Tik-tok tik-tok
Dari tadi aku hanya memperhatikan jarum jam di ruangan ini. Bete banget, sumpah! Betapa tidak, Pak Hen dan emaknya lagi jalan keluar. Katanya sih belanja. Dan aku sama si Tomas disuruh jaga rumah. Oke, tadi jadi pacar dan sekarang jadi satpam, ajaib memang itu si emak.
"Kamu udah lama kerja dengan Hendri?" Tomas yang dari tadi hanya menatap layar ponselnya, sekarang mulai kembali ke alam nyata.
"Lumayan sih, sekitar enam bulan," jawabku. Sebenarnya aku juga ingin main ponsel, berselancar di dunia maya bisa menghilangkan rasa jenuh. Tapi sayang, baterainya habis. Alhasil, hanya bengong di depan televisi. Acaranya tidak ada yang menarik. Jadilah si jam dinding sasarannya. Berharap berjalan lebih cepat agar Pak Hen dan emaknya segera pulang.
"Berarti kamu sudah mengenal baik karakter Hendri ya?"
"Begitulah."
"Apa yang diucapkan uwa tadi benar?"
Keningku berkerut, "Ucapan emak yang mana?"
"Anu lho, yang katanya kamu dan Hen berpacaran?"
Aish, ini lagi. Jangan-jangan si Tomas beneran cemburu ya? Sampai berani memaksakan bertanya hanya untuk memastikan. Kasihan amat anak orang.
"Sebenarnya sih gak gitu juga." Duh kok jadi gak enak begini ya?
"Lah, terus? Kalian bohongin orang tua gitu? Pacar kontrak kayak di film-film?"
"Aduh gimana ya?" Kasih tahu aja kali ya, biar si Tomas gak salah sangka.
"Cerita aja gak apa-apa," Tomas makin maksa. Kalau dia cemburu terus makin gila gimana? Mana di ruangan ini gak ada orang lain lagi. Cemburunya kaum beginian konon lebih ngeri.
"Apa yang akan kamu ceritakan?" Tetiba suara ngebass milik bosku memecah kebuntuan otak ini.
"Ah, itu, anu ...." Ck, kenapa ini lidah jadi gelagapan begini ya?
"Apaan emang, Hen?" Ini lagi, emak datang-datang langsung nyambar dengan mode kepo tingkat provinsi.
"Ah, enggak apa-apa, Mak, eh, Nyonya, hehe, mon maaf salah sebut!" Aku nyengir lebar dibarengi hati yang ketar-ketir.
Si Emak mendelik sebal, "Jangan main rahasia-rahasia, apalagi sama pacar kamu! Gak jadi dikawinin nanti baru tahu rasa!"
Heleh, dibilang aku mau kawin sama anaknya? Hidih ogah, mendingan cari yang normal, Mak!
"Mak, capek gak? Tidur dulu ya? Biar nanti aku yang beresin belanjaannya."
Si Emak tersenyum manis sama anaknya, "Iya, Emak capek sekali, Hen. Mau istirahat dulu."
Huft, akhirnya itu orang tua mau masuk kandang juga. Dengan begini, aku bisa pulang secepatnya dan gak usah nginep segala. Ponsel mati, duit juga bawa sedikit. Ah, nelangsa pokoknya!
Aku bangkit dan berjalan mengendap-endap menuju kamar Pak Hen di mana kutinggalkan baju kotor dan tasku di sana. Oke, dengan langkah pelan sekali, aku keluar lagi dari kamar Pak Hen.
"Eh, sebentar!"
Buju busyet! Apalagi sih?! Si Emak keluar lagi dari kamar. Tentu saja ia memergokiku yang sudah siap kabur dari kandang beruang ini.
"Ada apa, Mak?" Pak Hen juga nampaknya sedikit heran. Entah heran padaku yang sudah menggendong tas ataukah pada Sang Emak yang tak jadi tidur.
"Anu, mau memastikan sesuatu. Kamarnya kamu ada berapa, Hen?" Emak bertanya pada Pak Hen.
"Ada tiga. Kenapa?"
Si Emak nampak menghitung dengan jarinya. Telunjuknya lalu mengarah padaku dan Tomas. "Kalian tidur di mana? Kamu juga itu kenapa sudah menggendong tas?"
"Ka-kalau saya pulang, apa boleh?" cicitku. Agak takut juga sih, mode si Emak kayak harimau siap nerkam tikus.
"Heh, kamu mau bikin anak saya malu? Lihat jam berapa itu?"
Aku tersenyum garing, "Jam sepuluh, Nyonya."
"Nah, itu tahu. Kalau kamu pulang jam segini dengan baju ganti punya anak saya. Apa kata orang nanti? Dikira kamu sudah dibikin hamil bagaimana? Kan anak saya yang malu!" Mata si Emak memicing curiga, "Atau jangan-jangan kamu sengaja ya biar anak saya banyak yang gak suka?"
"Eh, tidak kok, bukan begitu. Saya gak niat begitu." Pikiran Mak Ijem ini kok aneh sekali ya?
"Itu apa gendong tas segala rupa? Mau kabur kan?" tanyanya.
Aku mengerjap, sial, ketahuan deh! "Anu, Mak eh maksudnya Nyonya, Mau cari tempat tidur, hehe."
"Kamu mau tidur di mana?" tanya si Tomas ikut nimbrung.
"Di sofa ini juga gak apa, malah enak sambil nonton televisi." Aku berusaha membentuk senyuman. Hati mah sudah dongkol hingga ke ubun-ubun.
"Tidak-tidak, begini, kamar ada tiga. Yang satu sudah saya tempati. Satu lagi untuk anak saya. Dan yang satunya masa iya kamu sekamar dengan Tomas?"
"Ziya tidur sama aku, Mak!" sahut Pak Hen.
"Apa?!" Aku memekik kaget. Tak terima dong! Pacar bukan, suami apalagi. Udah main ngajak tidur bareng aja, sembarangan!
"Lah kok kaget begitu? Daripada kamu tidur dengan Tomas?" Nenek tua itu makin nyolot belain anaknya tuh.
"Gak apa, Uwa. Ziya biar tidur sama aku aja, ya kan, Zi?" Si Tomas cengengesan. Seneng dia tuh, pacarnya gak jadi tidur sama aku. Dasar pelangi!
"Tidak bisa! Ziya tidur dengan saya, ini perintah, Ziya!" Lakadalah, Pak Hen mengeluarkan jurus jitu dari mulutnya. Biasanya kalau sudah begini susah ditolak. Gak kasihan apa sama si Tomas yang cemburuan itu. Eh tapi, kali si bos juga cemburu kalau pacarnya tidur denganku. Sungguh kerumitan yang hakiki.
"Gini ya, kamu tidur sama anak saya, bukan berarti satu ranjang. Kamu bisa mencontoh apa yang terjadi di drama-drama kalau pasangan kekasih tidur bersama tanpa hubungan badan. Satu di kasur dan yang satu lagi di kursi kan?"
Aku dan Pak Hen melongo mendengar penjelasan si emak. Sepertinya si emak terdeteksi sebagai penggemar drama Korea atau drama China deh.
Prok - prok - prok!
"Uwa keren! Kok bisa sampai punya pemikiran begitu ya?" Tomas bertepuk tangan. Aku lihat sudut bibirnya berkedut menahan tawa. Oalah, tentu girang dia. Caranya si Emak bisa membuat si Tomas tenang.
"Tentu saja. Uwa sudah banyak pengalaman. Hal seperti ini sih kecil." Nyonya Mona tersenyum bangga.
Ekor mataku melirik Pak Hen. Dari wajahnya terlihat sekali kalau dia sangat-sangat keberatan dengan usul gila ini. Well, aku tahu kok. Dia kan sedikit agak nganu.
"Ya sudah, ayo masuk kamar, Zi!" Pak Hen memegang lenganku lalu membawaku masuk ke kamarnya.
"Jangan lupa berdoa dulu ya, Zi!" Si Tomas sempat terdengar berteriak sebelum aku dan Pak Hen masuk ke kamar.
Bruk. Ckrek.
Ha? Dia mengunci pintunya? Kaget dong aku! Apa yang mau Pak Hen lakukan padaku? Kenapa dikunci? Oke, Zi. Waspadalah! Kejahatan bukan karena ada niat, tapi karena ada kenafsuan yang merajalela. Bagaimana kalau tiba-tiba Pak Hen berubah dan menyergapku? Aku pernah mendengar tentang orientasi seksual yang dua arah. Terong suka, apem pun diembat juga. Hidih, mengerikan!
Demi kewaspadaan, aku harus segera mengambil tindakan. Mencari sesuatu yang mungkin bisa dijadikan senjata untuk melawan. Tapi apa ya? Masa penangkap nyamuk lagi sih? Ah, tidak bisa! Tadi juga tidak efektif. Tetiba otakku menemukan ide. Catok kuku! Ya, alat itu. Kurasa aku menyimpannya di dalam tas.
Sementara pikiranku berkecamuk, Pak Hen malah dengan santainya mengambil baju ganti dan mulai membuka kancing bajunya satu persatu.
Anjay! Bagaimana ini? Lihat jangan ya? Dilihat dosa gak dilihat kok sayang ya?
"Kamu kenapa bawa alat itu?" Suara Pak Hen tentu mengagetkanku.
"Eh, apa?"
"Itu!" Telunjuk Pak Hen mengarah pada tanganku yang memegang catok kuku dengan erat.
"Oh, ini. Hanya jaga-jaga."
"Untuk?"
Bilang jangan ya? Kalau tersinggung bagaimana?
"Anu, ini buat jaga-jaga kalau-kalau kuku saya tetiba jadi panjang. Mau dipotong. Takut mencakar orang." s**t! Alasan macam apa ini?
Pak Hen yang baru membuka kancing baju setengahnya tersenyum miring, "Bukan karena takut sama saya?"
Glek. Ludah kok mendadak jadi seret ditelan ya?
"Bukan. Kan saya tahu Anda tidak suka wanita kan?"
Pak Hen mendekat. Mengurungku di dinding dengan kedua tangannya.
"Bagaimana kalau sebaliknya?" bisiknya tepat di telingaku. Merinding disko, a***y!
"Ha?!"
Kurasa jantungku mau copot saat ini juga!