Chapter I. 02 : Saras

3072 Words
Lalu, kuarahkan bibirku menyentuh lehernya, mengusapnya tiga kali. Kemudian kuarahkan bibirku ke arah puting coklat di pucuk perbukitan indah itu. "Sssshhhhh, auhhhh," desisnya manja karena menerima perlakuanku. Entah kapan, kejantananku telah terbuka mengacung dengan gagahnya. Kurasakan kuku tajamnya menyentuh kulitku yang keras itu. Mengelusnya dan sesekali menekannya karena gemas. Ujung kejantananku terasa tertarik, Saras menarik kejantananku seakan ingin melepaskan bagian dari tubuhku. Tak berlama-lama lagi, aku bangkit dan duduk disampingnya. Pandangan matanya sayu dan matanya setengah terbuka, seakan Ia memohon kepadaku agar hasratnya cepat tersalurkan. Ujung kulit hidungnya bergerak-gerak karena tersapu oleh deru nafasnya yang berat. Tanpa aku perintah, Ia melonggarkan kedua kakinya. Menampakan surga yang di penuhi duri halus hitam di sekitarnya. Cairan lembab beraroma anyir sangat menyengat di hidung. Dengan sekali tarikan, Ia membimbing kejantananku mendekat ke area sakral itu. Bagian kulit dari surga itu telah menggelambir berwarna kehitaman, mungkin karena sering di pakai oleh para hidung belang. Dengan hati-hati, kutumpukan tubuhku di kedua tanganku yang menjulur di samping kiri kanan tubuhnya. Sejenak, kuusap-usap ujung tombak tumpulku di area nan basah itu. Sehingga, membuat dirinya mendesis lirih hampir tak terdengar. Dengan sekali sentakan, Ia tergeletak karena seluruh batang kejantananku masuk sempurna ke dalam liang senggamanya. Ia menjerit, tangan kanannya menutup mulutnya dan tangan kirinya memainkan putingku untuk merangsang birahiku. Perlahan tapi pasti, kupompa pelan kejantananku ke liang senggamanya. Rasanya begitu basah dan licin. Sehingga membantuku untuk untuk lebih cepat memompa bagian luar kesadaran dari setiap manusia itu. "Auhh, ah," "Hmn, terus, ih" Ia meracau tak karuan ketika kugencarkan seranganku. Kedua buah dadanya yang sebesar buah melon melompat kesana kemari tak tentu arah. Jarik yang Ia kenakan hanya menutupi sebagian perutnya. Tiba-tiba, dirinya mengejang. Dadanya membusung, terangkat ke arahku sehingga aku tahu apa yang harus ku lakukan. Kuhisap habis kedua bongkahan lembut nan besar itu. Putingnya sekeras batu kerikil. Kurasakan setiap detil dari kejantananku seperti tersedot oleh liang senggama yang berkontraksi klimaks itu. "Ah, aahhhh," lengkuhnya panjang namun pelan. Tak terasa, kejantananku berkedut-kedut seakan ingin mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. Darahku berdesir cepat menusuk ubun-ubun. Getaran ototku mengejang tak dapat kukendalikan. Sehingga, cairan nan kental muntah dari ujung batang kejantananku. Peluh memenuhi tubuh kami dan deru nafas memanas saling menyentuh tubuh kami. Aku terkulai lemas di atas tubuh nan seksi itu. Sejenak, aku merasakan detakan jantungnya yang melemah. Lalu, aku bangkit dan tidur di sampingnya. Kurapikan celanaku agar putrinya tak curiga kepada perbuatanku kepada ibunya. Saras juga melakukan hal sama, Ia merapikan kainnya yang dipenuhi peluh keringat hasil dari pergulatan kami. Rasa kantuk yang berat menderaku, di bawah rintikan hujan yang turun perlahan.  Aku mendekap erat tubuhnya dari belakang. Merasakan setiap detil lekukan tubuh indah yang cepat atau lambat akan menjadi milikku. Ia berpaling memunggungiku, namun tak menolakku ketika kulingkarkan tanganku di bawah ketiaknya. Memang benar, tiduran sambil meremas-remas kedua gunung kembar miliknya sungguh mengasyikkan. Tak heran, jika putrinya gemar memainkan puting susu ibunya yang begitu kenyal dan menantang. Rasa kantuk yang begitu berat terus menerus berbisik kepadaku. Tak pelak, akupun tertidur seraya memeluk Saras dari balik punggungnya. Desiran angin menyapu dedaunan kering di sekitarku. Udara begitu lembab dan embun tak lekas kering karena hujan semalam. Aku meneruskan perjalananku menuju desa Banduwangi bersama sepasang ibu dan anak yang berada di keretaku. Perlahan tapi pasti, kaki-kaki kudaku melangkah menembus jalur hutan yang sunyi. Desaku amat terpencil dan jalan inilah satu-satunya penghubung desa ke kota Ardaka. Jarang sekali aku bertemu dengan orang disini. Hanya sesekali aku melihat hewan-hewan liar yang berlari meninggalkan gemerisik semak belukar. Aku duduk sendirian mengendalikan tali kekang kudaku di bagian depan. Sedangkan, Saras dan putrinya berada di dalam kereta yang tertutup oleh tirai penghalang panas. Sunyinya hutan membuat siapa saja menguap. Suasana siang itu memang membuat siapa saja mengantuk. Tak heran jika beberapa kali aku harus menguap karena kantuk mendera diriku. Beberapa saat kemudian, kulihat kepala Saras mengintip dari balik kain yang memisahkan kami berdua. "Ah, ada apa?" tanyaku. "Boleh aku duduk di depan." "Hmn, silahkan," ujarku sambil menggeser pantatku untuk memberikan tempat kepada dirinya. Ia pun keluar dari balik kain. Kulihat Ia begitu sopan menutup setiap lekukan tubuhnya yang sebenarnya tidak benar-benar tertutup. Dengan wajah penuh ketenangan, Ia duduk disampingku seraya memperhatikan setiap lenggokan pantat kudaku. "Sehari lagi, kita akan sampai," ujarku membuka percapakan diantara kami. "Hmn, hmn," gumamnya menjawab pertanyaanku. "Ceritakan mengenai dirimu?" Saras menoleh padaku ketika aku bertanya seperti itu. Mungkin di benaknya, Ia tak punya cerita membanggakan yang pantas untuk diceritakan kepada siapapun. "Aku memang keturunan seorang pelacur!" ujarnya santai. Aku sempat terkejut mendengar perkataannya. Itu berarti, Ia menyebut ibunya sebagai seorang pelacur juga. "Maksudnya?" aku pura-pura bertanya agar Ia dapat menjelaskannya lebih detil. "Aku memang lahir di tempat pelacuran," Ia menghentikan sejenak ceritanya. "Sama seperti putriku, Niar." Memang benar dugaanku. Kehidupan yang mahal di kota Ardaka memang membuat siapa saja bisa gila jika tak bisa bertahan. Apalagi, seorang wanita yang hidup sendiri dengan anaknya. Tempat pelacuranlah tujuan terakhir mereka. Para Germo dan Mucikari selalu ingin mendapatkan wanita-wanita untuk memperlancar bisnis mereka. Sungguh kenyataan yang kelam untuknya. "Hmn, seperti itu," aku menyetujui saja. "Eh, kapan pertama kali kau berhubungan dengan pria?" Ia menoleh ke arahku, tatapannya tajam seakan menamparkanku. Pertanyaanku memang sedikit tak sopan menurutku. "Pertama kali," Ia mendesah panjang,  jari telunjuknya mengetuk bibirnya untuk mengingat semua yang ada dipikirannya. Syukurlah Ia tak marah kepadaku. "Ketika itu, usiaku baru 13 tahun." "Hah, 13 belas tahun sudah begituan." "Ya, tapi jangan salah, pria yang berhubungan denganku, usianya baru 8 tahun." "Apa!?" aku berteriak karena terkejut kepadanya. "Bagaimana bisa anak usia 8 tahun datang ke rumah pelacuran?" "Ia anak dari mucikari di rumah pelacuran ibuku." "Tapi, bagaimana bisa? barangnya masih kecil, terus,,,!" aku meracau keheranan, namun Saras menyelaku. "Semuanya berubah jika kau di tempat itu, aku melihat semuanya sejak aku masih gadis kecil," selanya. Pikiranku menjadi terbuka oleh perkataannya.  Mungkin kebiasaan membuat siapa saja terpengaruh oleh lingkungan di sekitarnya. "Dahulu, aku sering mengintip pergumulan para hidung belang di pelacuran itu, semakin sering dan hampir setiap hari kami berdua melihatnya. Sampai suatu ketika..." Saras menceritakan hal itu sampai harus memerahkan rona pipinya karena malu. Aku dengan serius mendengar cerita darinya. Lalu Ia meneruskan ceritanya. Aku seperti dibawa ke masa lalunya yang kelam. "Ketika itu, aku masih berusia 13 tahun dan Ia berusia 8 tahun. Kami sering bermain bersama, makan bersama, bahkan mandi bersama. Saat itu, kami masih kanak-kanak dan tak memikirkan hal lain kecuali bermain dan bermain. Pada suatu ketika, kami berdua penasaran dengan apa yang dilakukan para wanita dewasa dengan para pria mabuk di dalam kamar. Dengan kecerdasan kami berdua, kami membuat sebuah lubang di suatu kamar agar kami bisa melihat apa yang dilakukan orang dewasa di dalam kamar berdua. Akhirnya, kami berdua tahu, kenapa orang dewasa begitu senang berduaan di kamar." Kata Saras yang menahan deru nafasnya. "Terus, terus," aku semakin penasaran dengan kelanjutan cerita Saras. "Pada suatu hari, mengintip adalah hobi kami berdua. Setiap hari dan hampir setiap kamar, kami membuat lubang agar kami bisa melihat pergumulan di ranjang panas itu. Karena lubangnya hanya satu, kami harus bergantian mengintip, terkadang kami berdua harus berebut untuk melihat setiap gaya bercinta. Pada saat itu, giliranku mengintip di lubang. Tak sadar, tangan bocah anak mucikari itu menyentuk dadaku dan memilin puting susuku yang masih rata." "Seperti ini," ujar seraya mencubit dan memilin puting susunya yang telah membesar ini. Ia terlihat mendesis sejenak merasakan sensasi yang menyengat ke ubun-ubunnya. "Iiih, kamu!" Dengan cekatan, Ia menepis tanganku dan meneruskan ceritanya. "Aku biasa saja itu, tak ada rasa apapun, namun sedikit sakit karena kukunya mencubit putingku. Aku mencoba menepisnya, namun bocah itu tetap meremas-remas dadaku dengan ganasnya. Akhirnya, aku menuruti perlakuannya itu. Tak hanya meremas, Ia juga melorotkan kembenku dan menghisap puting susuku seperti layaknya seorang bayi yang menyusu. Aku pun menurutinya saja karena Ia akan merengek jika tak dituruti. Lama kelamaan, aku menikmati perlakuannya tersebut. Rasanya darahku berdesir hebat karena sapuan lidah dan kenyotannya yang kuat." Mendengar cerita Saras tersebut. Tak terasa, batangku semakin mengeras. Namun aku harus menahannya agar Ia mau menyeleseikan ceritanya. "Semakin lama, akulah yang menginginkan setiap sapuan lidahnya yang menyentuh putingku. Jika ada kesempatan, aku selalu memintanya untuk menjilat putingku yang semakin lama semakin memerah karena ranum. Sampai pada suatu ketika kejadian itu terjadi saat kami sedang mandi di sungai berdua. Siang itu, memang sungai terlihat sepi saat siang hari. Melihat kesempatan itu, aku melucuti seluruh pakaianku begitu juga dengannya. Aku memintanya untuk menghisap puting susuku dan aku duduk di pangkuan mungilnya. Aku menirukan gaya ibuku yang terkenal ganas di ranjang. Kugoyang-goyangkan pinggulku, sehingga liang senggamaku bersentuhan dengan batangnya yang kecil namun keras. Rasanya sangat enak. Batangnya yang keras seperti menekan bagian sensitifku." "Seperti ini!" aku menyelanya sambil mendaratkan tanganku mengusap bagian pangkal pahanya. "Auhhh, kamu nakal!" sekali lagi Ia menepis tanganku dari pangkal pahanya yang berbulu dan lembab. "Beberapa kali, Ia memuncratkan cairannya. Namun, aku juga belum menemukan sensasi rasa klimaks itu. Sehingga setiap kali Ia memuncratkan cairannya, aku selalu mengurut kejantannya agar tegak kembali. Lalu, terpikir olehku untuk memasukan batang itu ke dalam lubang surgaku. Aku memasukannya secara pelan-pelan, setelah masuk, terjawablah seluruh rasa penasaranku waktu itu. Penasaran kenapa orang dewasa begitu bahagia ketika berada di ranjang berdua. Akhirnya, selama setahun aku melakukannya hal itu dengannya, di setiap kesempatan. Bahkan saat bermain, kita hanya pura-pura bermain. Sebenarnya yang kita mainkan adalah permainan orang dewasa." "Wow, menarik sekali ceritamu." Pujiku,  namun dibenakku aku tak menyangka. Sebegitu rusaknya moral manusia saat ini. "Hmn, namun penyakit mengerikan membunuhnya saat usianya belum genap 10 tahun.  Aku sedih karena kehilangan burung kecil peliharaanku itu. Kata Ibu, Ia terkena teluh dari seorang dukun yang jahat." "Iya sedih sekali pasti, hehehe," ujarku sambil terkekeh. Saraspun mencubit lenganku yang kekar. "Hmn, tapi pantas saja ya?" "Pantas apa?" "Pantas saja, payudaramu besar sekali. Baru 13 tahun sudah disedot ama orang." Ujarku dengan tatapan tajam ke arah belahan payudaranya yang indah. Ia tersenyum tersipu malu, lalu berkata, "Kamu mau?" Tanpa kata lagi, aku mengangguk cepat. Kulihat Saras menarik ikatan jariknya dan meloloskannya. Sepasang buah dada dengan puting coklat kemerahan terpampang di hadapanku. Mataku tak kuasa berkedip melihat pemandangan itu. Kutelusuri setiap detil tekstur lembut dengan mataku. Lalu, Saras bangkit dan melangkah ke pangkuanku. Selangkangannya yang di penuhi bulu menekan kejantananku. "Tetap jalan, agar cepat sampai," bisiknya seraya menodorkan bongkahan susunya di mulutku. Aku pun menghisap, menjilat dan mengigit kedua puting susu itu secara bergantian. Perjalanan kami siang itu menjadi menyenangkan. Aku seperti disuguhi dengan anggur kualitas nomor satu yang dapat aku minum kapan saja. Pergerakan sang mentari menjadi lebih cepat meninggalkan sang hari. Dari ufuk arah barat, aku melihat sinar temaram nan jingga ketika aku mengambil air di sebuah sungai yang mendampingi perjalananku. Memang, jalur di hutan yang menghubungkan desaku dengan kota Ardaka selalu berdekatan dengan sungai. Jika tak ada sungai, berarti tak air. Jika tak air, mustahil orang dapat hidup. Sungai itu mengalir sepanjang musim, airnya yang segar membuat seluruh makhluk hidup selalu berhenti sejenak untuk melepas dahaga. Senja itu, kupersilahkan Saras dan putrinya untuk sejenak menyegarkan badan mereka berdua. Kutunjukan bagian mana yang dangkal dan aman dari binatang hutan. Dengan mata terpaksa, aku harus meninggalkan mereka berdua di tepian sungai. Aku duduk beralaskan akar pohon seraya menghidupkan tembakau kretek dari sebuah pipa gading gajak. Rasanya sungguh nikmat, ketika asap-asap membius dan sejenak menghangatkan badanku. Hutan begitu dingin di kala senja, sehingga aku segera mengumpulkan kayu bakar untuk menghangatkan badanku. Tentu saja, sepasang ibu dan anak akan menggigil jika tidak segera dipanasi. Api unggun kecil memberikan asap berwarna biru keputihan. Secara samar, udara dingin kembali menghangat disekitarku. Pikiranku melayang sore itu melayang jauh ketika aku mendengar suara cipratan air yang tersibak tak wajar di balik semak belukar. Rasa penasaran muncul di benakku ketika aku melihat kepala Saras yang terintip dari balik semak. Aku mendekati semak belukar itu dan menyibaknya perlahan. Terlihat Saras dan putrinya yang masih berusia 8 tahun sedang mandi bertelanjang di tepi sungai yang dangkal. Kulihat Saras yang menjadi pusat seluruh perhatian otot sarafku. Tangannya bergerak membelai lembut setiap detil tubuh yang duduk membelakangiku. Deburan air mengelir di sela jemarinya dalam usaha membasahi tubuhnya yang seksi. Tak terasa, kejantananku kembali menegak kencang tak terhiraukan. Tak sadar, tanganku merangsek ke celanaku sembari menatap bongkahan pantat Saras yang bergoyang tersapu riak. Namun, di tengah fantasi liarku. Putrinya, Niar yang juga dalam keadaan telanjang, berteriak dan menunjuk ke arahku. Seakan aku adalah seorang pengintip yang tak bermoral. Tapi itulah aku, hahahaha. Aku beringsut menjauh dari semak dan bersembunyi di balik pohon. Kulihat Saras menyapu pandangannya ke arah tempat dimana Niar menunjukan tangan. Namun, Saras tak menghiraukan itu. Sekarang, Ia malah duduk berjongkok menghadapku. Putrinya yang sibuk bermain air di sungai yang dangkal, tak memperhatikan Ibunya yang bermain dengan celah di antara kedua pahanya. Kuintip kelakuan Saras dari sela pepohonan. Ia menyadari bahwa sepasang mata jalangku telah merasuk ke dalam gundukan berambut tipis dengan kulit dalam kemerahan. Sepertinya, Ia sedang menggodaku dikala aku sedang sembunyi memohon agar tak ketahuan. Kulihat, Ia menggigit bibirnya sesekali, dan sesekali Ia menyapu bibir dengan lidahnya. Pandanganku terarah pada usapan tangannya yang mengusap tubuhnya sendiri. Tangannya berpindah mengusap perutnya yang rata lalu ke atas memilin puting susunya berwarna coklat kemerahan. Lalu, meremasnya perlahan seakan menyodorkannya kepadaku. Kemudian, tangannya beralih ke lehernya yang jenjang dan kepalanya menjutai ke belakang. Seakan mengajakku untuk memeluk tubuhnya. Berangsur-angsur, tangannya kembali ke dadanya dan meremasnya sekali. Lalu, Ia menaikan sedikit pantatnya agar tak terendam air sungai yang dangkal. Bagai sebuah harta karun yang keluar dari dasar laut, sebuah celah nan sempit dengan hiasan bulu halus tersaji di hadapanku. Jemarinya begitu lihai membelai ujung celah yang menjadi pangkal kenikmatan hasrat seksual yang tertinggi. Jari tengahnya mengusap secara berputar dan sesekali Ia masukan ke dalam celah itu. Jarinya bermain-main sejenak ketika memasuki celah berbulu, keluar dan masuk seirama dengan goyangan pinggulnya yang terangkat. Mulutnya terbuka dan lidah menyapu-nyapu tepi bibirnya yang gincu. Lalu, Ia sepertinya ingin membicarakan sesuatu, namun tak terdengar olehku. Bibirnya berkata-kata tanpa suara seakan menantangku untuk menebak apa yang ada dipikirannya. Suku kata pertama, berupa huruf vokal bernada O. Namun lidahnya menyentuh langit-langit rongga kulutnya. Suku kata kedua dari percakapan bisu kami, berupa huruf vokal O dengan lidah menjulut keluar seakan ingin menggapai tubuhku. Aku mencoba menebaknya dengan berbicara dengan cara yang sama. "Apa, Bodoh," tebakku tanpa suara. kubiarkan Ia mmbaca bibirku. Namun, Ia menggeleng dan memasang tatapan nakal terhadapku. "Tolol." Ia menggeleng lagi seraya tersenyum kepadaku. Aku berpikir sejenak, mungkin itu. "KO##OL!!!" aku berseru tanpa suara kepadanya. Ia sekarang mengangguk cepat seakan tak sabar ingin melihat kejantananku. Tangannya semakin liar menekan bagian berambut itu. Pipinya memerah merasakan setiap sensasi yang dibuatnya sendiri. Tanpa berlama-lama dari balik pohon, aku keluar dan menurunkan celanaku. Sebuah tongkat berukuran 15 cm bertolak menggantung dari tempatnya. Diameternya cukup besar namun cukup untuk jemariku yang melingkar di batangku. Tak berlama-lama, aku yang pertama malu apabila putrinya melihatku, mulai memijat batang kejantananku perlahan. Maju dan mundur secara cepat, dan kadang perlahan. Darahku bagai mendesir hebat ketika Ia menjulurkan lidahnya seakan lidah itu memanjang dan menyentuh batangku. Kami hanyut dalam kenikmatan masing-masing ketika Ia mengejang hebat menimbulkan suara sibakan air tertimpa tubuhnya. Aku juga merasakan hal yang sama, jemariku semakin cepat berayun kearah yang berlawanan. Lalu, cairan kental keluar seperti di tambakan dari lubang kecil di ujung kejantananku. Semua yang berada disini serasa melayang dan tanahpun bergetar. Kau mencapai puncakku bersamaan dengannya. Kulihat Nafasnya terengah seperti nafasku, menikmati setiap kedutan di dalam tubuh kami yang bergetar. Tak berlama, aku duduk dan berbaring di tanah, menyesuaikan setiap jengkal otot-ototku yang bergerak tak wajar. Malam telah tiba, udara dingin berdesir meniup rerumputan dan semak belukar yang tak terlindung. Kepulan asap api unggun bagai pelengkap peegumulan kami berdua di atas rumput yang kami lambari kain tipis. Fenomena tadi sore membuatku semakin penasaran dengan setiap lekukan tubuh sang mantan pelacur itu. Ia membuatku terbakar, ketika aku mengecup setiap lekukan tubuhnya. Terutama ketika kukecup bagian celah selangkangan yang berbulu itu. Saras menaikan pinggulnya naik dan turun ketika bibirku menyentuh celah itu. Gerakan pinggulnya yang cepat seakan sengaja bergesekan ke bibir dan hidungku. Aroma anyir nan membius tercium di hidungku dan rasa cairan lengket nan asin terasa di ujung lidahku. "Auh,, Auhh,, auhh." Ia melengkuh-lengkuh ketika ku benamkan lidahku yang meliuk-liuk menikmati setiap tekstur lembut dinding celah pembawa nikmat itu. Cairan tak henti-hentinya keluar dari celah itu. Membuatnya semakin basah dan berlendir. "Masukan! Ahhh,, kamu jahat!" Ujarnya seraya menekan dan menjambak rambutku. Hal itu membuatku sulit bernapas kerena hidungku terbenam di dalam celah itu. Sehingga nafasku yang keras membuat celah itu berkedut. Kedutan itu semakin terasa cepat ketika aku menyapukan lidahku memberikan reaksi di dekat lubang itu. Ia melengkuh panjang tak terkendali. Tubuhnya mengejang seirama dengan teriakannya yang tertahan. Cairan semakin membasahi celah nikmat itu ketika kucabut bibirku menjauh darinya. Tak lupa aku mengecup sekali bagian berongga nan legit itu. Saras tetap terbaring terlentang menikmati sisa-sisa kejangan ototnya. Ia mencoba mengatur nafasnya agar darahnya berjalan normal kembali di nadinya. Sekarang, giliranku. Kuusap kedua pahanya yang mulus itu. Ketika kuusap, matanya yang sayu melihatku. Pandanganya seakan memohon agar kenikmatan itu terulang kembali. Belaianku berpindah melalui perut ke buah dadanya yang kenyal. Puting berwarna coklat kemerahan berdiri keras seperti menantangku. Tanpa perintah, kuremas daging kembar itu, lalu kupilin putingnya. Kadang berrputar-putar, kadang kucubit agar memberikan sensasi geraman nakal dari bibirnya. Gerakan tubuhnya semakin menjadi-jadi ketika kutarik puting susu itu ke atas. Rasa sakit dan nikmat, membuat tubuhnya membusung ke arahku. Mulut meracau tak karuan ketika kuperlakukan seperti itu. "Auhhh, sakiiiitttt, jangan seperti itu! Hiiiiiihhhhhhh." Desahannya tak sesuai dengan tubuhnya. Pinggulnya bergerak naik turun karena batangku yang mengeras menyentuh bibir celah kenikmatannya. Pinggulnya bergerak mengontrol bibir kemaluannya untuk mencoba mencari bagian ujung dari batangku. Aku memang belum ingin mengakhiri malam yang indah ini dengan semburan nikmat dari ujung laras panjangku. Kuperlakukan puting susu Saras dengan kasarnya. Kupelintir kedua puting susunya dengan jemariku, agar kesakitan bercampur nikmat kembali melandanya. Ia meracau dengan garang, sampai-sampai aku tak bisa membedakan mana yang sakit dan mana yang nikmat. "Kau! Bajingan kau!" "Auhhh!" "Sakit!" "Ihhhh Gila kau!" "Ahhhh! Babi!" Aku menikmati setiap umpatannya kepadaku. Dengan perkataan itu, aku semakin bersemangat. Segera kulayangkan kedua tanganku menampar kedua gunung kenyal. "Plakkk!" "Argggg!" Kedua benda kenyal itu bergerak tak beraturan. Karena kasihan, aku meremasnya lembut bagai pijatan. Saras menjadi tenang ketika pijatanku terasa nikmat didesahannya. "Mmmmnnn" Lalu, "Plak!" aku menamparnya lagi. "Aukhhh" Ia menjerit tertahan. "Sialan kauhh!!" Aku seperti tak bersalah ketika kuturunkan tubuh menimpa tubuhnya. Sejenak, kunikmati bibirnya yang lembut dengan nafas panas membara menyentuh kulit wajahku. Secara tak langsung, batangku yang keras memasuki liangnya. Aku merasakan itu karena terasa kedutan hebat bagai pijatan di dalam rongganya. Sejenak kunikmati sensasi menggetarkan itu. Perlahan, kutarik batangku, sehingga hampir saja terlepas dari rongganya. Lalu, tanpa aba-aba. Kutusukan kedalam layaknya sebuah belati yang dimasukan sarungnya. "Aukhhh." Ia berteriak tertahan lagi. Kuulangi perlakuan itu beberapa kali, sampai desahannya tak terdengar. Hanya lengkuhan kecil yang menggemaskan. Perlahan tapi pasti, kupompa keluar masuk batangku kedalam rongganya yang telah menghasilkan pelicin. Perlakuanku semakin cepat sehingga menghasilkan suara seperti orang bertepuk tangan. Sebenarnya, jika kudekatkan telingaku ke sumber suara, suaranya seperti sebuah cipakan air yang disibakkan dari permukaan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD