6. Dikurung

1010 Words
Setelah hari di mana Alisha mendengar percakapan Daffian di telepon, wanita itu tidak boleh keluar rumah dan tidak boleh menghubungi siapapun tanpa seizin Daffian. Ponsel milik Alisha pun disita oleh sang suami. Sudah hampir satu minggu Alisha hanya berdiam diri di kamar, pintu dibuka oleh Daffian ketika orang tuanya menelepon dan meminta Alisha menjawabnya. Selain itu pintu kamar hanya dibuka ketika Daffian mengantarkan makanan untuk istrinya. "Nih, makan!" Daffian menyodorkan nampan berisi makanan dengan sedikit kasar pada Alisha, sedangkan sang istri menatap tak minat pada makanan yang dibawa oleh suaminya. "Kalau aku bilang makan ya makan, Alisha!" bentak Daffian, emosi karena Alisha seolah tidak menanggapinya. "Kecuali kamu sudah bosan hidup, aku bisa dengan lebih cepat mengakhiri hidupmu!" Dengan tangan gemetar Alisha bergerak mengambil makanan dari atas nampan. Sorot mata wanita itu sangat layu, seolah tidak memiliki harapan hidup. Badannya juga terlihat lebih kurus, karena makanan yang Daffian beri tidak pernah ia habiskan. Alisha hanya makan beberapa suap, seolah sekedar mengisi perutnya tanpa memperdulikan dia kenyang atau tidak, hanya untuk bertahan hidup dari hari ke hari. "Mungkin memang akan lebih baik jika kamu bunuh saja aku," lirih Alisha, ketika Daffian mulai berjalan menjauh. Meski suaranya pelan, Daffian masih bisa mendengarnya. Pria kasar itu kembali membalikkan badannya dan mendekati Alisha. Tangan kekar Daffian mencengkeram dagu Alisha, sangat menyakitkan sampai air mengalir begitu saja dari mata Alisha. "Katakan padaku apa saja yang kamu dengar hari itu!" Alisha memejamkan matanya sambil menggelengkan kepalanya. Bagaimana dia bisa menjawab jika Daffian mencengkeramnya kuat seperti ini? Daffian melepaskan cengkeramannya dengan kasar. "Cepat jawab! Kamu tahu kalau aku bukan orang yang sabar, Alisha!" "A-aku tidak mendengar apapun, Mas ...," jawab Alisha lirih. "Bohong! Kamu pikir aku bodoh?! Aku tidak akan melepaskanmu sampai kamu mengatakan yang sejujurnya!" Daffian menjambak rambut Alisha. "Jadi pikirkanlah baik-baik!" Pria itu melepas tangannya dari rambut Alisha, kemudian berjalan keluar dari kamar dan membanting pintu dengan sangat keras. Alisha tahu jika dia mengatakan yang sejujurnya pada Daffian pun, pria itu tetap tidak akan melepaskannya begitu saja. Dia diam ataupun bersuara tak akan mengubah keadaan, karena Daffian tetap akan menyiksanya. "Daripada mati di tangannya, lebih baik aku mengakhiri hidupku sendiri. Apa aku boleh melakukannya? Apa mengakhiri hidupku lebih baik? Apa aku bisa bertemu ayah dan ibuku di sana?" Alisha bertanya-tanya sambil memeluk lututnya, yang pasti kedua orang tuanya pasti akan kecewa dengan keputusannya. Ayah dan ibu Alisha yang sudah lebih dulu pergi, pasti tidak mau putrinya menyusul mereka secepat ini. "Aku harus bertahan ... ini pasti berakhir." Alisha menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya. Dia berharap seseorang datang menyelamatkannya atau setidaknya membantunya kabur dari sini. Sungguh, Alisha tidak tahan lagi dengan penyiksaan Daffian. *** Suara gedoran pintu dengan tak sabaran membuat Alisha terbangun dari tidurnya. Dia memang mengunci grendel pintu dari dalam saat malam hari, karena takut Daffian tiba-tiba masuk. "Alisha! Buka pintunya! Beraninya kamu menggerendel pintunya! Sial!" Daffian memang mengunci pintu kamar dari luar, jadi dia bebas keluar masuk. Tapi jika malam hari dia tidak pernah datang, makanya Alisha menggerendel pintunya. Itupun sekaligus untuk berjaga-jaga takut Daffian masuk saat malam dan Alisha tidak menyadarinya. Buru-buru Alisha membuka grendel pintu karena takut Daffian lebih murka. "Ma-maaf, Mas. Aku tidak sengaja mengunci pintunya." Setelah pintu terbuka, buru-buru Alisha meminta maaf. Tangan Daffian terangkat hendak menampar Alisha, membuat istrinya memejamkan mata karena takut, namun Daffian tak jadi melakukannya. "Mulai sekarang jangan berani mengunci pintu dari dalam!" Daffian kembali menurunkan tangannya. "Ada Marsel di bawah. Aku sudah bilang kamu sedang tidak enak badan, tapi dia tetap tidak mau pergi sebelum bertemu denganmu. Sebenarnya ada hubungan apa kamu dengan adikku?!" Alisha menggelengkan kepalanya. "Aku dan Marsel tidak ada hubungan apa-apa. Mungkin dia khawatir karena tidak bisa menghubungiku." Tangan Daffian membelai pipi Alisha lembut, namun membuat istrinya menghindar dan mundur selangkah. "Kenapa dia begitu khawatir dengan kakak iparnya ini?" Senyum mengejek jelas tercetak di wajah Daffian. "Padahal Marsel tidak perlu khawatir, karena kakak iparnya ini bukan siapa-siapa." Alisha tahu dia bukan siapa-siapa untuk Daffian, meski secara hukum dia adalah seorang istri. Alisha juga tahu tidak jika ia tidak berarti untuk Daffian, namun setidaknya ada seseorang yang mengkhawatirkannya membuat Alisha merasakan sedikit kekuatan untuk bertahan. "Cepat rapihkan penampilanmu dan temui Marsel! Usir dia dengan cepat, katakan kamu sedang sakit dan butuh banyak istirahat. Dia benar-benar mengganggu, padahal aku mau pergi ke kelab bersama teman-temanku." Alisha langsung menurut tanpa membantah. Dia mengganti bajunya dan menguncir rambutnya, tak lupa memoles sedikit bedak dan lipstik tipis. Meski riasan tipisnya itu tidak bisa menyembunyikan wajah pucatnya. Pucat bukan karena benar-benar sedang tidak enak badan, tapi karena sakit fisik dan juga batin. "Mbak Alisha." Marsel langsung bangkit dari duduknya begitu melihat kakak iparnya menuruni tangga. Raut wajah adik ipar Alisha itu terlihat khawatir. "Mbak sakit apa? Kenapa aku lihat rasanya jadi lebih kurus begini?" Sebagai seorang pria, bisa dikatakan Marsel memang jauh lebih perhatian daripada Daffian. Meski mereka berdua kakak beradik, sungguh sifat keduanya bagaikan langit dan bumi. "Tidak apa-apa, Sel. Mungkin hanya kecapekan." Alisha menyembunyikan luka di balik senyum tipisnya. Marsel terlihat tak yakin dengan jawaban Alisha. Meski kakak iparnya itu tersenyum, Marsel seolah tahu ada luka yang disimpan oleh perempuan di hadapannya. "Apa terjadi sesuatu di antara Mbak Alisha dan Kak Daffian?" Marsel seolah tak menyerah untuk bertanya. Alisha gelagapan, bola matanya bergerak kesana-kemari seolah sedang berpikir. Wanita itu tidak berani menatap Marsel. "Sebaiknya kamu pergi, aku mau istirahat." Saat Alisha berbalik, tanpa diduga Marsel menahan lengannya. "Beritahu aku apa yang sebenarnya terjadi, Mbak! Aku tahu Mbak Alisha tidak baik-baik saja. Tadi aku juga mendengar Kak Daffian berteriak-teriak." Meski tak mendengar jelas apa yang Daffian katakan pada Alisha, tapi sayup-sayup Marsel mendengar kakak kandungnya itu seperti sedang marah-marah. "Saking kencangnya suara Kak Daffian, aku sampai bisa mendengarnya dari sini. Jadi lebih baik Mbak Alisha katakan apa yang sebenarnya terjadi, aku akan membantu Mbak Alisha." Alisha langsung melepaskan tangan Marsel. Dia terlihat ketakutan, sesekali melirik ke lantai atas memastikan Daffian sedang memperhatikannya atau tidak. Penawaran seperti inilah yang Alisha tunggu-tunggu sejak lama. Sungguh Alisha ingin meminta bantuan Marsel, tapi dia tidak mau adik iparnya juga berada dalam bahaya seperti dirinya. "Marsel ... lebih baik kamu pulang."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD