7. Andai Waktu Bisa Diputar

1015 Words
"Tapi, Mbak Alisha-" Belum sempat Marsel menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba Daffian muncul dengan cepat menuruni tangga. "Sedang apa kalian?!" Daffian berseru, sambil menatap tajam bergantian ke arah Marsel dan Alisha. Jarak Alisha dan Marsel yang berdiri berdekatan membuat Daffian mendorong adiknya itu menjauh. "Ngapain kamu dekat-dekat istri kakakmu?!" "Aku tidak melakukan apa-apa, Kak! Aku hanya sedang bertanya pada Mbak Alisha," jelas Marsel. "Bukankah sudah aku bilang Alisha sedang sakit dan butuh banyak istirahat, kenapa kamu tidak percaya dengan kakakmu sendiri?!" Suara Daffian makin meninggi. "Dan kamu Alisha, bukannya cepat kembali ke kamar malah terus berduaan dengan adik iparmu sendiri!" Kali ini dia juga menyerang Alisha. "Aku tidak-" "Jangan salahkan Mbak Alisha!" potong Marsel. "Ini semua salahku. Aku akan pulang sekarang, asalkan Kak Daffian janji tidak akan memarahi Mbak Alisha lagi." Daffian menatap sengit ke arah Marsel. Bisa-bisanya adiknya itu lancang memerintahnya untuk berjanji. Tidak ada urusannya dengan Marsel, mau Daffian memarahi Alisha atau tidak. "Pergilah, Sel. Aku mohon," ucap Alisha. Ia menatap pria yang lebih muda sekitar lima tahun darinya itu dengan tatapan penuh harap. Marsel tidak mau Alisha berada di posisi yang lebih sulit akibat dirinya, akhirnya Marsel pun menyerah dan pamit. "Baiklah, aku akan pulang. Mbak Alisha jaga diri baik-baik dan cepatlah sembuh." Alisha mengangguk sambil menahan air mata sekuat tenaga. Marsel tidak boleh melihatnya menangis, karena semuanya akan menjadi lebih rumit. Setelah Marsel pergi, Daffian bertepuk tangan dramatis kemudian berkata. "Bukankah adik laki-lakiku itu sangat manis? Dia bahkan mengkhawatirkan kakak iparnya yang cantik ini." Air mata Alisha pun tak terbendung lagi. Dia menunduk dan akhirnya menangis. Ingin rasanya Alisha berlari dan menyusul Marsel, meminta pertolongan pada adik iparnya itu, tapi kakinya seolah tak bisa digerakkan. "Kembali ke kamarmu!" perintah Daffian. "Aku akan pergi dan pulang besok pagi!" Alisha sudah tahu kelakuan suaminya. Daffian pergi ke kelab malam dan pulang dini hari, bahkan terkadang saat matahari sudah muncul. Setidaknya dia tidak membawa wanita pulang seperti saat pertama kali mereka pindah ke rumah ini. Dalam perjalanan pulang Marsel tidak bisa tenang karena memikirkan Alisha. Bukan, bukan karena dia menaruh rasa atau menyukai kakak iparnya sendiri. Itu semua karena rasa ingin melindungi sebagai naluri pria yang dia miliki. "Bagaimana caranya aku membantu Mbak Alisha, sedangkan dia sendiri tidak mau bercerita apa yang sebenarnya terjadi? Aku yakin Kak Daffian melakukan sesuatu, atau mungkin mengancam jika Mbak Alisha berani berbicara pada orang lain. Oh, Tuhan ...." Marsel rasanya frustasi. Dia ingin menceritakan pada orang tuanya, tapi tak memiliki bukti. Jika belum ada buktinya, bisa saja Daffian mengelak dan Marsel dianggap memfitnah. Apalagi Alisha yang menutupi kelakuan suaminya. Marsel harus mencari cara lain untuk membantu Alisha. "Aku jadi kasihan dengan Mbak Alisha, tidak seharusnya dia menikah dengan Kak Daffian." Harapan Marsel agar Daffian berubah menjadi lebih baik setelah menikah dengan Alisha nyatanya tidak terwujud. Harapan yang sama juga dimiliki oleh Pak Bastian dan Bu Rosa, tapi Daffian memang tidak bisa berubah. Alisha di sini mengorbankan dirinya seorang diri. Memastikan semua orang baik-baik saja sedangkan ia sendiri terluka. Andai waktu bisa diputar, Alisha ingin menolak menikah dengan Daffian bagaimanapun caranya. *** "Bagaimana keadaan Daffian dan Alisha? Bukannya kamu dari sana?" Marsel yang baru saja masuk ke rumah dikejutkan dengan suara Pak Bastian yang sedang duduk di sofa. Dia menyalami ayahnya itu kemudian turut duduk bersama. "Mbak Alisha sedang tidak enak badan, Ayah. Jadi kami cuma mengobrol sebentar," jawab Marsel sopan. "Alisha sakit? Sakit apa, Sel?" Bu Rosa ikut bergabung sambil membawa kopi untuk suaminya. Marsel menatap ayah dan ibunya, tak yakin untuk menceritakan hal yang sebenarnya ia lihat. Karena sekali lagi, belum ada bukti serta kakak iparnya masih bungkam. "Katanya cuma kecapekan, Bu." Marsel menjawab seperti itu agar ibundanya tidak merasa khawatir. "Mbak Alisha baik-baik saja kok, Bu." Nyatanya Marsel lebih memilih menutupi keadaan Alisha yang sebenarnya. Dia mengatakan hal yang berbanding terbalik dengan kenyataannya. Jelas sekali terlihat jika Alisha tidak sedang baik-baik saja. "Ah, mungkinkah Alisha sedang ngidam ya? Biasanya kalau sedang hamil muda pasti merasa seperti orang kelelahan." Kali ini mata Bu Rosa terlihat berbinar-binar. "Ibu ini, Daffian dan Alisha kan belum mengatakan apa-apa." Pak Bastian sebetulnya paham sebesar apa harapan istrinya untuk segera menimang cucu, tapi beliau juga tidak mau istrinya merasa kecewa karena harapannya sendiri. "Kita do'akan saja yang terbaik untuk Mbak Alisha dan Kak Daffian." Marsel menengahi. "Ibu jadi tidak sabar makan malam keluarga bulan depan, pasti Alisha akan membawa hasil testpack untuk kejutan. Membayangkannya saja sudah membuat ibu senang," kata Bu Rosa lagi, dengan begitu bersemangat. Pak Bastian hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah sang istri yang sudah menemaninya lebih dari 37 tahun itu. Sedangkan Marsel memaksa senyumnya melihat sang ibu, tak sampai hati mematahkan semangat Bu Rosa. "Aku masuk dulu, Ayah, Ibu." Marsel akhirnya memilih untuk pergi ke kamar, memikirkan cara lain untuk membantu Alisha atau menemukan bukti tentang rumah tangga kakaknya ternyata tak sebaik seperti yang selama ini terlihat. Marsel mencoba mengirimkan pesan singkat untuk Alisha, setidaknya itu langkah pertama yang terpikir olehnya. Pria itu menanyakan keadaan Alisha, apakah Daffian memarahinya atau tidak, kemudian mengajak kakak iparnya bertemu di luar rumah. Tapi pesan yang Marsel kirimkan tak kunjung mendapat balasan, karena ponsel Alisha tidak dipegang oleh pemiliknya. Ponsel itu disimpan oleh Daffian, dan pria itu saat ini sedang bersenang-senang di klub malam. "Kenapa dia tidak membaca pesanku?" gumam Marsel, sambil melihat pesan yang ia kirimkan satu jam yang lalu. "Aku yakin ada yang tak beres. Selama ini mereka berdua hanya berpura-pura di depan kami." Marsel sebenarnya sudah curiga, karena Daffian terlihat sangat manis pada Alisha jika di hadapan orang tuanya. Padahal Marsel tahu betul itu bukan sifat Daffian. Ditambah respon Alisha yang terlihat tidak natural dan penuh keterpaksaan. Jika dipikir-pikir lagi, memang sepertinya ada yang janggal. "Kenapa aku baru menyadarinya setelah selama ini? Oh, astaga. Kasihan sekali Mbak Alisha." Marsel mengacak-acak rambutnya. Dia harus segera melakukan sesuatu untuk membebaskan Alisha dari Daffian. Tanpa ia sendiri sadari, jika kakaknya bisa menjadi lebih menakutkan dari yang ia bayangkan. Tapi yang Marsel pikirkan saat ini adalah keselamatan Alisha, karena wanita itu adalah korban setelah menjadi bagian keluarga mereka. Padahal Alisha bisa saja menemukan pria yang jauh lebih baik dan hidup bahagia jika bukan bersama Daffian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD