4. Pindah Rumah

1053 Words
"Lho, kenapa tiba-tiba mau pindah?" tanya Bu Rosa. Daffian mengutarakan keinginannya untuk pindah dari rumah orang tuanya. Pria itu beralasan ingin mencoba hidup berumah tangga berdua dengan Alisha. "Bukankah Ibu ingin aku menjadi lebih baik? Biarkan aku dan Alisha tinggal sendiri. Kami berdua butuh waktu untuk saling mengenal dan mendekat. Kami ingin hidup mandiri." Bu Rosa terlihat ragu menuruti keinginan Daffian. Beliau menatap pada Alisha yang sejak tadi hanya terlihat mendudukkan kepalanya. "Benar begitu Alisha?" Bu Rosa bertanya pada sang menantu, memastikan apakah ini keinginan sepihak dari Daffian atau memang kesepakatan berdua. "Iya, Bu. Kami berdua mau mencoba hidup mandiri." Alisha membenarkan. Bu Rosa terlihat menimbang-nimbang, tapi setelah dipikir lagi mungkin ada baiknya untuk Alisha dan Daffian. Akhirnya beliau pun menuruti keinginan Daffian untuk pindah rumah. "Baiklah, kalau itu untuk kebaikan kalian berdua, Ibu izinkan." Bu Rosa menjeda. "Tapi kamu harus janji pada Ibu, Daffian, jaga Alisha dengan baik. Begitupun kamu, Alisha, harus mentaati suami kamu jika untuk kebaikan. Jika memang suamimu salah, jangan takut untuk menegurnya atau adukan saja pada Ibu. Mengerti?" Daffian dan Alisha mengangguk bersamaan. Sebetulnya sudah jelas ini hanya rencana Daffian. Pria itu ingin terbebas, bebas melakukan apapun tanpa dimonitori oleh orang tuanya. Jika Daffian terus tinggal di sini, dia tidak bisa pulang pergi semaunya. "Ibu akan bicara dengan ayahmu dan meminta rumah segera dibereskan, baru setelah itu kalian pindah." Bu Rosa melanjutkan. Suami istri itu pun kembali ke kamar. Mereka berdua akan menempati salah satu rumah mewah yang Pak Bastian miliki. Sebetulnya sebagai orang tua, Pak Bastian dan Bu Rosa sudah menyiapkan rumah untuk Daffian dan Marsel nantinya. "Terima kasih, istriku. Kamu benar-benar istri yang baik, penurut dan tidak suka membantah. Aku menyukainya." Lagi, terdengar pujian yang berisi ejekan menusuk telinga Alisha. Karena sudah bukan pertama kalinya, Alisha tidak terlalu diambil hati seperti sebelum-sebelumnya. "Akhirnya sebentar lagi aku terbebas!" Daffian menjatuhkan badannya ke tempat tidur, sedangkan Alisha memilih berjalan menuju sofa dan duduk di sana. Tidak ada yang bisa Alisha lakukan kecuali menuruti kemauan Daffian, lagi pula sejak awal pun dia tidak dianggap oleh suaminya itu. Kini yang bisa dilakukannya hanya satu, bertahan semampu yang ia bisa. *** Tiba hari dimana Alisha dan Daffian akhirnya bisa pindah ke rumah yang sudah disiapkan oleh Pak Bastian dan Bu Rosa. Setelah hampir satu bulan lamanya menunggumu renovasi dan lain sebagainya, akhirnya rumah berlantai dua itu sudah bisa ditempati lengkap dengan isinya. "Rumahnya bagus sekali, Bu." Alisha melihat-lihat sekeliling dan dibuat takjub dengan interiornya. "Kamu suka, Alisha?" Bu Rosa bertanya, dan Alisha mengangguk cepat. "Syukurlah kalau kamu suka. Ibu harap kamu betah di sini dan bisa hidup mandiri bersama Daffian," harapnya kemudian. Alisha mengaminkan, meski hatinya tak yakin dengan harapan ibu mertuanya itu "Kalau Alisha suka, aku juga suka!" timpal Daffian, sedang berakting menjadi sosok suami yang baik. "Ayah harap kamu tidak lupa pesan kami, jaga Alisha dan jangan sakiti istrimu. Apalagi sekarang kamu sudah tinggal terpisah, jangan pulang pergi seenaknya dan kabari istrimu. Kamu mengert,i Daffian?" Pak Bastian nampaknya menaruh curiga pada putra sulungnya itu. Daffian berdecak mendengar nasihat sang ayah. "Ayah tetap saja tidak percaya padaku meski aku mengiyakan." "Kapan-kapan aku boleh main kesini kan, Kak?" Marsel bersemangat. "Apalagi nanti kalau sudah punya keponakan, wah aku tidak sabar." Mendengar kata 'keponakan' dari mulut Marsel membuat Alisha dan Daffian saling pandang. Bagaimana mereka bisa memberi keponakan pada Marsel, sedangkan mereka berdua bersentuhan pun tidak. Lebih tepatnya Daffian tidak mau menyentuh Alisha. "Do'akan saja agar keponakan yang kamu harapkan itu segera hadir," kata Bu Rosa, pada putra bungsunya. "Kapan-kapan kita makan malam bersama ya, Alisha. Meskipun kamu di sini, jangan sungkan main ke rumah Ibu. Dan kamu Daffian, sering-sering ajak Alisha jalan-jalan." Bu Rosa memeluk singkat menantu perempuannya. Setelah orang tua dan adik Daffian pergi, tinggalah Alisha dan Daffian di rumah baru itu. Daffian merenggangkan badannya, saking lelahnya berakting sejak tadi. "Karena mereka semua sudah pergi, aku juga akan pergi." "Kamu mau kemana, Mas?" tanya Alisha, sepertinya ia takut ditinggal sendirian di rumah besar ini. "Aku mau ke kelab malam, kamu mau ikut?" Daffian meledek. "Kamu ikut pun, tidak akan ada yang melirikmu di sana!" "Mas! Mas Daffian!" Alisha memanggil-manggil, namun Daffian tak peduli dan terus melanjutkan langkahnya masuk ke dalam mobil pergi meninggalkan rumah. Alisha mengejar hingga ke jalan pun percuma, Daffian tidak mungkin berbalik arah. Perempuan itu hanya bisa mengelus d**a dan kembali masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai. Ketika waktu menunjukkan pukul tiga pagi, terdengar suara berisik di lantai bawah. Alisha yang tidur di lantai atas terganggu saking bisingnya. Wanita itu merapihkan rambutnya dan keluar kamar untuk mengecek. Saat menuruni tangga, Alisha mendengar suara pria dan wanita sedang mendesah. Matanya membulat seketika melihat Daffian dan wanita yang entah siapa melakukan hal yang tidak seharusnya dilihat. Alisha merasa mual dan kembali naik ke kamarnya. Ia muntah di kamar mandi dan air tiba-tiba saja mengalir dari matanya. Rasanya menyesakkan. Alisha tahu dia tidak dicinta, tapi tidak seharusnya Daffian melakukan hal menjijikan itu di rumah mereka. Rumah yang baru saja mereka tinggali kini terasa bagaikan neraka. Ternyata tujuan Daffian ingin pindah dan terpisah dari orang tuanya salah satunya untuk ini, pria itu bisa bebas membawa siapapun ke rumahnya. "Ya, Tuhan ... rasanya sakit sekali," rintih Alisha. Ia membali naik ke tempat tidur dan menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Dia tidak mau mendengar suara apapun lagi. Alisha tertidur hingga sinar matahari menembus jendela kamar. Ia pun langsung tersentak, buru-buru Alisha mencuci mukanya. Namun sebelum keluar dari kamar mandi, Daffian sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar. "Alisha! Alisha! Dimana kamu?!" Daffian memanggil dengan berteriak tak sabaran. "Iya, Mas!" Alisha langsung keluar dari kamar mandi, tapi kaget dan menutup matanya karena Daffian bertelanjang d**a. "Kenapa sarapan belum siap, hah?!" bentak Daffian, mulutnya masih bau alkohol yang menyengat hidung Alisha. "Maaf, Mas Daffian, aku kesiangan." Alisha menunduk dan tak berani menatap suaminya. "Jadi istri yang becus, Alisha!" Daffian menoyor kening Alisha dengan jari telunjuknya. Tangannya terangkat ke atas seolah hendak memukul istrinya, namun Daffian urungkan. "Cepat buatkan makanan selagi aku masih baik padamu!" perintah Daffian, yang membuat Alisha bergegas keluar menuju dapur. Meski takut-takut, Alisha akhirnya keluar kamar dan menuruni tangga. Untunglah wanita yang semalam sudah tidak ada di sana, namun rekaman adegan tak senonoh itu masih terputar di benak Alisha. Perutnya kembali merasa mual, namun Alisha mencoba menahannya. Entah sampai kapan dia harus bertahan dengan kondisi rumah tangga yang berantakan seperti ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD