3. Sikap Kasar

1100 Words
"Kita akan pulang ke rumah orang tuaku, dan kamu tidak boleh mengadukan apapun. Kamu paham?!" ancam Daffian, sambil mencengkram pipi Alisha. Alisha mengangguk disertai air mata yang mengalir di pipi mulusnya. Padahal dia tidak melakukan apapun, tapi kenapa Daffian tetap saja kasar padanya. "Jangan cengeng! Hapus air matamu itu! Awas saja kalau sampai ayah dan ibuku curiga." Daffian mengancam lagi, yang membuat Alisha langsung menghapus air matanya. Hanya membutuhkan waktu 30 menit, Alisha dan Daffian sampai di rumah Pak Bastian dan Bu Rosa. Alisha menarik napas beberapa kali sebelum turun dari mobil. "Cepetan!" bentak Daffian, yang sudah menunggu di luar mobil. "Lelet banget sih!" Alisha buru-buru turun takut Daffian lebih marah lagi. Dia merapihkan baju yang dipakainya dan berjalan masuk ke dalam rumah. "Aduh pengantin baru pulangnya buru-buru banget sih," ledek Marsel. "Diam kamu, Sel!" Daffian terlihat tak senang dengan ledekan sang adik. "Loh kenapa cuma menginap semalam, Alisha, Daffian?" Bu Rosa meyambut uluran tangan menantu dan putranya. Setelah menyalami Bu Rosa, Alisha pun duduk di samping ibu mertuanya. "Tidak apa-apa, Bu. Aku sepertinya tidak cocok tidur di hotel, tidak bisa tidur." "Enggak bisa tidur karena diganggu Kak Daffian ya, Mbak?" canda Marsel lagi, yang langsung mendapat tatapan sinis dari sang kakak. "Sudah, sudah. Kalian itu kakak adik, tapi berantem terus." Bu Rosa melerai Marsel dan Daffian. Terlihat putra sulungnya tak senang dengan candaan putra bungsunya. Andai saja ibu mertuanya tahu, bahwa semalam Alisha tidak bisa tidur karena Daffian pergi entah kemana dan pulang dalam keadaan mabuk. Ia sangat ingin menceritakannya, namun Alisha tahu dia tidak bisa mengatakannya. "Kamu baik-baik saja, Alisha?" Pak Bastian muncul dan ikut bergabung. "Baik, Ayah." Alisha bangkit sebentar untuk menyalami ayah mertuanya. Pak Bastian menatap sebentar pada Alisha, kemudian beralih menatap Daffian. Sepertinya beliau menaruh rasa curiga pada anak dan menantunya. "Kalian berdua sudah menikah, jangan duduk jauh-jauhan seperti itu." Pak Bastian berkata lagi. "Daffian, kamu tidak menyakiti Alisha kan?" "Ayah kenapa sih? Coba tanya aja sama dia apa aku menyakitinya?!" sahut Daffian sewot. "Tidak, Ayah. Mas Daffian baik padaku." Alisha berbohong, menutupi aib suaminya sekaligus memendam rasa sakitnya. "Syukurlah." Ada kelegaan di wajah Pak Bastian mendengar jawaban menantunya. Alisha pun izin beristirahat dan masuk ke dalam kamar. Rasanya ia ingin tidur karena tak bisa beristirahat dengan benar di hotel. Baru saja ia memejamkan matanya, terdengar suara pintu kamar dibuka. "Mas Daffian, ada apa?" tanya Alisha, sambil tetap waspada. "Aktingmu boleh juga." Entah itu pujian atau ejekan yang terlontar dari mulut Daffian. Suami Alisha itu berjalan mendekat ke tempat tidur, membuat Alisha refleks terduduk dan menarik selimut. "Mas mau apa?" Alisha tak bisa mundur lagi karena punggungnya sudah menabrak divan. "Kamu melakukannya untuk mendapatkan perhatianku kan?" Daffian kini duduk di tepi ranjang, sangat dekat dengan Alisha. "Melakukan apa maksud, Mas?" "Jangan pura-pura tidak mengerti, Alisha. Aku tahu kamu berpura-pura memujiku baik dan berbohong di depan ibu dan ayah agar menarik perhatianku." Alisha menggeleng singkat. "Mas sendiri yang bilang tidak boleh mengadu pada ayah dan ibu. Jadi aku berbohong ...." "Kamu menyukaiku rupanya," ujar Daffian percaya diri. "Apa maksud, Mas? Aku tidak-" "Ssttt!" potong Daffian, seraya menaruh jari telunjuknya di bibir Alisha. Perlahan jari jempolnya mengusap bibir tipis Alisha, membuat sang istri gemetaran karena takut. Alisha menganggap sang suami sinting, karena menyimpulkan dirinya suka pada Daffian hanya karena berbohong demi Daffian. Perlahan wajah Daffian mendekati wajah Alisha. Saking takutnya Alisha memejamkan matanya, bukan karena menyambut. Namun tiba-tiba ia merasa pipinya ditampar pelan. "Kamu pikir aku kan menciummu, huh? Jangan mimpi kamu Alisha. Kamu sama sekali bukan tipeku." Daffian kemudian menjauh begitu saja dari Alisha setelah mengucapkan kata-kata yang begitu menyakitkan. Meski sudah berkali-kali Alisha dibuat sakit hati akibat perkataan Daffian, namun Alisha tetap tidak terbiasa menerimanya. Air kembali begitu saja dari mata indah milik Alisha. "Dasar cengeng." Setelah mengatakan hal menyakitkan itu, Daffian keluar dari kamar meninggalkan Alisha. Entah mau kemana pria itu, Alisha tidak peduli. Untuk sesaat ia memikirkan bagaimana caranya agar terbebas dari keadaan ini, apa cukup dengan mengakhiri hidupnya? Rasanya baru menikah saja Alisha sudah tidak sanggup menahannya, tak tahu bagaimana caranya mengajak Daffian untuk berubah lebih baik. Malah yang ada Alisha terseret arus buruk Daffian jika terus seperti ini. Makan malam tiba, seluruh anggota keluarga berkumpul di ruang makan. Di depan ibu dan ayah mertuanya tentu saja Alisha harus bisa bersikap baik, walau mungkin Daffian akan menganggapnya sedang mencari perhatian. Alisha mengambilkan piring untuk Daffian, diisi dengan nasi dan lauk pauk. "Ini, Mas." "Terima kasih, istriku." Daffian berkata lembut disertai senyum, namun sukses membuat Alisha merinding mendengarnya. "Romantis banget sih pengantin baru," goda Marsel seperti biasa. "Hus, Marsel kamu ini suka sekali ganggu kakak iparmu!" tegur Pak Bastian. "Sebagai seorang istri memang sudah tugasnya melayani suami. Ibumu juga mengambilkan makanan untuk Ayah," lanjutnya. "Iya deh iya. Aku sih mandiri, soalnya belum punya istri." Marsel pura-pura merajuk seraya mengambil piringnya sendiri. "Ibu senang deh lihat anak-anak dan menantu ibu akur. Kalian ini keluarga, harus saling menjaga dan membantu satu sama lain." Bu Rosa berpesan. "Sekarang mari kita makan," ajaknya kemudian. "Sayang, di bibirmu ada sisa makanan tuh." Daffian mengusap sudut bibir Alisha, namun refleks membuat Alisha menghindar. "Ah, benarkah, Mas?" Alisha langsung mengambil tissu dan mengelap bibirnya. Hal itu langsung membuat perhatian tertuju pada Alisha dan Daffian. Entah akting macam apa yang sedang Daffian mainkan, tapi Alisha takut jika tak mengikutinya akan membuat Daffian marah padanya. "Sudah bersih, Mas?" tanya Alisha, membuat Daffian melanjutkan aktingnya. "Sudah." Daffian kemudian mengelus kepala Alisha, tapi bukannya berdebar malah membuat tangan Alisha gemetar. Alisha menyembunyikan tangannya di bawah meja agar tidak ada yang tahu dia sedang ketakutan. Dari sorot matanya, sepertinya Daffian marah padanya karena ia sempat menghindar ketika sang suami menyentuh bibirnya. 'Seharusnya aku diam saja.' Alisha merutuki dirinya sendiri karena salah bersikap. Setelah makan malam selesai, Alisha mencuci piring meski Bu Rosa melarangnya karena ada asisten rumah tangga yang nanti mengurusnya. Tapi Alisha melakukannya untuk mengulur waktu, dia tak mau cepat-cepat ke kamar dan bertemu dengan Daffian. Membayangkannya saja Alisha sudah bergidik, entah apalagi yang akan dilakukan suaminya. Ucapan kasar atau kekerasan fisik. Meski sudah berusaha berlama-lama, namun akhirnya mau tidak mau Alisha harus kembali ke kamar. Ia sudah berdiri di depan pintu, berusaha mengatur napas dan meyakinkan diri semuanya akan baik-baik saja. Tangannya meraih gagang pintu dan membukanya perlahan-lahan. Alisha mengintip sebelum membuka pintu sepenuhnya. "Mas Daffian?" panggilnya pelan, memastikan keadaan di dalam kamar. Perlahan ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar. Seketika ia merasa lega, ternyata Daffian sudah terlelap. Ketakutannya pun sirna. Alisha menutup pintu pelan sekali, karena takut menimbulkan suara dan membuat Daffian terbangun. Kemudian ia berjalan menuju sofa yang ada di sudut kamar dan membaringkan tubuh mungilnya di sana untuk beristirahat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD