Chapter I. 03 : Saras

2587 Words
Kuubah posisi menindihnya agar aku bisa memandang ekspresi wajahnya yang diterangi sinar lentera kecil yang temaram. Perlakuanku tak berkurang sama sekali, malah semakin cepat. Peluh menetes di sekujur tubuh seiringi dengan bertambahnya kecepatan sodokanku. Aku menatap wajah Saras. Ia memandang ke arah persatuan tubuh kami di bagian bawah, namun sesekali Ia menatapku dan senyum nakal terpancar dari bibirnya, seakan Ia ingin berterima kasih telah diberi rasa seperti ini. Perlakuanku semakin cepat saja ketika kedua buah dadanya terlempar kesana kemari tak beraturan. Senyumnya semakin lebar diringi matanya yang menengadah. Kulihst bola matanya memutih seperti orang yang kesurupan. Celah sempit nan licin itu seakan semakin menyempit. Celah itu seperti sedang menyedot ujung batangku yang masih ke gerakan perlahan tapi pasti. Batangku semakin berkedut ingin memuntahkan sesuatu. Dengan segera, kutarik batangku dan mengarahkannya ke mulutnya yang setengah terbuka. Aku melompat mengangkang di dadanya. Sekarang, gunung kembar kenyalnya berada di bawahku. Lalu kuraih kepalanya dengan kedua tanganku, kucoba membimbing mulutnya agar batangku yang keras memasuki rongga mulutnya. Ia sempat menolak, namun perlakuan kasarku membuatnya tak punya pilihan lain. Kusodok batangku hingga sampai ke ujung rongga mulut. Giginya membuat batangku semakin terasa geli ketika cairan itu menyemprot memasuki kerongkongannya. Hampir tujuh kali aku menyemprotkan cairan kental ke dalam kerongkongannya. Ia tak punya pilihan lain, selainnya menelannya matang-matang. Aku tumbang  ke samping, kurasakan tubuhku mengejang nikmat. Saras bangkit dengan raut muka sedikit protes. Tangannya mengarah kearah batangku yang masih setengah tegang dan menyentilnya dengan jarinya. "Nakal!" ujarnya manja seraya mengarahkan bibirnya ke bibirku. Malam ini, kami masuk ke dalam kereta dengan perasaan saling terpuaskan satu sama lain. Seperti biasanya, aku tertidur mendekap tubuhnya dari belakang sambil memainkan puting susunya. Kuperhatikan, Ia sepertinya terangsang kembali, namun tenaga dan rasa kantuk menderaku. "Jangan cubit itu, aku jadi mau lagi!" Rayunya. Akhirnya, aku membuka celanaku dan tidur terlentang. Aku tertidur, namun Saras tetap bermain-main di atasku. Dengan setengah kesadaranku, aku melihat pinggul Saras bergoyang liar dengan kejantananku menancap di liangnya. Sesekali aku meresponnya dengan meremas dadanya, Ia melengkuh dan tumbang di dadaku. Sejenak Ia beristirahat dengan kejantananku didalam liangnya. Tak lama, Ia bergoyang liar lagi. Entah berapa kali atau berapa lama perlakukan itu. Aku bagai diperkosa olehnya dini hari itu. Sampai akhirnya, aku hanya tertidur pulas merasakan hentakan yang mendera selangkanganku. Entah berapa lama dan berapa kali Ia mencapai puncaknya, aku tak tahu. Mata dan tubuhku terlalu berat untuk menghitungnya. Pagi menjelang, sinar matahari temaram menggugah mataku untuk segera bangun dan meneruskan perjalanan. Udara begitu panas di siang itu, menandakan  keterlambatan diriku untuk memulai hariku. Kicauan burung Murai terdengar sayup serta ringkikan kuda bagaikan membangunkanku. Jika tak ada aral melintang, kita akan tiba disaat sore tiba. Aku masih terbaring di kereta kuda bersama Saras dan Putrinya yang telah duduk termenung. Kudengar Saras masih mendengkur halus karena pertempuran semalam. Niar, putrinya duduk di samping ibunya, sambil sesekali menggoyangkan tubuh ibunya. Rambutnya berantakan dan pipinya merah, tatapan sendu kearahku. Dari bola mata yang bergerak sesekali melirik wajahku dan sesekali melirik bagian bawah tubuhku. Kenapa Ia melirik seperti itu? ujarku dalam hati. Perlahan, aku melirik kebagian bawah tubuhku. Astaga! ternyata adikku tak tertutup apapun. Posisinya lemas tertidur bagai akar umbi yang mencuat ke permukaan. "Saras tak membetulkan celanaku tadi malam!" ujarku dalam hati. Aku sempat teringat ketika dini hari tadi. Ketika itu, aku tertidur dan Ia tetap terjaga untuk memuaskan dirinya di pangkuanku. Dengan sigap dan rasa malu mendera, aku mencari dimana celanaku. Ahh, disini kau rupanya. Segera kupakai celana kain itu dan melangkah keluar dari kereta. Sejenak, kutatapan awan yang bergerak perlahan di angkasa. Matahari sudah meninggi dan kudaku sudah tak sabar untuk berlari. Kurenggangkan otot-ototku dan kutarik nafas dalam-dalam untuk menikmati udara segar pagi ini. Tiba-tiba, Niar turun dengan lompatan kecilnya keluar dari kereta. Ia memandangku sinis seakan ingin mengumpat kepadaku. "Ada apa Niar?" tanyaku padanya. Kulihat, kakinya gemetar dan kepalanya menoleh kesana kemari. Sepertinya Ia ingin buang air. "Kau ingin buang air?" Ia tak menjawab, namun hanya mengangguk saja. "Disana!" ujarku sambil menunjuk semak belukar yang menutupi aliran sungai. "Ada sungai di balik semak itu!" Namun, Niar hanya diam saja tak tahu harus berbuat apa. Akupun hanya memandang wajahnya yang semakin gelisah. "Ayok, nanti keburu keluar lho?" Ia semakin gelisah. "Perlu kuantar?" tanyaku. Ia mengangguk cepat tak bersuara. Karena melihatnya semakin gelisah, aku segera menggendongnya. Badannya agak berat karena Ia sudah mulai beranjak remaja. Kulingkarkan tanganku di pantatnya dan Ia melingkarkan tangannya di leherku. Lalu, kedua kaki kecilnya mengapit perutku. Aku berjalan sambil menggendong gadis kecil itu melewati semak dan bebatuan untuk menuju sungai. Wajahnya yang manis terbenam di bahuku ketika aku berjalan menggendongnya Aku mempercepat langkahku ketika perutku terasa hangat. "Eh, jangan ngompol!" seruku. Ia menjawab dengan lengkuhan saja. Kedua kaki kecilnya menegang mengapit perutku lebih erat. "Tunggu, tahan sebentar!" Sampailah kami di bibir sungai yang dangkal itu. Dengan cepat Ia turun dari gendongan dan langsung berjongkok. Ternyata benar, suara desiran air begitu kencang terdengar dari bawah tubuhnya. Seakan Ia menahan air itu selama berhari-hari. Akupun melakukan hal yang sama, segera kubuka celanaku dan mengalirkan air dari sebuah keran di tubuhku. Aku tak merasa malu atau canggung karena Niar masih gadis berusia 8 tahun. Tapi, Niar malah memandangku, mulutnya sedikit terbuka karena tercengang melihat kejantanaanku yang terpampang di sampingnya. Matanya membelalak tajam menatapku. Aku menjadi semakin salah tingkah dan cepat-cepat memasukan batangku ke celanaku. Dengan perasaan pura-pura tak tahu, aku memanggilnya. "Sudah?" Ia hanya terdiam saja sambil menatap bagian batangku yang menembul di balik celana. Ada apa dengan anak ini? ujarku dalam hati. "Hey, sudah belum?" ujarku sambil menunduk menatap matanya. Ia hanya terdiam saja tak mengatakan apapun. "Kalo sudah, cebok dulu!" ujarku. Tapi, lagi-lagi Ia hanya diam seperti tak mendengar diriku. =============================== Bagian ini dihilangkan atas permintaan pembaca dan atas izin penulis karena menampilkan kekerasan seksual terhadap anak. Ayo Selamatkan anak untuk masa depan yang lebih baik. =======≠============ This section has been removed at the request of the reader and with the author's permission for presenting sexual violence against children. Let's Save children for better future. =============================== Kudaku berlari ringan menyusuri jalur hutan. Hari sudah mulai senja ketika Saras terbangun dari tidurnya. Kurasa tidurnya lama sekali. Aku duduk di depan dan mereka duduk dibalik tirai penutup di keretaku. Jarak desaku tak jauh lagi. Hanya seperempat hari saja kami akan sampai dirumah. Beberapa kali aku berpapasan dengan kereta kuda penduduk desa. Tak lupa aku memberi salam dan menyuruh Saras sembunyi. Hamparan tanaman kopi menghampar di perbukitan tempat aku tinggal. Kereta kuda di sudah memasuki desa Banduwangi dengan wangi khas kebun kopi yang menenangkan. Aku meminta Saras dan Niar untuk tetap bersembunyi karena kami harus melewati beberapa rumah warga. Sesekali aku menegur mereka dan mereka membalas sapaanku. Udara dingin begitu menyengatku sehingga aku harus memakai pakaian agar diriku tak kedinginan. Setelah aku melewati rumah penduduk terakhir, aku membuka tirai penutup dan memanggil Saras karena situasi sudah aman. Rumahku berada di ujung desa. Tak ada orang yang datang kemari kecuali aku. Hamparan luas kebun yang tak terawat dan sudah ditumbuhi ilalang memisahkanku dari kebun warga lain. Kebunku hanya sepetak, namun menghasilkan kopi terbaik daripada kebun yang luas namun kopinya berharga murah. Saras mengeluarkan kepalanya dari tirai. Matanya merah karena rasa kantuk yang masih mendera dirinya. Ia terkagum dengan hamparan hijau nan rindang disekitaran kebun. "Dimana Niar?" "Oh, Ia tertidur dari tadi. Mungkin kecapekan!" Katanya seraya keluar dari kereta dan duduk disebelahku. Matanya yang sayu tetap menyapukan pandangannya ke hamparan hijau. "Kau juga kecapekan kan?" godaku. Ia tak menjawab, namun lirikan disertai gigitan bibirnya telah menjawab semuanya. Aku mendekatkan wajahku kewajahnya dan melumat bibirnya yang dingin. Ia segera membalas perlakuanku dengan mengeluarkan lidahnya menyapu lidahku. Namun, kita sudah dekat. Kudaku berbelok memasuki halaman rumah dan kami sejenak menunda perlakuan itu. Saat tiba dirumah, kesibukanku dimulai dari sini. Kulakukan semuanya dari mulai melucuti ikatan kudaku yang lelah dan mengusung barang-barang ke dalam rumah. Aku sengaja membiarkan Saras dan Putrinya istirahat karena mereka terlihat kelelahan karena perjalanan. Mereka berdua hanya terduduk di lantai berlambarkan tikar dari anyaman bambu. Rumahku sangat sederhana. rumah panggung dengan dinding kayu yang dihaluskan. Lantainya juga terbuat dari kayu dan hanya ada dua ruangan yang terbagi oleh sekat anyaman bambu. ruangan pertama adalah ruang tamu yang isinya hanyalah selembar tikar. Ruangan kedua adalah kamar. Dahulu kakek dan nenekku tidur di sana. Dibagian belakang terdapat tangga berundak kecil menuju ke sebuah bangunan dapur, sumur dan kakus yang berdiri agak jauh. Dihalaman belakang, terdapat juga kandang kuda dan gudang penyimpanan kopi-kopiku. Saras dan putrinya duduk dalam kegelapan, tapi tak lama kemudian aku datang dengan membawa sentir kecil untuk menerangi mereka. "Ya, beginilah rumahku. Sederhana bukan? tapi cukup untuk aku yang tinggal sendiri." Ujarku. Saras hanya tersenyum saja seraya membelai rambut putrinya. "Kalian lapar, ayo kita bakar ubi." Aku bangkit dan melangkah menuju ke bagian dapur. Sejenak aku memandang ladang tempatku menanam kopi. Suasananya gelap gulita karena cahaya rembulan tertutup awan tebal. Setelah kunyalakan apinya, kami bertiga sejenak menikmati makanan seadanya untuk mengisi kekosongan perut kami. Kulihat Niar, putri Saras tak merajuk lagi. Ia begitu tenang dan menerima asupan makanan yang memasuki mulutnya. Mungkin Ia sadar bahwa Ia dan Ibunya tak memiliki apapun disini. "Luas sekali kebunmu?" tanya Saras. "Sebenarnya, lebih luas lagi. Aku menutup kebun karena tak sanggup bekerja sendirian." jawabku. Saras hanya diam saja seraya menyapukan pandanganya ke arah kebun. Rambutnya tergerai tertiup angin sepoi yang menyejukan dirinya. Kulihat  matanya masih memerah karena kebanyakan tidur. Namun perhatianku sering tertuju kepada bongkahan dada yang menjadi mainan baruku selama tiga hari terakhir ini. Kulihat, keduanya semakin membesar dari pertama kali melihatnya menggantung tak beraturan saat Ia berlari kearahku. Aku tersedak dan terbatuk ketika mengenang saat itu. Seakan ingatan itu adalah sebuah kutukan untukku karena berpikiran kotor. Saras dan Niar melihatku dengan tatapan terkejut. Segera kuambil kendi dan menuangkannya ke mulutku. Seketika kerongkongan dan tenggorokanku lancar kembali. "Sudah selesei makannya?" tanyaku dan mereka berdua mengangguk. "Tidurlah dikamar, besok pagi kita harus memanen dan mengolah kopi-kopi itu!" "Tidak!" sergah Saras. "Aku tidur diruang tamu saja. Kamu yang tidur dikamar." Kelihatannya Saras masih sungkan denganku, "Tak apa, aku biasa tidur di lantai. Lebih sejuk." "Tapi, aku..." "Ah, sudahlah, anggap saja rumah sendiri." Mendengar perkataanku, Saras dan putrinya bangkit dan memasuki rumah. Ia membantu putrinya menaiki tangga dan putrinya berlari kecil memasuki kamar untuknya. Sejenak Saras berhenti di bawah tangga dan menghampiriku yang sibuk mematikan api. Langkahnya setengah berlari ke arahku dan sesaat Ia menoleh ke belakang untuk melihat keberadaan putrinya. Lalu, tatapannya mengarah ke mataku. "Terima kasih telah menerima kami tinggal di rumahmu." Ujarnya lirih. Tiba-tiba Ia melingkarkan satu tangannya ke leherku dan menarik wajahku ke arah bibirnya. Segera, kulumat bibir nan halus dan gincu itu. Kulemparkan apa saja yang ada di tanganku dan meraih bongkahan pantatnya yang lembut. Namun, Ia menolakku. Ia melepaskan kecupan bibirku yang sudah diliputi birahi tinggi. Tapi ujung jarinya menyentuh bibirku. Lalu, Ia berbisik, "Kutidurkan Niar dulu." Nafsuku meredam ketika Ia mengatakan itu. Ia berbalik dan memasuki rumah. Aku mulai lagi dengan aktifitasku. Malam yang dingin menghinggapi diriku yang terbaring sendirian di ruang depan. Kubiarkan Saras dan putrinya tidur di kamar karena di kamar terdapat ranjang yang siap menghangatkan tubuh mereka. Beberapa kali kudengar, Saras merintih karena puting susunya digigit oleh putrinya yang belum bisa meninggalkan induk semangnya. Aku yang penasaran,  bangkit dan keluar ke halaman untuk menghisap tembakau yang kubeli di kota. Sejenak asap yang nikmat itu menenangkan otakku. Semuanya ingatanku berputar mengingat kembali setiap pergumulan dengan Saras yang menyuruhku bersabar. Sesaat lagi, Ia akan keluar dari kamarnya dan mengejang-kejang di pelukanku. Pucuk dicinta ulampun tiba, Saras keluar dari kamar dan menghampiriku yang duduk di teras rumah. Tanpa kata, wajahnya yang tersipu malu duduk disampingku. Aku tak ingin cepat-cepat karena hal itu suatu saat akan membuatku bosan. Aku ingin mencari setiap detil cerita hidupnya yang dipenuhi nafsu-nafsu birahi. "Niar sudah tidur!" ujarku seraya menghembuskan asap tembakau ke udara. "Ya." Jawabnya singkat. "Boleh aku bertanya?" Ia mengangguk pelan. "Mnnn, apakah Niar selalu memainkan puting susumu ketika akan tidur?" Ia menoleh dengan tatapan malu kepadaku. Seharusnya aku tak bertanya seterbuka itu. Namun ini rumahku, ini kerajaanku, Jadi aku bebas bertanya kepadanya. "Ya, selalu." "Kenapa kau tak menyapihnya." "Sebenarnya, aku suka jika ada seseorang memainkan putingku." Jawaban macam apa itu. Ia sepertinya ketagihan apabila ada yang memainkan puting susunya. "Hmn, kenapa seperti itu?" tanyaku agar Ia bercerita lebih mendetail. "Itu karena sejak dulu, rasanya nikmat jika ada seseorang memainkan puting susuku." Aku mematikan tembakauku dan menggeser posisi dudukku mendekatinya. "Kalau di pegang seperti ini!" ujarku seraya meraih buah dadanya yang mengkal. "Kau suka?" Ia mendengus pelan dan mengubah posisi tubuhnya. Sekarang Ia duduk tegak dengan dada yang membusung seakan membiarkanku bermain dengan bongkahan dadanya. "Pijat seperti itu, ahh." Ia mulai meracau. Aku tetap memijatnya perlahan dan sesekali mencubit bagian putingnya yang mengeras. Aku meloloskan kainnya dan akupun tenggelam di dalam kedua bukit nan kenyal itu. Tak segitu saja, kuangkat tubuh Saras agar duduk di pangkuanku, "Semoga saja, bangku panjang dari kayu ini buatan kakekku ini dapat menahan berat badan kami berdua." Liurku bagai cairan pelumas yang membasahi setiap jengkal bagian dada dan leher Saras yang mengkal dan jenjang. Kain jarik tak utuh lagi menutupi tubuhnya yang berkeringat karena luapan nafsunya tak terbantahkan. Semakin lama, Ia semakin meracau tak karuan. Desahannya mendesah seperti orang kepedasan, dan desisannya bagai ular yang siap menerkam mangsa. Punggulnya bergerak-gerak, sehingga menggesek bagian kejantananku yang masih terbungkus celana. Ia semakin meracau ketika gigiku sedikit menyentuh bagian pusat bukit kembar nan kenyal itu. Sehingga menimbulkan rasa nyeri sekaligus geli yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Iringan suara serangga malam nyaris tak terdengarkan karena desahan Saras. Sampai akhirnya, aku menuntunnya untuk masuk ke dalam rumah. "Ahhhh,,, Di dalam saja, disini dingin." Dengan tatapan sayu dan pipi yang memerah, Ia mengangguk dan mencoba mengatur nafasnya yang sengal. Kami berdua masuk ke dalam rumah. Udara dingin tak begitu menusuk lagi ketika kututup pintu tua rumahku, setelah sebelumnya aku mengintip dari balik tirai kain milik nenekku. Saras masuk berdiri dengan posisi malu. Tangannya menahan kain jariknya agar dapat menutupi kedua bukit kembar yang tak pernah tertutup secara sempurna itu. Posisi tubuhnya memang pemalu, namun sorot matanya yang sayu, tak bisa menyembunyikan hasrat nafsu. Aku membelai rambutnya yang kusut karena pemanasan kami di teras rumah. Kususuri setiap helai rambut panjangnya hingga menyentuh daun telinganya. Kubelai bagian belakang telinga nan lentik itu, sehingga Ia mendesah karena kegelian. Jemariku menyusuri lehernya yang jenjang, lalu turun ke area yang kenyal itu. Pertama kali Saras sedikit menolak, namun akhirnya Ia meloloskan kain jariknya hingga terjatuh di lantai kayu. Sesaat, aku memainkan kedua putingnya dengan jemariku sehingga sorot matanya berubah lebih sayu. Mulutnya ternganga ketika kupelintir kedua bagian sensitif itu dengan jemariku. Lalu, kulumat bibirnya dengan bibirku. Tanganku tetap memainkan kedua putingnya dengan gemas. Ciuman kami semakin ganas ketika tangannya mencoba meloloskan celana yang masih menempel menutup kejantananku yang mengeras. Terlihatlah batang kejantananku yang tegak berdiri mengacung kearahnya. Sepertinya, Ia sudah tak sabar ingin menerima keangkuhan dari kejantananku. Dengan sigap, aku menubruknya, hingga Ia terjatuh di lantai kayu. Tidak ada rasa sakit, karena nafsu yang begitu besar mengabur rasa lainnya. Tak ubahnya orang yang sedang kesetanan. Kuangkat kedua kakinya hingga telapak kakinya bersandar di pundakku. Matanya melotot melihat perlakuanku itu. Ia seperti tak percaya bahwa anak desa seperti aku mahir dalam melakukan hubungan ini.  Segera kubimbing kejantananku memasuki lubang kenikmatannya. Dengan sekali tusuk, loloslah batang kejantananku memasuki area sensitifnya. Sungguh, rasa yang tak pernah aku bayangkan walau dalam mimpi sekalipun. Rasanya licin dan berdenyut-denyut, bagai menarikku ke lubang yang lebih dalam. Kutarik perlahan, lalu kusentakkan dengan kuat. "Auhhh!" Ia meracau, entah racauan sakit atau nikmat. Aku tak tahu. Kutarik lagi, lalu kutusuk lagi dengan kuat. Sehingga menimbulkan suara tamparan karena pinggangku beradu dengan pinggangnya dan Ia meracau lagi. Lalu, kugenjot lubang kenikmatannya dengan cepat. Nafas kami berhembus tak teratur. Tanganku memeluk kedua kakinya yang terangkat sejajar dengan tubuhku yang dalam posisi duduk. Kepalanya menggeliat kekiri dan kekanan merasakan kenikmatan tak tergambarkan. Dadanya yang kenyal bergoyang seiring dengan gerakan pinggulku yang memompa goa sumber kenikmatannya. Semakin cepat dan cepat. Sehingga Ia tak peduli lagi dengan racauan yang tak berarti. "Aaahhh! Aaahhh! Aaauuuhhh!" Ia meracau seiriama dengan gerakan pinggulku yang menusuk-nusuk bagian sensitifnya. Tiba-tiba,
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD