5

2194 Words
Meleleh sudah hati Mas Budi diberikan senyuman semanis itu. Rasanya ingin dibawa ke penghulu malam ini juga. "Iya Aya. Sukses jualannya. Ayok Firman, saya duluan." ucap Mas Budi berpamitan. "Iya Mas Budi terima kasih." ucap Firman pelan. Mas Budi pun meninggalkan angkringan menuju parkiran motor dan mengambil motornya kemudian mengendarainya dengan pelan berputar di sekitar area Alkid. Hari semakin sore, pembeli pun semakin banyak. Aya dengan luwes dan telaten membuat satu per satu pesanan pembeli. Sesekali Firman membantu mengantarkan pesanan pesanan tersebut sesuai dengan tempat duduk yang telah dipilih. "Firman, kamu gak pulang? nanti Bunda nyariin?" ucap Aya pelan sambil membuat wedang jahe pesanan seorang bapak tua. "Aku sudah ijin, malam ini aku akan temani kamu Aya. Lagi pula aku sudah janji dengan Fathur untuk menraktirnya." ucap Firman menyeruput es teh manisnya. "Jangan sering-sering, nanti kebiasaan Firman. Aku gak mau kamu terlalu memanjakan Fathur. Fathur sudah mendapatkan uang bulanan dari Kak Fadil." ucap Aya menjelaskan. Firman hanya tersenyum tipis. Itulah Aya dengan segala kesederhanaannya, Aya mensyukuri semua yang diberikan kepadanya dari penciptanya. Suara adzan Maghrib pun bergema dengan sangat nyaring. Firman pun meminta ijin kepada Aya untuk sholat Maghrib di Masjid sekitar Alkid. Aya pun masih sibuk melayani pesanan pembeli, dan hanya mengangguk saat Firman meminta ijin untuk Sholat. Kebetulan hari ini Aya sedang kedatangan tamu jadi sholatnya libur dulu. "Assalamualaikum... Mbak... bisa pesen wedang jahe s**u dua dan tempe bakarnya sepuluh. Di antar kesana ya." ucap Seorang pembeli laki laki yang memesan sambil menatap Aya dengan takjub. "Waalaikumsalam... disana? di tikar warna merah dekat trotoar." tanya Aya kemudian. "Iya betul Mbak. Makasih." ucap Laki laki itu pelan. Langkah kakinya terasa berat meninggalkan angkringan itu untuk menuju tikar lesehannya. Dari tadi laki laki ini terpesona dengan kecantikan Aya dari jarak pandang yang cukup jauh. "Aya... sini aku bantu mengantarkan pesanan. Ini untuk dimana?" tanya Firman yang sudah kembali dari Masjid. "Itu Firman. Yang tikar merah dua orang pria dewasa disana." ucap Aya menjelaskan. Aya sibuk membakar tempe mendoan dan sate usus pesanan yang lain lagi. Angkringan Sego kucing, dengan menggunakan gerobak kayu sederhana dengan lauk pauk beraneka ragam sesuai selera dan pilihan hati. Tenda dari terpal terpasang dengan kuat, satu kursi panjang di dalam angkringan, sisanya lesehan dengan tikar di sekitar angkringan. Menikmati suasana Yogyakarta di Alkid saat weekend sungguh pemandangan yang luar biasa ramai. Riuh teriakan anak anak kecil yang tertawa bahagia, suara merdu pengamen Yogya yang ikut mencari nafkah di sekitar Alkid. Musisi jalanan mulai beraksi.... seiring langkahku kehilanganmu.... Satu pria yang tidak berkedip terus menatap Aya si penjual Angkringan. Sudah satu bulan di Yogyakarta, dan sering nongkrong di Alkid, baru kali ini melihat Penjual Angkringan seorang wanita muda dan cantik. "Lihat apa bro?" tanya satu pria disebelahnya dengan mengikuti arah mata sahabatnya itu. "Lihat itu, kalem abis, mukanya itu Yogya banget." ucap temannya. Namanya Panji Satria. Dia adalah Mahasiswa Semester akhir yang sedang mengerjakan Tugas Akhir dengan magang di salah satu Kantor di Pemda Yogyakarta. Satu Pria disebelahnya adalah sahabatnya bernama Wibisono. Mereka berasal dari Solo atau Kota Surakarta. Kota indah dengan slogan Solo Berseri. Sering di sebut juga dengan Kota Batik. "Ajak kenalan dong. Berani gak? Kalau berani, satu Minggu ke depan, uang makan aku yang bayar." ucap Wibisono menantang. "Ayo, aku terima tantanganmu. Aku gak takut. Tapi aku lihat di dulu, kalau sudah gak sibuk aku kesana untuk berkenalan." ucap Panji pelan. Tatapannya terus mengarah pada Penjual angkringan itu dan sesekali mengunyah mendoan bakar yang telah dipesannya. "Panji... Sego kucingnya mana? ini perut lapar. Ambil sana, sekalian kenalan, aku dua bungkus ya, kalau satu gak akan kenyang." ucap Wibisono terkekeh. "Dasar perut karet." ucap Panji pelan dan segera bangkit berdiri menuju tenda angkringan itu untuk mengambil empat sego kucing untuk dirinya dan untuk Wibisono sahabatnya. Langkah kakinya terhenti dan menangkap bayangan seseorang di samping Penjual Cantik Angkringan itu. Menatap dengan rasa penasarannya, siapa gerangan pria itu yang tampak tulus membantu wanita cantik ini. Aya sadar dengan kedatangan pembeli lagi kemudian tersenyum dengan sangat manis. "Mau pesen apa Mas?" tanya Aya begitu halus dan lembut ditambah senyuman tulus yang ramah dan manis, membuat kecantikannya bertambah berkali kali lipat. Panji pun tersentak kaget, antara senang dan gugup melihat senyum indah berlesung di kedua pipinya. "Ini Mbak, saya mau nasinya empat. Tambah sate usus, telur puyuh dan tahu bacemnya di bakar masing-masing lima buah. Saya tunggu disini." ucap Panji pelan, sambil memilih kerupuk didepannya. "Iya Mas. Ditunggu ya." ucap Aya pelan. Tangannya dengan cekatan dan terampil mengambil alat untuk membakar dan sebuah kipas untuk mengupas arang. "Aya... aku pulang dulu ya. Nanti aku jemput. Ini ada telepon dari rumah katanya penting. Maaf ya Aya. Ini uang untuk traktir Fathur." ucap Firman pelan. "Ada apa Firman? kabari aku kalau ada apa apa?." ucap Aya pelan, yang masih sibuk melayani pesanan pembelinya. "Iya Aya. Kalau aku tidak sempat jemput. Fathur suruh tunggu kamu ya. Aku gak tega lihat kamu sendirian disini." ucap Firman pelan. "Iya Firman. Hati hati jangan ngebut." ucap Aya tegas mengingatkan. Firman pun pergi meninggalkan Alkid menuju rumahnya. Perasaan cemas dan panik serta degup jantung membuatnya semakin berpikiran buruk. Panji yang sejak tadi menyimak pembicaraan mereka pun mulai angkat bicara karena tingkat penasarannya yang tinggi. "Tadi pacarnya Mbak?" tanya Panji pelan sambil membuka bungkusan kerupuk dan memakannya pelan. "Bukan Mas, cuma sahabat dari kecil." ucap Aya pelan, pandangannya masih fokus pada bakarannya. "Namanya siapa Mbak? kalau boleh tahu? Saya Panji." ucap Panji pelan. Aya pun langsung mendongakkan kepalanya dan menatap Panji dengan tersenyum. "Firman, Mas." ucap Aya polos, yang salah paham dengan pertanyaan Panji. "Ehh.. maksud saya, nama kamu mbak? bukan nama sahabatnya." ucap Panji yang ikut keki. "Aku Fadila, biasa di panggil Aya. Mas Panji nama yang bagus. Cocok dengan orangnya yang ganteng." ucap Aya tersenyum manis. "Mbak Aya bisa saja. Saya jangan di godain Mbak, nanti baper kan repot." ucap Panji tersenyum. Aya pun langsung tertawa renyah dengan kepolosannya. "Jangan panggil Mbak, Mas. Panggil saja Aya. Saya masih sekolah, baru kelas dua SMK." ucap Aya pelan. Panji menatap intens wanita muda ini, sangat enerjik dan penuh semangat. "Mas... ini pesanannya sudah matang. Ada lagi?" tanya Aya pelan. "Ekhmmm es teh manis dua sekalian. Ini uangnya Aya." ucap Panji sedikit canggung dan menyerahkan satu lembar uang merah kepada Aya. "Iya... ini es tehnya, sekalian yang tadi ya... Semuanya enam puluh ribu. Ini kembaliannya Mas." ucap Aya lembut. "Aya... boleh saya mengenal lebih dekat dengan kamu?" tanya Panji pelan. Aya hanya tersenyum menanggapi ucapan Panji. Lalu kembali lagi dengan aktivitasnya. Aya tidak ingin memberikan jawaban. Kalau ingin berteman, silahkan saja. Asal tahu batas sopan santun saja. "Kok diem sih Aya?" tanya Panji pelan. "Mas Panji, maaf ya. Aya lagi sibuk." ucap Ay pelan dan fokus kembali pada aktivitasnya kembali. Panji hanya terdiam menatap Aya, dan kemudian ke luar dari tenda angkringan menuju tikar lesehannya. "Kenapa Mas Bro.... hemmm gagal ya." ucap Wibisono menebak. Wibisono pun membuka plastik berisikan Sego Kucing dan melahapnya dengan cepat, menyeruput Es Teh Manisnya dan menguyah sate usus bakar yang menggoyang lidah. "Laper apa doyan?" ucap Panji ketus melihat Wibisono yang terlihat makan dengan kalap. "Laper Mas Bro... Tahu kan seharian kita ngukur jalan Yogyakarta sama Pak Kepala." ucap Wibisono cuek. Panji hanya menatap kosong ke arah dua pohon di tengah-tengah Alkid. Banyak orang yang mencoba berjalan melewati diantara kedua pohon tersebut dengan menutup mata. "Gimana? sudah kenalan?" tanya Wibisono pelan, mulutnya masih penuh dengan makanan. "Sudah, namanya Aya. Tadinya aku hanya iseng mau kenalan, tapi.... " ucapan Panji pun terhenti sejenak. "Friska mau dikemanakan Panji." ucap Wibisono dengan keras. "Ssttt.... pelan dikit Wib... !!" ucap Panji ketus. "Yaelah... Mas bro... Friska itu tajir, masa depanmu pasti terjamin. Anak tunggal dan memiliki perusahaan mebeul besar di kota Solo." ucap Wibisono mengingatkan. Panji pun menghela napas panjang. Sudah satu bulan ini, Panji sengaja tidak menghubungi Friska. Sahabat Panji bernama Fernando akrab dipanggil Ando, sedang magang di Kotanya sendiri dan bertugas untuk menyelidiki keseharian Friska. Pernah Suatu hari Friska berjalan dengan seorang pria setelah membatalkan janjinya kepada Panji. "Dia sudah selingkuh dan tidak setia Wib... " ucap Panji pelan. "Yang penting kaya Panji. Itu urusan dia." ucap Wibisono dengan enteng. "Gundulmu... urusan dia ya jadi urusanku. Kalau Friska tidak bisa aku atur, lalu rumah tanggaku mau dikemanakan? Kamu tahu kan? Ibu dan Bapakku hanya orang biasa saja." ucap Panji pelan. "Tapi Panji. Friska itu cinta mati sama kamu." ucap Wibisono pelan. "Kalau cinta tidak akan mengkhianati Wib.... " ucap Panji pelan. Satu per satu lauk di piring pun habis tak bersisa. Empat bungkus Sego Kucing pun dihabiskan oleh Wibisono. "Terus sekarang penasaran sama Aya.... Penjual Angkringan." ucap Wibisono. "Entahlah... aku hanya kagum, dia gadis baik dan cantik. Hanya itu.... jangan gosip... mulut kamu itu ember Wib... " ucap Panji mengingatkan. "Iya Panji. Aku diam." ucap Wibisono terkekeh. Panji dan Wibisono pun merebahkan diri di tikar lesehan itu dan menikmati bintang yang bertaburan di langit dengan cantik. Sudah beberapa jam berlalu, Fathur pun telah datang dan mencicipi jajanan angkringan khas Yogya. Fathur tidak sendiri bersama dua sahabatnya Yadi dan Dedi. "Mbak Aya? Mas Firman sudah pulang?" tanya Fathur sambil membuat Es Teh Manis sendiri untuk kedua temannya. "Iya, tadi ada telepon dari rumah, harus pulang. Tungguin Mbak Aya ya. Ini udah pada habis mau tutup juga." ucap Aya menyeduh dua gelas kopi hitam untuk Wibisono dan Panji. Entah ini gelas ke berapa mereka sudah memesan minuman. Panji hanya ingin tahu kemana Aya pulang. "Yakin mau nungguin?" tanya Wibisono pelan. "Yakinlah, kamu kalau ngantuk pulang duluan aja." ucap Panji pelan. "Permisi Mas... tadi pesan kopi hitam? ini kopinya." ucap Fathur dengan sopan sambil meletakkan dua gelas kopi itu di atas tikar. "Iya... Kamu adiknya Aya?" tanya Panji pelan. "Eh... kenal sama Mbak Aya? iya saya adiknya." ucap Fathur pelan. "Hemmm.. saya baru kenalan tadi kok." ucap Panji dengan jujur. "Ohhh.... Iya Mas... saya permisi." ucap Fathur pelan. "Ohh... iya silahkan." ucap Panji pelan. "Dek... salam sayang dari Panji. Ini orangnya malu malu kucing." ucap Wibisono dengan keras dan asal. Fathur pun kembali ke tenda dan membantu Aya untuk mengantarkan pesanan minuman atau makanan. "Dari tadi ramai begini Mbak Aya?" tanya Fathur. "Iya Alhamdulillah Fathur... Capek, tapi Mbak Aya senang. Hari Rabu Mbak kan harus bayar SPP dan acara seminar di Hotel Horison. Mbak harus berusaha." ucap Aya pelan. Fathur melihat Mbak Aya pun ikut terharu, demi cita-cita Mbak Aya rela berjuang untuk masa depannya. "Mbak Aya kenal Mas Panji? yang tadi pesan kopi hitam?" tanya Fathur pelan. "Ohh yang itu. Kenal, baru tadi kenalan. Kenapa?" tanya Aya pelan. "Ada Salam Sayang katanya." ucap Fathur mengulum senyum. "Hemmm... Iya. Makasih Fathur." ucap Aya pelan. "Kok cuma hemmm... di balas gak?" tanya Fathur pelan. "Mbak itu mau cari uang, bukan cari cowok, lagian Mbak Aya juga kan gak kenal. Emang ganteng sih, tapi kita harus waspada." ucap Aya mengingatkan. "Mbak.... ? gimana perasaan Mbak Aya sama Mas Firman. Banyak orang menyangka kalian kan pacaran. Ingat Mas Dimas temen Kak Fadil aja sampai mundur karena Mas Firman." tanya Fathur pelan. "Kok nanyanya gitu? Mbak Aya sama Mas Firman kan cuma sahabat, gak lebih Fathur. Lagi pula Mas Firman sudah punya pacar." ucap Aya pelan. "Jadi kalau Mas Firman gak punya pacar, Mbak Aya mau jadi pacar Mas Firman?" tanya Fathur pelan. "Enggak... Mbak Aya rasanya biasa aja. Apa keseringan ketemu ya. Dulu sempet kagum sama Firman, tapi sekarang biasa aja. Cuma sayang kayak Kakak aja." ucap Aya pelan. Tangannya membereskan baki baki yang sudah kosong dan mencuci gelas gelas kotor. "Assalamualaikum... Aya..?" panggil Mas Budi "Waalaikumsalam... Mas Budi, ini sudah beres. Ini pendapatan malam ini." ucap Aya pelan. Fathur kembali bersama kedua temannya dan menghabiskan makanannya. Mas Budi sibuk menghitung pendapatan malam itu yang luar biasa banyak. "Kamu pasti capek Aya?" tanya Mas Budi pelan. "Orang kerja itu pasti capek Mas Budi. Tapi kalau mengerjakannya dengan hati maka, rasa capeknya pun hilang." ucap Aya tersenyum. "Besok sama lagi jamnya ya. Setelah ashar kamu sudah standby disini. Dan ini, bagi hasil untuk kamu. Dan ini bonus buat kamu." ucap Mas Budi memberikan empat lembar uang merah kepada Aya. "Alhamdulillah... Mas ini bener buat Aya?" tanya Aya pelan, rasanya masih belum percaya, dalam semalam bisa mendapatkan uang segitu banyak. "Iya. Biar kamu betah disini. Sepertinya kamu bakal punya langganan dan fans disini." ucap Mas Budi pelan. "Mas Budi, Aya pulang dulu ya. Sudah tengah malam, kasihan Ibu dirumah sendiri." ucap Aya pelan dan berpamitan. "Iya Aya, hati hati ya. Itu adik kamu?" tanya Mas Budi pelan. "Iya Mas, ini Fathur adik Aya." ucap Aya mengenalkan Fathur pada Mas Budi. "Ini untuk kamu Fathur. Terima kasih sudah membantu." ucap Mas Budi dengan memberikan uang lima puluh ribuan satu lembar. "Makasih ya Mas." ucap Fathur dengan sopan. "Iya... belajar yang rajin Fathur." ucap Mas Budi kembali. "Permisi dulu ya Mas Budi." Ucap Aya dan Fathur bersamaan berpamitan. Aya pun membonceng Fathur. Jalanan yang begitu sepi membuat angin malam yang dingin begitu terasa menyentuh tulang. "Lho... kok goyang goyang Fathur?" tanya Aya pelan. "Gak tahu Mbak.... ini bannya betus kayaknya." ucap Fathur meminggirkan motor maticnya. "Iya ini sih bocor. Gimana dong ya." ucap Aya pelan. Walaupun berdua dengan adiknya tetap saja Aya takut. "Heiiii.... kenapa motornya?" ucap salah seorang laki-laki. Aya dan Fathur pun menoleh ke arah asal suara......
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD