"Makasih ya Kak Fadil. Aya sudah memaafkan Kakak. Maafkan Aya juga bila Aya punya salah sama Kakak." ucap Aya dengan pelan. Rasa haru dan bahagia bercampur menjadi satu. Moment yang sangat indah ini tidak mungkin dilupakan oleh Aya.
Fadil dan Aya sudah berada di atas motor besar Sang Kakak. Tujuannya adalah rumah sakit dimana merawat Fathur. Tidak jauh dari kost. Aya pun memberikan petunjuk dan Fadil pun mengikuti arahan Sang adik tercinta.
"Belok kanan Kak Fadil, nah kita parkir disana." ucap Aya dengan nada bicara datar dan terlihat tenang.
Fadil memarkirkan motornya dan memandang ke arah sekitar. Pandangannya dibedakan ke seluruh penjuru tempat itu. Bukankah ini rumah sakit, batinnya pelan.
Fadil mengunci stang motornya dan berjalan mengikuti langkah pelan Aya menuju arah depan rumah sakit.
Fadil pun menyesejajarkan jalannya dengan Aya. Digenggam tangan adiknya itu dengan sangat erat. Lalu menoleh ke arah Aya yang masih menatap lurus ke depan melewati lorong rumah sakit.
"Sebenarnya ada apa? Kenapa kita harus ke tempat ini. Katakan padaku!" ucap Fadil dengan lantang. Langkahnya pun dihentikan dan menarik pergelangan tangan Aya aga mengikutinya berhenti juga.
Aya menurut, dia berhenti dan menatap tajam ke arah Fadil yang masih berdiri fokus pada kedua netra Aya. Keduanya saling bertatap tajam. Fadil menatap penuh harap sedangkan Aya menatap penuh rasa sakit hati dan kecewa.
"Jangan banyak tanya Kak Fadil. Lebih baik ikuti Aya. Dan inilah jawabannya dari semua pertanyaan Kak Fadil kepadaku sejak tadi." ucap Aya tegas dan mantap.
Aya melepaskan genggaman Fadil dan berjalan menuju kamar rawat Fathur. Sedangkan Fadil hanya termangu karena kaget dengan ucapan Aya yang begitu tegas.
Satu ruangan isolasi khusus untuk merawat Fathur selama satu tahun ini. Entah mimpi apa Fathur selama satu tahun ini. Aya sudah berusaha mengikhlaskan kalau memang takdir mengambil Fathur darinya sesuai yang disarankan oleh Dokter Putra kepadanya.
Ruangan itu hanya bertuliskan ruangan isolasi. Ruangan yang dipenuhi kaca besar sehingga tanpa harus ke dalam pun bisa melihat Fathur yang sedang berjuang hidup dengan semua alat bantu yang menempel di tubuhnya.
Fadil pun setengah berlari melihat apa yang ada di dalam ruangan itu. Kaca itu tembus pandang dari kejauhan pun terlihat ada seorang pria tergolek tidak berdaya di atas brankar rumah sakit itu. Fadil berhasil mencapai ruangan itu dan melihat dengan pasti siapa yang ada disana dan .... Fadil pun berteriak dengan sangat kencang dan histeris.
"Aaargghhhh .... Kenapa?! Kenapa ini harus terjadi kepada adikku!! Kenapa Ya Allah ... KENAPA!!!" ucap Fadil pun meracau tidak karuan.
Aya hanya terdiam menatap Fathur melalui kaca besar itu. Air matanya menetes mendegar Sang Kakak yang begitu terpukul dengan keadaan ini. Bagaimana nanti, jika harus melihat Ibu yang sudah berada di alam kubur?, batinnya dalam hati.
"Kenapa Aya!! Kenapa kamu cuma bisa diam!!" ucap Fadil dengan kasar dan membalikkan tubuh Aya menghadap ke arah Fadil yang terlihat garang.
Aya hanya menghindari tatapan itu. Hatinya pun masih terasa sakit dan sesak. Tapi sekarang kenapa aku yang disalahkan?, batinnya dalam hati.
Aya hanya pasrah dengan keadaan dan semuanya. Luka setahun silam yang sudah bisa ia lupakan pun sekarang mulai terbuka kembali. Dan rasa sakit itu benar-benar membuat dadanya terasa sesak dan lemas.
