13

1827 Words
Anin meremas kertas yang tadi siang diberikan Ksatrio seusai mengantarnya pulang. Sebetulnya Anin masih kesal dengan Ksatrio, namun rasa ingin tahunya lebih besar sehingga Anin pun setuju untuk diantar pulang. Kertas yang kini sudah lusuh itu teronggok begitu saja di lantai dekat meja belajar. Isi kertas itu hanyalah sebuah prin out dari salah satu website. Namun apa yang tertulis di dalamnya benar-benar menampar harga diri Anin. Anin merasa dihina. Tapi, jauh daripada itu, Anin justru merasa apa yang ditulis di dalam sana memanglah dirinya. ------- Apakah kamu termasuk cewek yang harus selalu jadi pusat perhatian dan sering manja ke semua orang? Atau kamu punya pacar dan teman cewek yang berperilaku seperti itu? Hati-hati, bisa jadi kamu dan mereka si tuan putri yang terjangkit ‘Princess Syndrome‘. Sindrom bak putri raja ini bisa dikategorikan penyakit mental yang mempengaruhi banyak wanita. Biasanya wanita yang memiliki sindrom ini perempuan manja, keras kepala, dan suka mencari perhatian. Ujung-ujungnya mereka bisa membuat drama yang justru membuat mereka senang karena diperhatikan banyak orang. Istilah gaulnya sih, Drama Queen. Tanda-tanda dari Princess Syndrome: 1. Sering Meminta hal-hal yang tidak wajar 2. Selalu ingin jadi pusat perhatian 3. Kalau permintaan tidak dituruti, dia bisa ngambek 4. Tidak bisa melakukan semua aktivitas sendiri 5. Merasa dirinya paling berkuasa karena dia (merasa) punya segalanya 6. Merasa bebas melakukan apa saja yang dia mau 7. Tidak segan-segan melakukan kekerasan ------------ Anin berdecih. Jadi ini yang Ksatrio bilang dengan 'mengerti' Anin? Bermodalkan sebuah website? Namun Anin tidak bisa menampik, jika beberapa ciri di atas memang ada pada dirinya.  *** Di jam pelajaran pertama, Karisa dipanggil oleh Bu Aida, yang merupakan guru Fisika. Atas saran dan rekomendasi dari Zeta, Karisa pun akan diikut sertakan dalam seleksi OSN siang ini bersama Ksatria dan beberapa murid lain. Karena ini tentang Karisa Verona. Sejak permainan bentengan tempo hari, Karisa mulai menjadi sorotan. Sosoknya tidak lagi hanya menjadi murid tak terlihat. Dan kini banyak yang mulai ingin berteman dengannya, bahkan terang-terangan menunjukkan ketertarikannya. Seolah Karisa adalah sosok tuan putri yang baru di sekolah. Atau memang sejak awal Karisa adalah tuan putri yang sesungguhnya. Hanya saja ia sengaja untuk muncul di pertengahan cerita. Lalu bagaimana dengan tuan putri sebelumnya? Anin mencoba terlihat biasa saja ketika mendengar hampir satu kelas sedang membicarakan Karisa. Rasanya seperti, Karisa berhasil mencuri mahkotanya. Sakit namun tidak berdarah. Namun Anin mencoba mengingat artikel yang diberikan Ksatrio kemarin. Hal itu membuat Anin sebisa mungkin menahan diri untuk tidak bertindak seperti gadis yang betul-betul memiliki obsesi tuan putri tersebut. "Inhale, exhale..." Anin mencoba meredam emosi dan keinginannya bertindak gegabah dengan meenarik napas dan membuangnya perlahan. Anin ingin menunjukkan pada Ksatrio kalau dia memanglah tuan putri sejati dan bukannya seorang gadis yang sakit mental dengan obsesi tuan putri. *** Beberapa hari kemudian, hasil seleksi OSN pun keluar. Dan SMA Angkasa resmi mengirimkan tiga perwakilan muridnya untuk mengikuti olimpiade tersebut. Ksatria dan Karisa adalah nama yang ikut lolos dalam seleksi. Karisa mewakili olimpiade matematika sedangkan Ksatria untuk fisika. Ketiganya pun diharuskan melewati rangkaian seleksi lagi. Kali ini untuk tingkat provinsi. Mereka akan dikarantina selama satu minggu untuk mendapat pelatihan mendalam sebelum seleksi tingkat provinsi. Jika mereka lolos, mereka akan terbang ke Palembang untuk mewakili provinsi DKI Jakarta di tingkat nasional. Karantina satu minggu. Karisa tiba-tiba saja merasa gugup. Bagaimana ia menghadapi orang-orang tidak dikenal selama karantina? Terlebih, tidak ada Ksatrio di sana yang akan membantunya bersosialisasi seperti yang selalu cowok itu lakukan akhir-akhir ini. Hanya ada dia, dua perwakilan lain dari sekolahnya dan mentor yang akan membimbing. Di sebrang Karisa duduk, ada Ksatria yang diam-diam memperhatikan ekspresi gadis itu. Mereka saat ini sedang berada di ruang kepala sekolah untuk membicarakan soal persiapan untuk karantina dan berbagai hal lainnya. Ksatria memang sudah memperhatikan Karisa sejak awal. Tepatnya sejak gadis itu memergokinya merokok di halaman belakang sekolah. Ksatria sudah takut akan berita yang tersebar, namun anehnya sampai detik ini pun Ksatria belum mendengar apapun tentangnya. Gadis itu betul-betul tutup mulut. Namun tanpa sadar, karena rasa khawatir Ksatria akan kemungkinan gadis itu ember, ia jadi memperhatikan Karisa. Gadis itu adalah gadis introvert. Namun akhir-akhir ini ia mulai membuka diri sejak ada Ksatrio di sisinya. Mungkin mereka sedang dekat. "Satria, jadi bagaimana? Apa selama masa karantina ada urusan OSIS yang perlu kamu kerjakan?" tanya Kepala Sekolah membuyarkan pikiran Ksatria yang tertuju pada Karisa sejak tadi. Ksatria untungnya bisa mengontrol diri untuk tidak gelagapan meskipun ia daritadi sama sekali tidak menyimak. "Kebetulan di tanggal-tanggal tersebut tidak ada event besar, Pak, mungkin saya akan periksa lagi dan mengadakan rapat internal untuk alih sementara tugas." Ksatria menjawab dengan diplomatis. Berwibawa seperti biasanya yang ia tunjukan sebagai murid teladan. Kepala Sekolah tersenyum. Tatapannya terarah kepada Bu Ida dan Pak Fachrul, selaku pembina. "Kalau begitu, biar saya serahkan sisanya pada Bu Ida dan Pak Fachrul. Semoga setidaknya sekolah kita bisa maju ke tingkat nasional." Bu Ida dan Pak Fachrul mengangguk sopan. Lalu mereka dipersilahkan membubarkan diri. Namun Ksatria menjadi yang terakhir keluar dari ruangan, karena kepala sekolah sengaja ingin berbicara berdua dengannya. "Bapak menaruh harapan besar pada kamu, Satria. Setidaknya, kamu harus lolos tingkat provinsi dan bersaing di tingkat nasional. Meskipun di tingkat nasional nanti gagal, tidak masalah." Kepala Sekolah menepuk bahu Ksatria. Niatnya memberi semangat alih-alih Ksatria malah terasa dibebani. "Baik, Pak." Lagi-lagi Ksatria tidak bisa menolak. *** Ksatrio sampai di rumah pukul tujuh setrlah mengikuti kegiatan ekskul musik. Di SMA Angkasa, ekskul musik termasuk salah satu ekskul seni paling banyak diminati karena keanekaragamannya. Tidak hanya ada band dan paduan suara, namun ada