Tidak seperti biasanya, Ksatrio berhasil datang ke sekolah cukup pagi. Bahkan gerbang baru dibuka sebelah, yang menandakan kalau memang ini masih terlalu pagi untuk datang ke sekolah. Tapi biar bagaimana pun, Ksatrio tetap tidak menjadi penghuni pertama di sekolah karena masih banyak manusia yang jauh lebih rajin daripadanya.
Contohnya Karisa. Ngapain coba gadis itu sudah nangkring di kelas baca buku jam segini? Bahkan babe satpam sekolah saja masih ngopi-ngopi cantik di posnya. Maksud Ksatrio sih nggak masalah untuk datang pagi. Tapi baca buku?
Ksatrio melirik cover buku yang Karisa baca ketika berjalan ke mejanya yang persis berada di belakang gadis itu. Ksatrio sengaja memperlambat langkah untuk membaca jelas judulnya. The Particular Sadness of Lemon Cake. Ksatrio mengernyit. Itu buku apaan? Buku resep kue lemon?
"Ini novel fiksi psikologi."
"Anjrit!" Ksatrio tersentak ketika tiba-tiba Karisa menurunkan buku yang sejak tadi menutupi wajahnya membuat Ksatrio bisa melihat jelas wajah gadis itu. "Ngagetin aja sih, lo?" kata Ksatrio sambil mengusap d**a.
Wajahnya terlihat datar seperti biasa. Dan tanpa minta maaf atau merespon ucapan Ksatrio, Karisa menaikkan kembali buku itu untuk menutupi wajahnya.
Ksatrio turut prihatin. Wajar saja Karisa dicap sebagai murid aneh, kelakuannya saja memang tidak seperti murid kebanyakan. Kalau bukan karena Ksatrio nekat mengajak Karisa main bentengan kemarin, mungkin sampai detik ini dirinya masih menganggap Karisa aneh. Untungnya setelah kejadian kemarin Ksatrio sadar, kalau Karisa hanyalah murid pendiam yang lebih suka menghabiskan waktunya bersama buku. Sama seperti murid lain yang memiliki teman, Karisa memilih berteman dengan bukunya.
"Ksatrio," panggil Karisa membuat Ksatrio yang baru saja bersiap untuk tidur terkaget. Ini pertama kalinya Karisa memanggil Ksatrio duluan.
"Eh, iya kenapa?" Ksatrio menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Tidak tau harus bersikap bagaimana karena entah kenapa rasanya canggung untuk bicara berdua dengan Karisa.
Tiba-tiba Karisa meletakkan amplop di atas meja Ksatrio. Yang lantas membuat Ksatrio mengernyit. "Apaan nih?" tanyanya bingung.
Karisa masih dengan wajah datarnya hanya mengatakan, "Buat lo." Setelah itu Karisa berbalik lagi menghadap ke depan, seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Persis seperti saat Karisa memberikan Ksatrio sandwichnya beberapa hari yang lalu.
Ksatrio menatap amplop putih itu dengan dahi berkerut. Amplop apaan sih ini? Nggak ada logo karena memang amplop tersebut adalah amplop biasa bukan amplop dari sekolah yang biasa Ksatrio terima setiap kali mendapat surat peringatan. Ksatrio pun membuka amplop tersebut dan di dalamnya ada kertas hvs yang dilipat rapi.
Tanpa berpikir aneh-aneh karena memang sudah aneh, Ksatrio membuka kertas itu dan seketika mata Ksatrio melotot kaget. Di dalam surat itu ada tulisan rapi yang diketik. Isinya tidak sampai satu paragraf. Bahkan sebaris pun tidak penuh.
Isinya seperti ini:
Gue suka sama lo. Mau jadi pacar gue?
Karisa Verona
Ksatrio menatap punggung Karisa horor.
Niat Ksatrio buat menanyakan apa maksud surat ini harus tertunda ketika teman-teman sekelasnya mulai berdatangan. Buru-buru Ksatrio lipat lagi kertas itu sebelum jatuh ke tangan oknum tidak bertanggung jawab. Apalagi sampai jatuh ke tangan si Jay, biarpun sahabat, mulut Jay itu kayak ember bocor.
"Kar, nanti pulang sekolah gue mau ngomong sama lo," kata Ksatrio sambil menjejalkan surat tersebut ke dalam ranselnya. Karisa hanya mengangguk tanpa menatap wajah Ksatrio.
***
Pulang sekolah, Ksatrio sengaja memperlambat gerakannya beres-beres untuk memperlama waktu di kelas. Sengaja juga supaya Jay nggak curiga.
"Pokoknya aku nggak mau tau ya bee, pulang sekolah nanti kamu temenin aku nyalon! Aku kan udah lama nggak creambath rambutku udah kusam nggak lembut!" cerocosan Zeta anak kelas sebelah mengiringi gerakan Ksatrio membereskan barang-barang ke dalam tas. Nggak beneran beres-beres juga sih, Ksatrio cuma masukin secara asal-asalan buku tulis bekas pelajaran terakhir ke dalam tas ranselnya.
Jay baru saja membuka mulut untuk meladeni cerocosan Zeta tetapi tentu saja gagal. Nggak akan ada yang bisa menyela seorang Zeta ketika sedang nyerocos, bahkan badai sekali pun. Apalagi cuma Jay yang seorang b***k cintanya Zeta.
Ksatrio terkekeh, menertawakan nasib naas Jay yang punya pacar cantik tapi sayangnya lebih pantes disebut majikan daripada pacar. Kerjaannya merintah-merintah Jay mulu dan sahabat kampretnya itu nggak pernah bisa nolak. Cinta memang membuat orang jenius sekali pun mendadak jadi bego. Tapi masalahnya Jay emang udah bego, ya makin bego lah dia gara-gara kemakan cinta. Miris.
"Jason, ih! Aku kan lagi ngomong, kok kamu nyuekin aku?"
"Enggak bee, aku nggak nyuekin kamu sayang..."
Perhatian Ksatrio kembali teralih kepada pasangan i***t di depannya saat ini. Di kelas tinggal Ksatrio, Karisa dan pasangan Zeta-Jay yang lagi membahas entahlah apa itu, Ksatrio nggak peduli. Pokoknya Ksatrio bisa liat Jay memandang Ksatrio dengan ekspresi melas butuh bantuan. Ksatrio sebenarnya mau membantu, tapi dia masih punya urusan sama Karisa, lagipula Ksatrio males berurusan sama Zeta dan cerocosannya.
"Jason!" jerit Zeta karena Jay masih tetap tidak bergeming di tempatnya, mengharapkan bantuan Ksatrio. Ksatrio langsung ngakak. Jay emang paling males kalau harus nganterin Zeta nyalon, lamanya bisa ngalahin bumi berevolusi.
Ahiya, nama asli Jay memang Jason. Jay itu panggilan sayang dari Ksatrio saja. Kependekan dari a***y. Nggak deng, bohong. Nama lengkap Jay itu Jason Aldi Jaelani. Bokapnya betawi asli juragan kontrakan sama angkot. Kalau nyokapnya bule Kanada, asli. Muka Jay itu untungnya ada percikan-percikan bulenya meski pun Cuma kayak kecipratan doang alias dikit, bikin mukanya bisa dibilang ganteng, tapi kelakuan sama caranya ngomong mah nggak bisa bohong kalau Jay emang anak Betawi asli. Makanya Ksatrio dan hanya Ksatria seorang yang memanggilnya Jay. Lebih pantes, katanya.
Ksatrio melirik Karisa yang terlihat duduk manis di tempatnya menunggu dan sama sekali tidak terlihat terganggu dengan betapa berisiknya Jay dan Zeta.
Untung banget Zeta akhirnya nyeret Jay pergi. Jadi Ksatrio nggak perlu dicurigain Jay karena ingi mengobrol berdua saja dengan Karisa. Percakapan Jay dan Zeta sudah tidak terdengar lagi begitu mereka keluar. Ampun deh, suara Zeta memang nyaring banget kayak knalpot bajaj yang warna oranye. Bikin polusi suara, Ksatrio bingung kenapa Jay tahan denger suara knalpot bajaj begitu tiap hari. Hih, Ksatrio mah ogah, mending jomblo aja daripada punya pacar yang berpotensi bikin budeg.
Oke, move to Karisa. Ksatrio pun menepuk pelan bahu gadis itu. Begitu menoleh, hanya satu yang ada di pikiran Ksatrio. Karisa butuh perawatan, mukanya kaku banget.
"Apa?" tanyanya, datar.
Ksatrio mengernyit. Kok Karisa malah nanya, sih? Bukannya tadi Karisa nembak Ksatrio? Emang Karisa nggak butuh jawaban? Apa Karisa sebetulnya hanya bercanda? "Surat lo..." Ksatrio menarik keluar amplop yang diberikan Karisa dari ranselnya. "Gue mau nanya soal ini," kata Ksatrio lagi.
Karisa akhirnya memutar tubuh sepenuhnya menghadap ke Ksatrio. Bersiap menyimak.
Ksatrio menelan ludah. "Maksud surat ini apa?" tanya Ksatrio.
"Gue suka sama lo."
Buset. Ini si Karisa jawabnya kayak jawab lo laper nggak? Laper. Enteng banget. Ksatrio jadi ragu Karisa beneran suka sama dia. Masalahnya nggak ada acara salting-salting unyu gitu. Lempeng banget. "Se-serius?" tanya Ksatrio meyakinkan. Ya masa cewek nembak cowok. Udah gitu kan Ksatrio sama Karisa sebelumnya nggak pernah ngobrol banget. Masa tiba-tiba aja dia bilang dia suka sama Ksatrio? Apa jangan-jangan Karisa baper gara-gara diajakin main bentengan kemarin?
"Serius. Lo mau jadi pacar gue?"
Duh, ini lebih ngaco lagi. Ksatrio jadi gelagapan, bingung jawabnya. "Buset Ris, lo nggak bisa nanya segampang itu," kata Ksatrio sambil menggaruk kepalanya.
"Jadi lo nggak mau?" tanya Karisa masih dengan wajah yang datar.
"Bu-bukan gitu!" jawab Ksatrio cepat, nggak mau kalau Karisa jadi salah paham.
Pipi Karisa seketika bersemu pink. Rona yang pertama Ksatrio lihat dan nggak pernah Ksatrio sangka bakal muncul di pipi seorang Karisa. "Jadi lo mau?" tanya Karisa lebih salah paham lagi.
"Eh...nggak gitu juga." Ksatrio menggaruk belakang kepalanya, lagi. "Soal ginian nggak bisa dibahas seenteng itu, Karisa," kata Ksatrio menjelaskan.
Karisa menatap Ksatrio, berkedip-kedip menunggu kelanjutan ucapan Ksatrio. Kalau dilihat begini Karisa kelihatan polosnya.
Ksatrio menarik nafas. "Makasih buat pernyataan suka lo. Tapi buat sekarang, jujur aja gue nggak punya perasaan sama lo. Kita bahkan nggak saling kenal," kata Ksatrio berusaha menjelaskan dengan cara yang tidak akan menyinggung perasaan Karisa.
"Gue kenal lo. Lo Ksatrio Adiswara."
Hah, tipikal jawaban Karisa banget. Kelewat serius.
"Kenal bukan sekedar nama. Kenal yang bener-bener deket. Lo tau tentang gue, gue tau tentang lo. That's it."
Karisa akhirnya mengangguk mengerti. "Oke," katanya. Ksatrio pikir itu adalah akhir dari percakapan ini. Tapi ternyata Karisa melanjutkan, "Jadi gimana caranya supaya kita bisa kenal bener-bener deket?"
Ksatrio terkejut, tidak menyangka dengan kata-kata Karisa. "Hah?" Wah...bener-bener unexpected banget si Karisa ini. "Kita temenan dulu," jawab Ksatrio, akhirnya. Nggak adil juga kalau dia sama sekali nggak memberikan kesempatan untuk Karisa. Apalagi Karisa adalah cewek pertama yang terang-terangan ngaku kalau dia naksir Ksatrio. Kebanyakan sok jual mahal dan malah main tarik-ulur ketika Ksatrio mau mendekat, alhasil Ksatrio jadi malas duluan buat ngejarnya.
Karisa menatap Ksatrio lalu mengangguk mengerti. "Temen," kata dia mengulang ucapan Ksatrio.
Ini pertama kalinya buat Ksatrio mendapatkan pernyataan cinta seperti ini. Jadi semoga jawaban Ksatrio nggak salah dan menyakiti siapa pun nantinya.
Akhirnya Karisa pun berbalik pergi meninggalkan Ksatrio sendirian di kelas. Tanpa basa-basi say goodbye.
Ksatrio berdecak sambil memperhatikan punggung gadis itu. "Karisa beneran butuh diajarin buat bertemen, kayaknya."
***
Ksatrio tidak berbohong ketika mengatakan akan berteman dengan Karisa. Sejak pernyataan cinta-yang tentunya dirahasiakan dari siapapun-tersebut, Ksatrio betul-betul mencoba untuk berteman dengan Karisa. Mulai dari mengajak gadis itu ke kantin, menyapa meskipun hanya sekedar senyuman bahkan sampai sekedar mengucapkan 'hati-hati' ketika akan pulang.
"Gue nggak ngerti deh, Yo." Jay memulai pembicaraan yang beberapa hari terakhir ini menghantui pikirannya. "Ada apa dengan lo sama Karisa? Dari pas main bentengan, lo keliatan makin deket sama dia?"
Ksatrio sendiri memilih menusuk siomaynya dengan garpu dan menyantapnya daripada meladeni Jay. Jay pun nggak habis akal, ia mulai merecoki Ksatrio sampai sahabatnya itu mau menjawab pertanyaannya. "Yooo!"
"Apa sih? Gue sama Karisa biasa aja. Temen."
"Sejak kapan? Setelah satu semester lewat dan lo tiba-tiba aja temenan sama dia, kan aneh!"
Ksatrio menepak kepala Jay. "Lo yang aneh! Orang temenan, kok malah dibilang aneh. Lagian kita kan sekelas, ya kali nggak saling sapa?" Ksatrio lalu menyantap habis siomaynya, membiarkan Jay sibuk berpikir. Meskipun jawaban Ksatrio logis, tapi tetap terdengar ada yang janggal. Masalahnya ini menyangkut Karisa. Karisa si cewek introvert yang nggak bakal ngomong kalau nggak ditanya.
"Lo nggak lagi PDKT, kan?" Pertanyaan Jay membuat Ksatrio nyaris tersedak kalau saja dia tidak buru-buru menenggak minumannya. Hal tersebut tentunya menambah kecurigaan Jay. "Tuh bener kan, lagi PDKT!"
"Bacot lo Jay!" Ksatrio pun memilih untuk meninggalkan sahabatnya itu kembali ke kelas. Terserah Jay mau mikir bagaimana, toh memang dirinya dan Karisa nggak lagi PDKT. Mereka cuma berteman untuk lebih saling mengenal... Eh, apa itu PDKT namanya? Ksatrio menggeleng. Bukan. Cuma teman, titik!