Fadil pun sudah murka dan kesal melihat adiknya hanya diam seribu bahasa tanpa berucap kata sedikitpun. Hanya menangis dan isakannya semakin keras.
"Apa kamu tidak bisa bicara?! Kakak bertanya kepadamu Aya?! Apa kamu bisu?!" ucap Fadil dengan kasar.
"CUKUP FADIL!!" teriak Panji dari kejauhan melihat pertengkaran kedua saudara itu.
Panji pun menarik Aya yang sudah lemas dan letih dengan semua ini. Pelukan hangat itu, memang membuat Aya nyaman. Tangisannya pun pecah seketika didalam pelukan Panji.
Wibisono dan Nunu pun memegang kdua lengan Fadil dan membawanya duduk di kursi panjang depan ruangan itu.
"Minum dulu, biar loe tenang Dil. Jangan kasar sama adik loe. Aya itu perempuan." ucap Wibisono menasehati dengan memberikan satu botol air mineral kepada Fadil.
Napas Fadil pun terengah-engah dan terdengar hembusan kasar, lalu meminum air mineral itu hingga habis setengah botol. Segar ... itu yang terasa, tenang sudah pasti, hingga hati pun terasa adem.
Sesekali pandangannya ke arah Panji dan Aya yang masih berpelukan. Tatapannya sudah berubah sendu melihat bahu Aya yang terlihat bergetar di pelukan Panji. Panji pun berusaha menenangkan dan mengusap rambut panjang Aya dengan lembut.
"Senyum dong?? Aku kan datang buat kamu Aya." ucap Panji pelan dan tersenyum.
Pelukan itu pun sudah dilepaskan. Satu ibu jari Panji pun mengusap sisa air mata yang masih ada di bawah mata Aya.
"Ini hari bahagia kamu. Aku ingin kamu pun berbahagia bukan bersedih seperti ini." ucap Panji pelan dan memegang kedua bahu Aya lalu menangkup kedua pipi chubby itu dengan satu tangannya dengan gemas.
"Selamat Ulang Tahun kesayangannya Mas Panji ... Semoga kebahagiaan selalu datang untuk kamu Aya sayang .... " ucap Panji dengan tulus dan penuh kasih sayang.
Aya pun tersentak mendengar kata Sayang yang terucap dari bibir Panji. Kedua matanya pun membuka lebar dan menatap kedua mata Panji dengan penuh haru.
"Makasih Mas Panji sudah datang untuk Aya. Terima kasih untuk semuanya, Aya tidak bisa membalas satu per satu kebaikan Mas Panji." ucap Aya pelan.
"Kamu tunggu disini sebentar ya. Mas mau bicara dengan Kakakmu sebentar, ada hal penting yang harus Mas sampaikan untuk Kak Fadil." ucap Panji pelan dan mengusap rambut panjang Aya dengan lembut.
Aya pun menganggukan kepalanya dengan pelan lalu tersenyum tipis. Panji pun berjalan menuju Fadil duduk di kursi panjang. sudah terlihat tenang, namun masih banyak pertanyaan yang ingin di ajukan aga mendapatkan kejelasan dengan sempurna.
"Fadil ... Aya itu lelah dan letih. Seharian sekolah, malam pun berjualan, setiap malam menemani Fathur disini. Hargai setiap perjuangan dan pengorbanannya. Aku akan membawa Aya pulang ke kost. Wibisono dan Nunu akan menceritakan tentang keadaan Fathur. Besok pagi, kamu aku antar ke rumah Ibu." ucap Panji dengan tenang dan nada yang sangat datar.
"Apa yang kamu ketahui tentang keluargaku?! Kenapa kamu tidak menceritakan semuanya kepadaku Panji?!!" ucap Fadil keras.
"Ini bukan kapasitasku menceritakan semuanya. Tapi ... aku ingin kamu tahu Fadil. Setahun yang lalu ini yang dirasakan Aya. Tidak ada satu pun orang yang perduli dengan Aya saat itu." ucapnya tegas.
Panji pun berbalik dan meninggalkan Fadil yang masih setengah berteriak tidak terima. Tangannya pun langsung menggandeng Aya untuk segera membawa pergi wanita itu dari rumah sakit.
Tangan Aya sudah berada dalam genggaman Panji dengan erat. Sesekali menoleh ke belakang melihat Fadil yang masih kesal dan kecewa, kedua lengan Fadil pun di pegang erat oleh Wibisono dan Nunu.
"Mas Panji ... " ucap Aya pelan.
Tangan Aya sudah berada dalam genggaman Panji dengan erat. Sesekali menoleh ke belakang melihat Fadil yang masih kesal dan kecewa, kedua lengan Fadil pun di pegang erat oleh Wibisono dan Nunu.
"Mas Panji ... " ucap Aya pelan.
Keduanya tetap berjalan lurus ke depan. Merasa namanya di panggil pun Panji menoleh ke arah Aya yang masih menatapnya.
"Kak Fadil pasti marah besar denganku." ucap Aya pelan dan tertunduk menahan air matanya.
Genggaman tangan Panji pun semakin erat. Panji pun sudah terlanjur sayang dengan gadisnya ini. Tapi hanya waktu yang bisa mempersatukan kedua insan berlawanan jenis ini. Mereka punya cita-cita yang harus mereka raih.
"Fadil tidak akan marah padamu, jika dia tahu yang sebenarnya." jawabnya pelan namun terlihat pasti dan tegas.
Aya hanya menunduk dan terdiam menatap genggaman tangan Panji yang begitu nyaman dan takut terlepas. Aku selalu dibuat nyaman oleh Mas Panji, apakah ini cinta? Atau aku hanya terlalu membutuhkannya?, gumamnya pelan di dalam hatinya.
Aya pun sudah berada dibelakang membonceng pada motor sport milik Panji. Motor besar dan cukup tinggi yang membuat kesulitan menaikinya.
"Ini motor baru Mas Panji?" celetuk Aya dengan polos.
"Iya Aya. Ini motor baru Mas. Sengaja Mas beli khusus untuk membawa kamu jalan-jalan keliling Yogyakarta. Kamu mau?" ucap Panji pelan. Sesak sebenarnya mengatakan ini. Tapi demi pekerjaan dan masa depan, Panji harus melakukannya hanya dua tahun semoga saja semuanya masih sama dan masih baik-baik saja.
Aya tanpa malu-malu melingkarkan kedua tangannya di perut Panji dengan kepala bersandar di bahu Panji dengan nyaman. Entah hal ini bisa terus dirasakan atau hanya sesaat saja.
"Aya ... Sudah makan belum?" tanya Panji pelan sambil melajukan motornya dengan pelan.
Yang ditanya hanya diam tidak ada pergerakan. Hening dan sunyi, tapi sandaran kepalanya makin terasa berat. Mungkin saja Aya tertidur karena lelah. Dengan cepat motor sport itu pun menuju kost Aya.
"Aya ... Sudah sampai ... Ayo pindah tidur di dalam." ucap Panji pelan. Sambil mengusap punggung tangan Aya yang melingkar di perutnya dengan erat.
Tidak ada pergerakan juga. Panji pun melepaskan helm full face nya dan meletakkan di kaca spion motornya dan dengan pelan melepaskan pegangan tangan Aya. Satu tangannya diangkat dan diciumi berungkali.
"Aya ... bangun ... Masa mas suruh gendong kamu." ucap Panji pelan berungkali punggung tangan Aya pun dikecup agar tidurnya terganggu.
Aya pun mulai terbangun, kecupan kecupan di punggung tangannya malah membuatnya geli dan membuka matanya dengan sempurna.
"Sudah sampai ya Mas? Maaf ya, Aya tertidur." ucapnya pelan.
Walaupun sudah beberapa bulan menit yang lalu pun Aya sudah sadar dari tidurnya. Kecupan itu membuatnya makin ingin terus bersama Panji. Rasa sayang dan rasa membutuhkan Panji dalam kehidupannya membuat Aya pun jadi tergantung dengan Panji.
"Sudah ... Kamu sudah makan belum? Biar aku belikan dulu Nanti kita makan sama sama di kamar." tanya Panji dengan pelan.
"Belum Mas ... Tadi langsung ke rumah sakit belum sempat makan." ucap Aya dengan jujur.
"Kamu masuk, aku belikan makanan kesukaan kamu ya." ucap Panji dengan lembut.
Aya pun menganggukan kepalanya pelan, lalu turun dari motor itu dan segera masuk ke dalam kostnya. Sedangkan Panji pun putar balik untuk membelikan makanan kesukaan Aya. Mungkin ini akan menjadi moment terakhir Panji ke Yogyakarta sebelum akhirnya Panji harus berangkat ke pulau Dewata untuk bekerja sebagai fotografer atas rekomendasi tempatnya bekerja.
Mungkin ini awal dari perjalanan kariernya. Cita-citanya sebagai fotografer pun bisa tercapai. Dua tahun ... harus berpisah dengan gadisnya yang bukan siapa-siapanya. Menyatakan cinta saja tidak berani, karena teringat pesan mendiang Ibu Aya terakhir kali. Mungkin dengan ini mereka bisa sama-sama belajar mandiri dan bisa merasakan arti kehadiran seseorang buang sebenarnya.
-Di Rumah Sakit-
Fadil masih menatap nanar ke arah Fathur. Fadil tidak berani masuk ke dalam hanya menatap dari luar saja batinnya sudah terasa sesak dan sakit. Lalu menengok ke arah Nunu dan Wibisono menatap tajam satu per satu secara bergantian.
"Apa yang kalian ketahui ... Katakan yang sebenarnya?!" tanya Fadil dengan suara lantang. Kedua kakinya melangkah ke arah Wibisono dan Nunu yang sedang duduk di ruang tunggu.
"Duduk dulu Fadil. Kamu harus tenang dan sabar." ucap Wibisono dengan.lembutbdan tenang.
"Adikku Aya cuma diam, kalian pun juga diam?! Hah!" Fadil pun setengah berteriak.
Hatinya sudah mulai gusar dan tampak kesal. Karena hanya dia seorang yang tidak mengetahui apa-apa.
"Akan ku ceritakan." ucap Wibisono dengan mantap. Tadi memang Panji melarang no mengatakan yang sesungguhnya, biarlah Aya yang memberitahukan kematian Ibunya.
"Apa?! Apa cepat?! Penyebab Fathur seperti ini?!" tanya Fadil semakin ketus.
"Itu karena KAMU FADIL!! Kamu pergi membawa luka besar untuk keluargamu. Kamu pengganti Ayah namun kamu menggores luka hati, pada Ibu, Aya dan Fathur. Mereka semua sakit dan mereka semua menderita karena kamu." ucap Wibisono dengan lantang dan ketus.
Wibisono sudah kesal dengan perangai Fadil yang merasa tidak bersalah dengan kondisi ini. Bahkan menyalahkan orang lain tanpa mengintrospeksi dirinya sendiri. Aya adalah korban sekaligus pesakitan selama ini. Batinnya perih dan pedih merasakan kehidupannya yang dianggap tidak memihak kepadanya. Tapi itu setahun yang lalu. Sekarang Aya sudah banyak berubah dan lebih dewasa.
Fadil pun hanya melongo mendengar ucapan Wibisono yang begitu kasar dan ketus. Fadil hanya terdiam dan mengatupkan kedua bibirnya yang sempat terbuka lebar. Air matanya luruh turun dengan deras. Semua ini salahnya, semua ini karena dirinya yang lebih mementingkan wanita laknat seperti Friska. Lalu ... Ibu, bagaimana dengan Ibu?? Apakah Ibu sehat??, gumamnya dalam hati. Air matanya sudah membasahi pipi dan lehernya. Keringat yang seketika membasahi kening Fadil.
Fadil berjalan menuju ruangan Fathur, dan membuka pintu kamar itu, dingin sekali, itu yang ia rasakan pertama kali masuk. Kakinya pun melangkah pelan menuju brankar Fathur.
Fathur tergolek dengan lemas dan tidak berdaya. kedua matanya masih saja betah tertutup dan tidak pernah membuka sudah setahun ini. Bahkan dokter sudah menyarankan untuk melepaskan semua alat bantu itu agar Aya tidak susah payah mencari uang untuk pengobatan Fathur yang sudah tidak ada respon positif.
'Kenapa ini bisa terjadi Fathur .... Maafkan Kakak Fathur ...' ucap Fadil sambil mencium tangan Fathur dengan lembut. Air matanya menetes membasahi telapak tangan Fathur.
"Sholat Tahajud Dil ... Semoga ada keajaiban." Ucap Wibisono pelan sambil menepuk bahu Fadil yang membuatnya tersentak kaget.
Fadil memang melupakan Sang Pencipta. Ujiannya pun bertubi-tubi, karena sudah merasa puas dengan kehidupannya. Tidak ada yang tidak mungkin ...