perkusi, drama musikal sampai musikalisasi puisi yang berkolaborasi dengan ekskul teater dan sastra. Mendekati akhir tahun ajaran, biasanya mereka mengadakan semacam pentas seni di gymnasium sekolah. Dam acara pentas seni itu kini bukan hanya terkenal di sekolah mereka namun mulai diminati sekolah lain. Hingga sejak dua tahun lalu, pentas seni SMA Angkasa mulai memperbesar acara mereka dengan bekerja sama dengan sponsor dan membuka bazaar. Tiket pre-sales yanh dijual untuk umum selalu habis dalam sehari. Acara yang semula diadakan hanya untuk bentuk apresiasi terhadap seni, kini bisa sekaligus membangun citra baik sekolah dan memperluas jaringan. Dan di ekskul musiklah, Ksatrio merasa ia memiliki kelebihan yang bisa ia banggakan. Mungkin dia tidak pintar di pelajaran, namun jangan remehkan bakatnya bermain musik. Semua mengakui itu. "Bangyo kok tumben pulang malem?" tanya Mama begitu Ksatrio duduk di sebelahnya usai berganti baju. "Udah makan?" Ksatrio menyelonjorkan kaki ke atas coffee table di depannya. Sengaja untuk menggoda Putri yang sedang mengerjakan PR. "Kan ini hari Jum'at Ma, Iyo ekskul musik. Udah kok Ma, tadi sebelum ganti baju." "Bangyoooo!" Putri menjerit ketika jempol kaki Ksatrio meliuk-liuk di atas buku tugasnya. "Jangan diganggu dong itu adiknya lagi belajar!" omel Mama sambil menepuk paha Ksatrio, memperingati. Sedangkan Ksatrio hanya terbahak, girang melihat adiknya kesal. Ksatria bergabung dengan mereka beberapa menit kemudian. "Ma, Iya lulus seleksi. Dua minggu lagi harus ikut karantina." "Alhamdulillah." Mama mengucap syukur. Dikecupnya pipi anak tertuanya itu dengan penuh rasa bangga. "Mama yakin kamu pasti lolos." Ksatrio mencibir di samping. Kayaknya hampir tidak pernah Mama berucap demikian padanya. Yaiyalah. Orang Ksatrio juga nggak pernah ikut seleksi olimpiade, mana mungkin Mama bicara begitu. Sejujurnya, Ksatrio sangat bersyukur memiliki orang tua seperti kedua orang tuanya saat ini. Meskipun terkadang sikap mereka seolah pilih kasih terhadap ia dan kembarannya, namun kedua orang tuanya sangatlah mendukung Ksatrio. Ketika pertama kali mengetahui kalau tingkat kecerdasan Ksatrio agak rendah, orang tuanya tidak lantas menyerah dan pasrah. Mereka memutuskan untuk mencari bakat dan potensi yang kemungkinan dimiliki Ksatrio selain kecerdasan otak. Dan akhirnya mereka menyadari kalau Ksatrio berbakat di musik. Psikolog anak yang saat itu menangani Ksatrio juga memberi saran bahwa dengan musik, mungkin saja Ksatrio bisa meningkatkan konsentrasi belajarnya. Karena menurut teori multiple intelligent, kecerdasan musikal Ksatrio memang paling mendominasi. Sejak saat itu, kedua orang tua Ksatrio selalu memberikan support baginya untuk bermusik. Tidak pernah marah apalagi kecewa jika Ksatrio hanya mendapat nilai enam di mata pelajaran MTK. Dan memuji jika mendapat nilai sembilan di pelajaran seni musik. Termasuk untuk tingkah laku. Ksatrio cenderung lebih hiperaktif sejak bayi dibanding kembarannya. Ksatrio juga lebih suka kebebasan dan tidak terlalu suka terikat dengan aturan yang membuat dirinya tidak bisa bergerak bebas. Maka kedua orang tuanya sudah prepare mental jika nantinya, Ksatrio akan lebih sering berurusan dengan guru karena masalah sikap. Terkadang, Ksatrio jadi kasihan pada kembarannya. Karena dirinya yang penuh kekurangan, mau tidak mau Ksatria harus menjadi yang sempurna di antara mereka. Dan Ksatrio merasa, kalau hal itu amatlah mustahil. Karena kembarannya itu pun hanyalah manusia biasa yang mampu membuat kesalahan. "Yo, temenin gue," ucap Ksatria sambil bangkit dari duduknya. Tatapan semua orang di ruang keluarga pun mengarah padanya. Dahi Ksatrio mengernyit. "Hah, kemana?" tanyanya dengan ekspresi bingung. "Beli roti bakar." Ksatria lalu memberikan kode dengan tatapannya yang berarti 'Udah ga usah bawel, cepet iyain!'. Mau tidak mau Ksatrio pun mengehela napas dan mengikuti permintaan kembarannya tersebut.  "Uti titip yang rasa blueberry keju ya, Bangya!" seru Putri ketika kedua abangnya hendak beranjak. "Katanya takut gendut, tapi makan mulu!" Ledek Ksatrio yang langsung ngacir keluar sebelum Putri menimpuknya dengan buku tugas. *** Mereka sampai di tukang roti bakar yang mangkal di depan komplek, persis di pinggir jalan yang berjajar bersama tukang-tukang makanan lain. Setelah memesan dua porsi roti bakar rasa coklat keju dan blueberry keju pesanan Putri, mereka duduk di kursi plastik yang tersedia. Kebetulan penjaja roti bakar itu harus membuat dua pesanan orang lain sebelum membuat pesanan si kembar. "To the point coba maksud lo ngajak gue ke sini," ucap Ksatrio tanpa basa-basi. "Gue mau nitip Anin selama gue karantina." Sama seperti kembarannya, Ksatria pun tidak mau berbasa-basi. "Muke gile!" ucap Ksatrio dengan logat Betawi mirip seperti milik Jay. Lama bersahabat dengan Jay membuat logat cablak Jay menular padanya. "Yakali, Ya. Emang cewek lo barang dititip-titip?" "Bukan gitu. Maksud gue kalau supir atau ayahnya lagi nggak bisa jemput atau nganter, gue minta tolong lo." Ksatrio bukannya nggak seneng. Ya dia sih seneng-seneng aja bisa memiliki waktu lebih banyak bersama Anin. Tapi itu bahaya. Bahaya buat perasaannya. Ksatrio tidak mau lebih baper lagi daripada saat ini. "Gue..." "Gue cuma percaya sama lo, Yo. Terlebih Anin juga udah deket sama lo, kalau gue minta tolong Desta nggak mungkin Anin mau." Desta adalah nama sahabat Ksatria. Rasanya Ksatrio seperti ditampar bolak-balik. Ksatria menitipkan Anin karena percaya padanya? Lucu. Bahkan Ksatrio tidak percaya dengan dirinya sendiri jika terus-terusan bersama Anin. Yang ada perasaan suka itu tumbuh semakin besar dan berubah menjadi rasa ingin memiliki. "Gini deh, gue akan bilang sama Anin kalau lo nggak bisa selalu standby buat dia. Mungkin kalau urgent banget lo baru bisa jemput atau anter. Gimana?" Ksatria menatap Ksatrio dengan tatapan memelas. "Cuma buat back up aja," lanjutnya. Back up? Kok sakit, ya? Keputusan pun dibuat. Dan entah kenapa Ksatrio tetap menyetujuinya. Ksatrio jadi teringat artikel yang ia berikan pada Anin waktu itu. Tentang sindrom yang Ksatrio duga dimiliki Anin. Sejak saat itu Anin selalu menghindari Ksatrio, meskipun mereka berada di satu kelas yang sama. Ksatrio maklum, karena tidak mudah bagi Anin mengakui atau bahkan menerimanya. Meskipun itu hanya dugaan Ksatrio sementara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD