Hari itu Ksatrio menjadi yang pertama sampai di rumah Karisa. Sesuai janji yang sudah dibuat, kerja kelompok dilaksanakan pukul sembilan di kediaman Karisa. Nyatanya hingga kini jam menunjukkan pukul sembilan lewat sepuluh, baru Ksatrio yang kelihatan batang hidungnya.
Ksatrio berdecak kagum memandangi bangunan mewah yang berdiri tegak di depannya saat ini. Bangunan tersebut merupakan rumah Karisa. Hal ini seolah memperjelas status sosial gadis itu yang sejak dulu hanya bisa dibicarakan dari mulut ke mulut tanpa bukti konkrit selain fakta jika Karisa selalu diantar jemput supir dengan alphard.
Ksatrio melirik jam tangannya. Serius deh, jam teman-teman kelompoknya yang lain pasti jam karet. Melarnya tidak tanggung-tanggung. Bahkan setelah Ksatrio berdiri hampir lima belas menit di sana menunggu, teman-temannya yang lain tak kunjung muncul.
Ksatrio langsung mengirimkan pesan di grup chat kelompok yang dia buat untuk mempermudah komunikasi mereka.
Ksatrio Adiswara: woy jam karet! Ini jam berapa belom ada yang nongol.
(an)Jay: kesiangan yooo, tadi rumah gue rame sama supir angkot bawahannya babeh yang pada mau demo
Ah ya, sebelum lupa. Jay ini anaknya juragan angkot yang cukup terkenal di Jakarta. Kadang kalau Ksatrio lagi naik angkot dan kebetulan yang bawa adalah anak buah babenya Jay, Ksatrio suka dibebaskan dari biaya.
Ksatrio Adiswara: cepetan gue udah nyampe dari tadi nih
Bukannya balasan dari Jay, justru Karisa lah yang merespon chat Ksatrio.
Karisa Verona: Lo udah sampe? Di mana?
Ksatrio menepuk jidat. Lupa kalau saat ini dia sedang chat di grup yang kemungkinan dibaca juga yang lain.
Ksatrio Adiswara: Di depan. Gue nunggu yang lain
Tidak ada tanggapan lagi. Pesan itu dibaca oleh tiga orang, yang mana berarti semua anggota grup tersebut.
Tidak lama, gerbang rumah Karisa terbuka dan gadis itu muncul dari baliknya. Karisa tampak santai hari itu dengan kaos rumahan dan celana jeans selutut. Ini pertama kalinya Ksatrio melihat Karisa berpakaian bebas.
"Kenapa nggak masuk?" tanya Karisa sambil membuka gerbang lebih lebar agar Ksatrio bisa memasukkan motornya ke halaman rumah.
Ksatrio terkekeh canggung. "Tadinya nungguin yang lain, nggak enak soalnya," jawab Ksatrio sambil menyalakan mesin motornya dan memasukkannya ke dalam rumah Karisa.
Karisa lalu berbincang sebentar dengan satpam rumahnya, memberi intruksi kalau nanti akan ada teman-temannya yang lain yang akan datang. "Masuk."
Ksatrio menatap Karisa bingung. Sebetulnya Ksatrio mengerti apa maksud Karisa tadi. Yang membuat bingung ialah, bagaimana Karisa mengucapkan hal tersebut tanpa basa-basi. Datar sedatar-datarnya. Gemas juga Ksatrio lama-lama. Akhirnya Ksatrio pun mengekori Karisa ke dalam rumahnya itu.
Ketika melewati pintu utama, Ksatrio langsung disuguhkan ruang tamu luas yang tampak benderang karena dikelilingi jendela kaca yang tingginya mencapai langit-langit. Namun Karisa tidak mengajak Ksatrio duduk di sana melainkan ke halaman belakang. Ada sebuah gazebo yang menghadap ke kolam renang. Gazebo itu tampak nyaman karena dilapisi semacam jok atau bantalan. Di sana juga tersebar beberapa bantal kecil menambah kenyamanan.
"Kita kerja kelompok di sini, nggak apa-apa?" tanya Karisa begitu Ksatrio sudah berada tepat di depan gazebo.
Ksatrio mengangguk setuju. Lagipula udara di situ tidak panas karena di dekatnya ada pohon. Fix sih, yang ada Ksatrio bakalan betah dan memilih bersantai daripada mengerjakan tugas.
Tanpa menunggu lama, Ksatrio langsung melepaskan sepatunya dan memanjat naik ke atas gazebo. Betul kan, bawaannya malah ingin berleha-leha di sana.
Karisa pun meninggalkan Ksatrio sejenak. Mungkin untuk mengambilkan minum dan peralatan yang dibutuhkan untuk kerja kelompok hari itu.
Seorang wanita, yang Ksatrio tebak sebagai asisten rumah tangga di rumag Karisa datang membawa nampan berisi beberapa toples cemilan dan sepiring bolu gulung keju yang sudah dipotong. Lalu disusul seorang wanita yang tampak lebih muda dari wanita pertama datang membawa nampan berisi seteko minuman berwarna kuning dan gelas-gelas kosong. Tidak heran kalau di rumah itu mempekerjakan banyak orang, dilihat dari seberapa besarnya rumah tersebut.
Karisa lalu muncul membawa tumpukan buku sertas tas laptop, diiringi Anin dan juga Jay yang sepertinya baru datang.
Wajah Anin dan Jay nampak masam. Kalau menurut tebakan Ksatrio, mereka pasti habis beradu mulut sebelum masuk tadi.
"Kar, halaman lo luas banget buset!" ucap Jay sambil melepaskan alas kakinya dan duduk di atas gazebo. Matanya sibuk mengelilingi halaman Karisa yang memang cukup luas tersebut.
Anin berdecih sambil mengekori gerak Jay untuk melepaskan sepatunya dan naik ke gazebo. "Norak," cibirnya ketus.
Jay tidak menanggapi, bahkan dia pura-pura tidak mendengar. Bodo amat. Sudah malas dia berdebat dengan si tuan putri satu itu.
Ksatrio hanya menggeleng-geleng. Udah nggak heran kalau kerja kelompok hari ini akan berisi perang dingin Jay dan Anin. Maka itu Ksatrio heran, kenapa pula Anin mau satu kelompok dengan mereka padahal jelas-jelas ada Jay di situ.
"Udah deh mending langsung mulai aja." Ksatrio menengahi. Lalu ia menatap Karisa. "Tugasnya disuruh ngapain, sih?" tanyanya polos.
Sebuah lemparan bantal langsung mengenai kepalanya, spesial dilempar langsung oleh Jay. "Oncom. Kirain gue lo tau tugasnya, sok-sok ngajakin mulai."
Ksatrio terkekeh. "Biar cepet, elah." Tatapannya lalu kembali pada Karisa. "Tugasnya apa dan gimana?"
Sebelum Karisa dapat menjawab, suara Anin mengintrupsi."Karisa boleh minta air putih nggak ya? Tenggorokan gue lagi sakit nih jadi nggak boleh minum sirup."
Jay langsung memandang Anin sinis. Nghak tau diri banget ini orang. Baru juga dateng, udah nyusahin tuan rumah.
Karisa mengangguk. "Boleh." Lalu gadis itu berjalan ke dalam rumah untuk mengambilkan apa yang Anin pinta.
Ingin rasanya Jay mengeluarkan apa yang ia rasakan atas sikap Anin, hanya saja Jay tidak mau ribut untuk kesekian kalinya dengan gadis itu.
Anin lalu melemparkan buku catatannya yang ia keluarkan dari dalam tas. "Tuh, tugas apa aja yang harus kita kerjain," katanya sambil memainkan ponsel.
Ksatrio dan Jay saling lirik. Lalu Ksatrio yang berinisiatif untuk mengambil catatan tersebut. Karisa pun kembali bergabung bersama mereka setelah memberikan segelas air putih pada Anin.
Awalnya Ksatrio sempat mengira Anin melakukan itu hanya untuk merepotkan Karisa, namun ternyata Anin memang sedang sakit tenggorokan karena suaranya agak serak. Gadis itu bahkan mengernyit ketika menelan air minumnya. Duh, kok Ksatrio malah memperhatikan Anin sih?
"Bagi-bagi aja," kata Jay sambil membaca catatan Anin. "Ada yang analisis, cari bahan, bikin makalah sama bikin ppt."
"Gue udah cari bahannya." Karisa menunjuk tumpukan buku yang tadi dibawanya. "Tinggal disusun aja. Udah gue tandain yang mana aja."
Anin lalu menarik buku tersebut. "Gue aja yang ngetik dan bikin makalahnya."
Ksatrio lalu menatap Jay. "Tuh, lo mau analisis apa bikin ppt?"
Jay langsung memasang cengiran. "Ppt aja lah yang gampang."
Ksatrio berdecak. Jadi nyesel udah membiarkan Jay yang memilih. Mau nggak mau dialah yang melakukan analisis. Hasil analisis itu nantinya akan digabungkan dengan materi yang didapat dari buku.
Lalu keempat remaja itu pun memulai pekerjaan mereka masing-masing. Karena Karisa yang tidak ada kerjaan, ia pun memutuskan untuk membantu Ksatrio melakukan analisis.
Diam-diam, Anin mencuri pandang ke arah Karisa dan Ksatrio. Apa yang membuat kedua orang itu menjadi dekat? Yang Anin tau, mereka tampak dekat sejak kejadian di gymnasium. Apa mereka sedang pdkt?
"Nin, kalau udah selesai diketik tolong copy ke flashdisk gue. Susun makalahnya belakangan aja." Ucapan Jay berhasil mendistraksi pikiran Anin tentang dua manusia di depannya saat ini.
Anin mendelik. "Iya elah, tau," jawabnya ketus.
Jay berusaha untuk nggak mengumpat karena jadi korban keketusan Anin. Padahal jelas-jelas dia ngomong baik-baik, tapi masih saja dinyolotin.
***
Tepat tengah hari, tugas mereka selesai. Untungnya karena hari itu Ksatrio dan Jay lagi tidak dalam mode mager sehingga kerja mereka bisa selesai dengan cepat.
"Kita mau langsung pulang atau gimana?" tanya Jay sambil menutup laptop milik Karisa. Tentunya pertanyaan tersebut ditujukan untuk Ksatrio. Anin sih bodo amat!
"Balik aja lah, lagian mau kemana lagi?"
"Makan siang!" Tiba-tiba saja Karisa setengah berseru membuat tatapan ketiga orang di sana menatapnya bingung.
"Hah?"
Ksatrio yang mengerti kesulitan Karisa berbasa-basi pun mengerti maksudnya. "Karisa ngajakin kita makan siang di sini," kata Ksatrio mencoba mengartikan maksud Karisa.
Anin menatap Karisa aneh. Memang betul ternyata kalau Karisa itu agak aneh orangnya. Meskipun tidak seaneh yang ia selalu kira. Tetap saja gadis itu memiliki keanehan tersendiri.
Jay pun berpikiran sama dengan Anin. Namun yang lebih menarik perhatian Jay adalah kemampuan Ksatrio untuk mengartikan maksud Karisa. Apa mereka memang sedekat itu?
Keempat remaja itu lalu berjalan menuju ruang makan. Di sana asisten rumah tangga Karisa sedang sibuk menyiapkan makanan. Sambil menunggu makan siang siap, mereka dipersilahkan melihat-lihat sekitar.
Jay memilih duduk di sofa sambil menonton tv. Anin sedang berkutat dengan ponselnya tidak jauh dari Ksatrio dan Karisa berdiri.
Ksatrio sedang memandangi pigura yang terpajang di dinding dan sebuah meja di bawahnya. Di sana banyak foto Karisa sejak kecil hingga dewasa dengan wajah datar khasnya. Dari foto keluarga yang bisa Ksatrio lihat, Karisa hanya memiliki keluarga kecil. Hanya ada dia, ibunya dan ayahnya. Hampir di setiap foto hanya berisikan mereka bertiga. Hanya ada satu buah foto yang menunjukkan keluarga besar Karisa. Foto itu sepertinya diambil saat lebaran karena pakaian yang dikenakan orang-orang di dalam foto tersebut.
"Gue selalu homeschooling dari SD. Gue nggak punya temen seumuran karena jarang keluar rumah bahkan untuk sekedar main di taman komplek." Karisa lalu menunjuk salah satu foto dirinya mengenakan toga. "Ini pas lulus SMP. Papi sengaja beliin gue toga, biar gue punya foto kelulusan."
Ksatrio menatap foto tersebut. Meskipun wajah yang Karisa tampilkan datar di sana, mata gadis itu terlihat berbinar bangga.
Sekolah di rumah, jarang keluar dan tidak punya teman seumuran. Tidak heran kalau Karisa terbentuk menjadi pribadi introvert. Dia sudah terbiasa dengan kesendirian. Tidak tau caranya bersosialisasi dengan benar. Ksatrio jadi merasa menyesal kenapa ia baru dekat dengan Karisa akhir-akhir ini. Kenapa sejak dulu Ksatrio justru ikut-ikutan menganggap Karisa sebagai unseen girl di sekolah?
"Sori," ucap Ksatrio tanpa sadar.
Karisa menoleh, menatap Ksatrio bingung. "Untuk?"
"Sori karena baru jadi temen lo saat ini." Ksatrio lalu tersenyum. "Mulai sekarang, gue bakalan jadi temen lo, sahabat kalau perlu."
"Kalau pacar?" tanya Karisa polos.
Ksatrio langsung panik sendiri. Takut-takut pertanyaan itu didengar Jay atau Anin. Ksatrio menggaruk kepalanya, "Duh kalau itu..."
Karisa tiba-tiba saja tertawa. Hal yang tidak Ksatrio sangka akan dilakukan Karisa di depannya. "Bercanda," ujar gadis itu. Lalu Karisa pun mengulas senyum manis. "Terima kasih ya, Rio."
Duh, kok Ksatrio merasa Karisa itu manis ya?
***
Ayah: Kak, maaf ayah nggak bisa jemput. Ayah harus pergi ke acara temen ayah. Pak Suryo lagi nganterin bunda sama Devan ke dokter gigi
Aninda Baniansyah: yaah terus aku gimana? naik taksi boleh?
Ayah: nggak.
Ayah: nggak ada naik taksi, ojek, angkot apalagi bis.
Ayah: tunggu bunda aja, biar nanti dijemput
Aninda Baniansyah: nggak ah Yah, Devan kan kalau kontrol pasti lamaaa
Aninda Baniansyah: kalau minta jemput Satria boleh kan Yah?
Ayah: tapi harus langsung pulang!
Anin tersenyum kegirangan. Ayahnya sudah mempercayai Ksatria jauh daripada di awal hubungannya dulu.
Baru saja Anin ingin mengetikkan pesan untuk Ksatria, suara tawa berhasil menghentikan gerakannya.
Karisa dan Ksatrio tengah tertawa di sana, entah apa yang mereka tertawakan. Entah kenapa Anin merasakan gejolak aneh. Ksatrio tidak pernah dekat dengan cewek sebelumnya selain Zeta yang notabennya adalah pacar dari Jay. Begitu pun dengan Anin. Mereka sering bersama karena Anin yang dititipkan Ksatria. Selain itu, Ksatrio jarang terlihat akrab dengan cewek di sekolah.
Melihat kebersamaan Ksatrio dan Karisa, entah kenapa Anin merasakan perasaan tidak nyaman. Bukan cemburu, Anin kan tidak suka pada Ksatrio. Hanya saja, Anin tidak suka melihatnya. Terganggu.
Anin menggeleng pelan. Mencoba mengenyahkan rasa itu dan berusaha tidak peduli. Mungkin setelah nanti Anin memastikan apa yang Ksatrio maksud waktu itu dengan 'mengerti' tentangnya, Anin akan kembali seperti biasa.
Anin lalu melirik figura yang terpajang di dekatnya. Jika dilihat-lihat dari foto yang ada, ayah Karisa adalah orang terpandang. Mungkin pejabat pemerintahan, tetapi Anin tidak bisa memastikan. Tetapi ada satu foto yang menarik perhatian Anin. Foto Karisa bersama ayah dan dua orang perempuan dan satu laki-laki yang tampak seumuran. Anin mengenal laki-laki itu karena orangtuanya merupakan rekan bisnis ayah Anin. Anin kenal karena mereka pernah menghabiskan waktu bersama di Bali ketika peresmian hotel hasil kerja sama mereka.
Edwin Radhi Hardiantoro.
Anin menajamkan fokusnya. Betul itu memang Edwin. Dan laki-laki berjas yang ada di foto itu juga om Hardi. Tapi Karisa? Seingat Anin, Edwin hanya punya satu kakak perempuan yang sudah menikah. Dan juga, kalau pun Edwin dan Karisa adik kakak, umur mereka sama! Kembar? Nggak mungkin. Anin tidak pernah mendengar hal itu sebelumnya. Lagipula wajah mereka terlalu tidak mirip. Edwin tampak memiliki wajah yang agak ketimuran. Sedangkan Karisa berwajah asia menjurus ke Chinese.
Anin pun diam-diam memotret foto itu untuk ia tanyakan pada Edwin nanti.
"Lo lagi ngapain?" Anin nyaris saja menjatuhkan ponselnya karena kehadiran Ksatrio yang tiba-tiba.
Anin mendelik. "Bisa nggak sih jangan ngagetin?" tanyanya ketus.
Ksatrio mengernyit. "Gue cuma mau ngajak makan, soalnya udah siap."
Anin mengangguk. Anin nyaris lupa kalau dia sedang marah dengan Ksatrio karena semalam cowok itu menyumpahinya gendut dan memarahinya karena mengajak Ksatria pergi.
Ksatrio sendiri sepertinya nggak ingat kalau Anin lagi marah sama dia. Habis mau marah atau enggak, Anin memang sering galak dan marah-marah padanya. Nyaris tidak ada beda.
"Nin," panggil Ksatrio ketika mereka berjalan menuju meja makan.
Anin tidak menanggapi namun ia mendengarkan. Ksatrio pun melanjutkan. "Pulang dari sini, kalau lo nggak dijemput lo bareng gue. Ada yang mau gue kasih."
Anin menghentikan langkahnya dan menatap Ksatrio. "Hah?"
Ksatrio memilih untuk tidak mengulangi ucapannya dan meninggalkan Anin ke meja makan lebih dulu, menyusul Jay dan Karisa yang sudah berada di sana.