan di depan kost Aya. Disini Kost untuk putra dan putri, penghuninya pun cuek satu sama lain, karena kost ini bebas membawa masuk siapa saja tanpa harus meminta ijin. Aya pun turun dari motornya dan membuka pengait helm dan meletakkan di kaca spion motor miliknya. Lalu melangkah masuk ke dalam Kost menuju kamarnya. Aya membuka pintu kamarnya dengan memutar anak kunci dan kemudian pintu itu terbuka. Kamarnya cukup luas berukuran lima kali lima dengan kamar mandi di dalamnya. Awal masuk kost ini, tidak ada fasilitas apapun. Beberapa barang dari rumahnya dulu Aya ambil dan dipindahkan ke kost ini, seperti, lemari, tempat tidur, meja rias, kursi, kulkas kompor dan peralatan masak lainnya. Sisanya dijual beserta rumahnya. Fadil hanya terdiam dan tidak bertanya sedikitpun. Dia mencoba untuk menyimpan semua pertanyaan yang akan ia ajukan nanti setelah semuanya tenang dan beres. "Duduk dulu Kak Fadil. Kak Fadil mau minum apa?" tanya Aya pelan sambil membuatkan Kopi Capuccino kesukaan Kakaknya itu. "Firman kemana? Kakak Gak lihat? Biasanya dia itu kan ngekorin kamu aja." ucap Fadil pelan yang duduk di karpet berbulu dengan hembusan AC yang membuat terasa sejuk, ditambah wewangian yang menyatu bersamaan dengan angin yang dihembuskan dari AC tersebut. Aya pun hanya tersenyum tipis dengan membawa baki berisi dua cangkir capuccino dan satu toples cemilan untuk menemani wawancara setelah ini. "Diminum dulu Kak Fadil, biar rileks." ucap Aya pelan. Sruuuupuutttt emmmm ahhhhh (Begitu kira-kira bunyi orang yang menikmati kopi dengan rasa yang nikmat ) "Aya ... Jawab dulu pertanyaan Kakak?" ucap Fadil sedikit kesal dengan adiknya yang terlalu cuek ini. "Yang mana? Firman? Sudah lebih dari setahun Firman tidak ada kabar. Aku juga gak tahu kemana dan ada dimana dia berada. Kondisi aku pun juga sulit, hingga tidak mencari tahu keberadaan sahabat aku sendiri." ucap Aya pelan dan tenang. Ini baru awal bercerita, belum menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin tissue pun bisa habis bergulung gulung mengingat kejadian yang bertubi-tubi setahun silam. "Ohh ... Lalu kenapa kamu tinggal disini? Jarak sekolahmu bukankah jauh dari sini? Lalu Ibu dan Fathur tinggal dimana?" pertanyaan Fadil pun beruntun. Pertanyaan ini sejak tadi sudah memenuhi isi kepalanya namun di urungkan hingga waktu dan kondisi yang tepat. Mungkin sekarang waktunya sudah tepat untuk diajukan dan Fadil membutuhkan jawaban yang cepat dan sesuai kebenaran. "Kamu yakin Kak mau menanyakan Ibu dan Fathur? Kamu tidak takut, mereka tidak memaafkanmu?" tanya Aya pelan tapi nadanya sedikit mengejek ke arah kakaknya. "Kok kamu gitu Aya. Bukannya seorang adik akan membantu kakaknya? Ini malah di bully." ucapnya pelan dan kecewa. "Bukan begitu Kak Fadil. Aya takut Kak Fadil tidak bisa menerima kenyataan, hanya itu." ucap Aya pelan. Aya berusaha tegar dan menahan rasa tangisnya yang sudah menyembul ingin keluar dari kedua matanya. "Kakak akan siap menghadapi kenyataan, bila Ibu dan Fathur tidak memaafkan Kakak. Kakak siap dengan segala resiko dan konsekwensinya." ucap Fadil dengan mantap dan tegas. Ponsel Aya pun berdering kencang, waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam lewat. Ada nama Panji tertera di layar ponsel Aya. Fadil pun tersenyum dan menyuruh Aya untuk mengangkatnya. Mengangkat telepon di depan Kakaknya tentu Aya punya rasa malu dan canggung terlebih yang menelepon adalah seorang laki-laki. Walaupun sebenarnya hampir setiap hari Panji dan Aya melakukan video call bersama. 'Assalamualaikum ... HEPII Birthday Aya Sayang ...' ucap Panji dengan nada gembira dan riang. "Waalaikumsalam ... Mas Panji ... Makasih " ucap Aya lirih dan lembut. Aya menahan tangisnya, Mas Panji masih mengingat hari ulang tahun Aya sedangkan Aya sendiri tidak mengingatnya karena kesibukannya. 'Mau kado apa dari Mas? Sebutkan?' ucap Panji memberikan pilihan bebas. "Aya ... cuma mau Mas Panji disini nemenin Aya. Doain Aya yang baik." ucap Aya memberanikan diri meminta Panji datang. 'Hanya itu? Yang lain?' tanya Panji masih bersikukuh ingin memberikan apa yang diminta gadis yang ia kagumi ini. "Itu saja sudah cukup. Katanya Mas Panji mau ke luar kota. Aya mau ketemu." ucap Aya pelan. 'Baiklah Aya ... Kesayangan Mas Panji.' ucap Panji yang begitu lembut dan mesra membuat hati Aya pun berdesir dengan gelenyar yang aneh. Sambungan itu pun di tutup tanpa Aya menjawab lagi. Terlihat raut wajah yang kecewa karena sambungan video call itu sudah terlebih dahulu dimatikan oleh Panji. "Kenapa?" tanya Fadil pelan yang menangkap raut kekecewaan dari wajah adiknya itu. Sambungan itu pun di tutup tanpa Aya menjawab lagi. Terlihat raut wajah yang kecewa karena sambungan video call itu sudah terlebih dahulu dimatikan oleh Panji. "Kenapa?" tanya Fadil pelan yang menangkap raut kekecewaan dari wajah adiknya itu. Aya hanya tersentak lalu tersenyum menatap Fadil yang sejak dari tadi ikut mendengarkan percakapan mereka. Aya lupa sejak tadi Fadil ada di dekatnya. Alamak ..... ini sangat memalukan ..., batinnya dalam hati. "Tidak apa-apa Kak Fadil. Hanya teman yang mengucapkan ulangtahun. Aya saja lupa, tapi dia mengingatnya." ucap Aya pelan lalu menyeruput cappucino didalam cangkir itu. "Dia itu Panji? Kamu jatuh cinta padanya?" tanya Fadil menatap lurus dan fokus pada kedua netra Aya dengan tajam. Mencari jawaban kejujuran disana. "Ekhmmm ... anu Kak .... itu ... eh ... Gak mungkin Aya jatuh cinta kan sama Mas Panji kan?" ucap Aya pelan. Jujur dalam hati Aya telah berbohong, karena saat bilang tidak cinta ada rasa sakit di dadanya dan ada rasa tidak terima kalau Aya tidak menyukai dan mengagumi pelatih karate yang tampan itu. Bahkan sudah beberapa kali Aya pun menjadi obyek untuk fotografi nya dan selalu memenangkan beberapa event perlombaan. Mas Panji itu .... ganteng, baik, ramah, lemah lembut, sopan, tanggungjawab, dan penyayang. Dia selalu ada saat Aya mengalami keterpurukan satu tahun silam. Tapi apakah Mas Panji memiliki rasa yang sama denganku atau hanya rasa sayang sebagai adik saja?, batin Aya pun mulai bertanya tanya. "Heh ... melamun aja. Baru ditanya gitu udah melamun. Kakak jadi gak yakin sama jawaban kamu?" ucap Fadil dengan terkekeh. "Apaan sih Kak Fadil!! Bisanya godain Aya aja. Tuh urusin Mbak Friska istri kakak!!" ucap Aya ketus sambil melempar bantal ke arah Fadil dengan keras. Fadil pun terkekeh lalu terbahak-bahak hingga mengeluarkan air mata karena melihat kepolosan Aya Sang adik yang menurutnya sangat lucu dan menggemaskan. ( Sekarang kamu bisa tertawa Fadil ... tertawalah hingga air mata kebahagiaan itu habis dan tergantikan air mata kesedihan yang bertubi-tubi, sama yang Aya rasakan satu tahun yang silam. Dunia seakan runtuh dan berhenti, entah sampai kapan Aya bisa bangkit lagi jika tidak ada Panji dan kedua sahabat Panji yang selalu memberi dukungan kepada Aya.) "Gak usah bahas Fiska!!! Kakak lagi bahas kamu dan Panji. Menurutmu Panji gimana?" tanya Fadil seakan menuntut. "Mas Panji itu baik." jawab Aya dengan singkat. Aya tidak mau terpancing dan mengungkapkan rasa suka dan kagumnya kepada Panji. "Itu aja. Cuma baik aja, kamu yakin?" tanya Fadil dengan menyelidik. Raut wajah Aya itu tidak bisa menyembunyikan rasa kagum dan suka terhadap Panji. Fadil bukanlah anak remaja yang bisa dibohongi. Keduanya memang sudah suka dan kagum hingga keduanya pun secara tidak sadar mulai saling mencintai, saling membutuhkan, saling berbagi. Aya hanya terdiam menutupi rasa bahagianya. Tadi mendegar suara Panji saja, rasa rindu pun seakan sudah terobati sebagian. Dan Aya pun mulai berani meminta Panji hadir untuk menemuinya. Sebegitu posesifnya saat ini perasaan Aya terhadap Panji?. Tapi ... Aku masih sekolah dan aku masih memiliki banyak cita-cita yang sudah aku janjikan di depan nisan Ibu. Mas Panji pun baru saja lulus dan belum genap satu tahun ini dia bekerja dan bisa berbakti kepada kedua orangtuanya. Aku pun sudah berjanji kepada diriku sendiri untuk menjadi wanita yang sukses dan menggapai seluruh mimpi dan cita-citaku. Aku sudah berjanji untuk mengorbankan rasa cinta dan sayang demi cita-cita. Aku sudah berjanji untuk tidak mencintai sebelum semua angan-anganku itu sudah ku rengkuh dan ada di dalam genggamanku. Aku hanya ingin membuat Ibu dan Bapak bangga dan bahagia melihat kesuksesan aku. Aku ingin memberikan terbaik untuk Fathur yang hidupnya mungkin tidak akan lama lagi. Disaat semua sudah pergi, Kak Fadil kembali. Tapi ... Bukankah rasa sakit dan kecewa yang sudah digoreskan Kak Fadil itu lukanya pun masih terasa perih dan menyayat. Aku memang adik kandungnya, aku memang sedarah, tapi rasa kecewa itu .... memaafkan memang hal yang mudah, tapi menghilangkan bekas luka itu cukup memakan waktu yang lama. "Aya ... Heh ... " panggil Fadil dengan mengibaskan tangannya di depan wajah Aya yang menatap kosong ke arah lemari pakaian. "Astaghfirullah ... Kak Fadil ... Bikin kaget aja." ucap Aya pelan. Jantungnya langsung berdegup kencang sekali. "Kita mau ke rumah Ibu kapan? Kakak sudah kangen sekali. Kakak mau bersimpuh di kaki Ibu." ucap Fadil memelas. Aya pun yang tadinya agak keras pun ikut merasa iba melihat Kak Fadil seperti ini. Aya hanya menghembuskan napasnya dengan kasar. Aya sudah tidak bisa menunda lagi untuk tidak memberitahukan yang sebenarnya kepada Kak Fadil. Ini semua kenyataannya. Terima atau tidak semua ini sudah terjadi satu tahun silam. Luka itu harus terkorek kembali. Pasti akan menyakitkan, tapi semoga saja Aya kuat menghadapinya. "Baiklah ... Sekarang ikut aku Kak ..." ucap Aya pelan. Aya mengambil jaketnya dan memakainya. "Aya ... bonceng Kakak aja ya. Motor kamu biar di kost. Kamu lelah Aya, tapi Kakak tidak bisa menunggu besok, Kakak sudah penasaran." ucap Fadil pelan. "Iya Kak Fadil." ucap Aya pelan. Hatinya kini sudah tegar, tidak selemah dan secengeng dahulu. Ujian dan cobaan memang sudah membuat Aya semakin dewasa dan bersikap bijak dalam menghadapi masalah dan situasi yang sulit. "Aya ... Selamat Ulang Tahun ke 18 ya .... Kakak cuma bisa kasih ini buat kamu. Maafkan semua kesalahan Kakak. Kita tetap saudara, Kakak betul-betul menyesal dengan semua yang sudah terjadi." ucap Fadil pelan lalu menyalami Aya dan memeluknya dengan erat. Aya pun membalas pelukan itu dengan rasa bahagia dan senang. Hadiah itu pun Aya terima. Sebuah kalung dengan inisial F. "Makasih ya Kak Fadil. Aya sudah memaafkan Kakak. Maafkan Aya juga bila Aya punya salah sama Kakak." ucap Aya dengan pelan. Rasa haru dan bahagia bercampur menjadi satu. Moment yang sangat indah ini tidak mungkin dilupakan oleh Aya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD