2. Malam Pengantin

1017 Words
Resepsi pernikahan Alisha dan Daffian digelar di sebuah ballroom hotel berbintang yang menampung hingga seribu undangan. Dekorasi klasik nan elegan dipilih untuk menghiasi ruangan, menggunakan bunga-bunga segar, sedikit sentuhan emas dan lampu kristal. Alisha nampak cantik dengan make up yang tidak begitu mencolok. Gaun pengantinnya berwarna putih mengusung nuansa vintage, sederhana yang terlihat mewah. Daffian memakai kemeja dan jas berwarna putih senada dengan gaun Alisha, dipadukan celana berwarna hitam dan dasi kupu-kupu hitam. Meski terlihat biasa saja, namun sorot mata Daffian terlihat tajam. "Kamu cantik sekali, Alisha!" puji Bu Rosa, menatap penuh haru pada Alisha yang sudah selesai didandani. "Terima kasih, Bu." Alisha mencoba tersenyum, meski sebenarnya dia merasa tertekan. Berbeda dengan Daffian yang ada di ruangan sebelahnya, ekspresi pria itu datar-datar saja. "Tersenyumlah sedikit, Kak." Marsel memberi saran. "Sebentar lagi kamu resmi menjadi seorang suami, Daf. Ayah harap kamu bisa melakukan kewajibanmu dengan baik." Pak Bastian menepuk pelan pundak putranya. "Jaga Alisha, jangan sakiti istrimu." Beliau melanjutkan. Daffian hanya mengangguk saja, seolah dengan cepat mengiyakan agar tak mendengar nasihat-nasihat lainnya dari sang ayah. Telinganya rasanya sudah panas dan ingin segera mengakhiri sandiwara ini secepatnya. 'Acara inti bahkan belum dimulai, tapi rasanya sudah melelahkan. Apa aku kabur saja dari sini?' gerutu Daffian, namun dalam hati. Serangkaian acara demi acara telah dilewati, kini Alisha dan Daffian resmi menjadi sepasang suami-istri. Pengantin baru itu baru saja tiba di kamar suite hotel yang menjadi kamar pengantin mereka. Daffian langsung melepas seluruh pakaiannya dan membuat Alisha yang melihatnya berteriak seraya memalingkan muka. "Aku akan mandi duluan, jangan ganggu aku!" kata Daffian, kemudian pergi ke kamar mandi. Alisha hanya bisa mengelus d**a melihat sikap pria yang kini menjadi suaminya itu. Sejak di pelaminan pun Daffian sama sekali tidak bicara padanya. Pria itu tak mengacuhkan Alisha, seolah tidak ada orang berdiri di sampingnya. Meski tahu pernikahan ini adalah pernikahan yang tak diinginkan, tapi setidaknya Alisha berharap Daffian bisa memperlakukannya lebih baik sebagai sesama manusia. Alisha tidak mengharapkan lebih, hanya ingin diperlakukan dengan baik. Akhirnya Alisha memilih menghapus riasannya terlebih dahulu, kemudian melepas baju pengantinnya dan berganti pakaian yang lebih nyaman. Karena Daffian tak kunjung selesai, Alisha berjalan menuju tempat tidur dan membaringkan tubuhnya. "Badanku rasanya remuk, kakiku pegal sekali." Alisha lelah setelah berdiri seharian menyambut tamu undangan mertuanya yang begitu banyak. Rasa kantuk mulai menyerangnya, namun Alisha ingin mandi lebih dulu agar badannya lebih segar. Ia melirik ke dalam kamar mandi, tak ada tanda-tanda kemunculan Daffian. Suaminya itu mandi lama sekali, Alisha juga tidak berani menegur karena sudah diperingatkan sebelumnya untuk tidak mengganggu. Sejujurnya Alisha takut ketiduran. Dla takut Daffian bertindak macam-macam padanya, walaupun Daffian memang berhak atas tubuh Alisha karena mereka sudah menikah, namun rasanya Alisha belum siap melakukannya. Nyatanya rasa kantuk lebih besar daripada rasa takut yang Alisha miliki. Wanita cantik itu tertidur dengan lelapnya karena merasa sangat lelah. Ketika Alisha tertidur, Daffian pun menyelesaikan mandinya. Daffian menatap Alisha yang tertidur pulas. Langkah kakinya mulai mendekati ranjang. "Dia menjadi istriku? Wanita seperti ini? Tidak ada menariknya sama sekali!" ejek Daffian, kemudian berbalik arah untuk segera memakai pakaiannya. Seolah tak peduli pada seorang wanita yang baru saja ia nikahi, Daffian malah pergi dari kamar. Lebih tepatnya dia pergi dari hotel itu, meninggalkan istrinya dan mencari kesenangannya sendiri. "Hei, Daffian! Pengantin baru kok bukannya malam pertama malah ke klub? Gila, lo!" ejek Tio, teman Daffian. "Mana istri lo? Ditinggal?!" "Istri gue nggak asik," sahut Daffian. "Loh kenapa? Jangan-jangan dia udah di nggak ...." "Berisik lo, Tio! Gue nggak peduli hal itu, minat buat nyentuh dia aja nggak!" Daffian berkata sedikit keras karena suara musik di klub malam itu cukup keras. "Bener-bener gila lo, Daf!" Tio berseru, dibuat geleng-geleng kepala karena ulah Daffian. Di kamar hotel, saat Alisha membuka mata dia langsung terduduk kaget karena ketiduran. Ia melihat dirinya sendiri, pakaiannya masih lengkap menempel di badannya. Saat ia melirik ke samping, tidak ada Daffian di sana. Kemana suaminya? Alisha melangkahkan kaki menuju kamar mandi, tapi Daffian juga tidak ada di sana. Mungkinkah suaminya pergi keluar untuk makan? Namun saat melirik jam menunjukkan jam 2 pagi, tidak mungkin Daffian pergi mencari makan dini hari seperti ini. "Kemana perginya dia? Apa dia kabur dan meninggalkan aku?" gumam Alisha. Membayangkan dirinya ditinggal begitu saja setelah dinikahi membuat Alisha sedih. Sedangkan Daffian yang berada di klub malam sedang bersenang-senang bersama wanita lain, tanpa mengingat Alisha sama sekali. "Kenapa nasibku seperti ini?" Air mata pun tak bisa Alisha bendung lagi. Rasanya sakit. Sakit sekali. Ia tak pernah membayangkan hal seperti ini akan menimpanya. Tak pernah sama sekali Alisha menyangka hal ini akan terjadi padanya. Sambil menangis dengan tangan yang gemetar, Alisha mengetik pesan untuk Daffian dan menanyakan keberadaan suaminya. 'Kamu dimana, Mas?' Pesan terkirim, namun tak kunjung dibaca apalagi dibalas. Alisha memilih membersihkan diri sambil menunggu siapa tahu Daffian membalas pesannya. Tapi sampai selesai mandi pun tak ada balasan dari sang suami. Alisha yang gelisah tak bisa kembali tidur karena hatinya tak tenang. Sampai jam menunjukkan pukul 5 pagi, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Alisha langsung bangkit untuk melihat siapa yang datang. "Mas Daffian?!" Alisha langsung menangkap Daffian yang hampir saja terjatuh. Suaminya itu datang dengan sempoyongan karena mabuk. "Kamu dari mana, Mas? Kenapa kamu seperti ini?" "Diam kamu! Jangan pegang-pegang aku!" sentak Daffian, mendorong Alisha menjauh darinya hingga terjatuh ke lantai. "Dengar ya, Alisha. Jangan adukan pada ayah dan ibu kalau aku pergi semalam! Sekarang aku mau tidur, jangan ganggu aku!" Daffian membentak Alisha kemudian kembali berjalan menuju tempat tidur. Dia langsung menjatuhkan badannya dan tidur begitu saja. Tak mempedulikan Alisha yang mencemaskannya semalaman. Sedangkan Alisha hanya bisa menangis karena perlakuan Daffian terhadapnya. "Kenapa harus seperti ini? Kenapa harus aku?" Alisha yang terduduk di lantai kembali menangis. Menangisi nasibnya yang dirasa tak seberuntung orang lain. "Kalau terus seperti ini sampai kapan aku mampu bertahan? Bagaimana aku bisa membuat pria kasar seperti itu menjadi lebih baik? Rasanya mustahil. Aku sudah ingin menyerah." Alisha berteriak pun Daffian tak mungkin mendengar ucapannya, apalagi Alisha hanya bergumam sendiri meratapi dirinya. Perlahan Alisha bangkit dan berjalan menuju sofa. Dia bahkan tidak mau dekat-dekat Daffian, apalagi berbaring di samping suaminya. Ia takut membuat Daffian terganggu dan membuat sang suami melakukan hal yang lebih buruk terhadapnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD