"Andini, lihatlah. Apakah kau yakin tidak akan membeli pakaian?" tanya Rini terpesona pada gaun pesta berwarna ungu muda kesukaan Andini. Andini pernah bilang pada Rini sangat menyukainya warna ungu.
Ditambah lagi pakaian yang ditunjuk Rini memang benar-benar bagus.
"Tidak usah. Kau saja yang belanja, Rini. Aku benar-benar tidak minat." Andini tidak mau dimarahi oleh Anggita atau Tante yang dia ikuti selama ini. Apapun barang kesukaan Andini pasti akan direbut oleh Anggun atau saudara sepupu Andini.
Kedua orangtua Andini meninggal sejak usia Andini delapan belas tahun. Kini di usianya yang ke dua puluh tahun memaksa gadis itu hidup sebatang kara. Awalnya tantenya datang menempati rumahnya dengan alasan kasihan jika Andini tinggal sendiri. Alhasil semakin lama sikapnya semakin keterlaluan hingga Andini lah yang seolah numpang di rumah sang tante padahal tidak.
Untuk mengusir mereka itu tidak bisa, Andini sudah diwanti-wanti mendiang kedua orangtuanya dulu jika terjadi apa-apa pada dirinya misal meninggal, Anggita dan Anggun harus tinggal satu rumah dengan Andini. Anggun adalah seorang janda sebab suaminya meninggal dalam kecelakaan pesawat terbang dulu. Saat usia Anggun masih sembilan tahun.
Itulah sebabnya kedua orangtua Andini merawat Anggun dan Anggita. Setelah kedua orangtuanya Andini meninggal dunia, Anggita dan Anggun pindah ke rumah Andini. Sementara rumah lama mereka yang kecil mereka jual sebab tidak memiliki uang. Kata mereka pada Andini hingga Andini pun percaya saja sebab mendiang kedua orangtuanya juga berpesan bahwa Andini harus berbagi rumah dengan mereka berdua.
Sayangnya mereka lupa diri hingga apapun barang bagus yang dimiliki Andini direbut oleh Anggun. Sementara Anggita selaku ibu Anggun selalu membela putrinya hingga mau tidak mau Andini mengalah.
"Sayang sekali. Padahal gaunnya bagus," gumam Rini membuat senyum pahit nampak di bibir Andini. Merasa entah sampai kapan nasibnya akan berubah? Jangankan disayang oleh mereka berdua Tante dan saudara sepupunya. Kekasihnya sendiri pun abai pada Andini.
"Tidak masalah. Bukankah orang cantik dandan seperti apapun akan tetap cantik," canda Andini pada Rini berusaha menghibur dirinya sendiri.
"Kau selalu ceria padahal aslinya rapuh, Andini. Semoga kau kuat menghadapi dunia yang kejam ini." Rini menepuk pelan bahu Andini.
"Kau ini ada-ada saja. Hidupku sangat bahagia, Rini. Justru kau yang harusnya semangat!" seru Andini dan Rini pun tertawa bersamaan dengan Andini Putri.
Mereka melanjutkan memilih barang yang akan dibeli dan setelah semuanya dirasa beres. Rini mengajak Andini Putri ke kasir. Saat di perjalanan, tanpa sengaja mata Rini menatap dua orang yang rupanya adalah Darwin dan Renata Azmi.
"Eh tunggu! Bukankah itu kekasihmu?" ucap Rini sembari menunjuk ke arah Darwin dan Renata Azmi yang tengah memilih pakaian juga beberapa perhiasan juga sepatu pesta.
Andini dengan jantung berdebar kencang menatap keduanya dan seketika badannya memanas, dadanya terasa sesak. Sebulir air mata jatuh membahasi pipinya cemburu pada Renata yang selalu diperhatikan oleh Darwin.
Padahal dirinya adalah kekasih Darwin saat ini. Kadang Andini merasa apakah hanya dirinya saja yang merasa sebagai kekasihnya Darwin sementara Darwin sendiri tidak menganggapnya sebagai seorang kekasih? Andini Putri benar-benar sakit hati.
"Ah," isak Andini Putri menangis mendapati kekasihnya lembut dengan wanita lain sementara dengannya sendiri tidak. "Hatiku sangat sakit, Rini. Seperti ada yang mencengkeram dari dalam. Tolong katakan padaku, apa yang harus aku lakukan. Hiks ... hatiku sakit, Rini." Andini Putri memeluk Rini sangat erat dan kuat karena saking emosinya. Terlebih tak bisa Andini luapkan sebab Darwin melarang memberitahukan hubungannya dengan Andini Putri pada orang lain.
"Kau tenangkan diri dulu, Andini. Kita duduk di cafe itu sebentar." Rini mengajak Andini duduk di cafe dan menyerahkan secarik tisu pada Andini guna mengelap air matanya.
"Apakah kau benar-benar kekasihnya Darwin? Maaf jika sebenarnya kurang percaya. Akan tetapi melihat sikapmu yang seperti ini. Kalian berdua sepertinya memang berhubungan." Rini bertanya sebab sangat penasaran.
Kadang penampilan Andini Putri yang jelek seperti ini kurang meyakinkan hati Rini. Andini sangat jauh seratus kali lipat jeleknya dibandingkan dengan Renata Azmi. Renata Azmi selain sekretaris pribadi Darwin juga seorang model dulunya. Jadi tak bisa diragukan lagi betapa cantiknya dia. Jauh di atas Andini Putri.
Andini Putri yang selama ini mengenakan kaca mata, rambut diikat seadanya, jarang dandan, semua pakaian bagusnya direbut Anggun, sangat mustahil bisa merebut hati Darwin menurut Rini. Jangankan Rini, orang lain pun jika melihat penampilan Andini jelek seperti ini, juga tidak akan ada yang percaya.
"Kau pasti tidak percaya, ya? Tidak kaget, Rini. Jangankan kamu, kadang aku sendiri pun juga tidak percaya menjalin hubungan dengan Darwin. Ditambah lagi sikap Darwin yang seperti ini. Akan semakin tidak meyakinkan. Akan tetapi aku akan menunjukkan salah satu foto kami berdua padamu." Andini Putri menunjukkan fotonya saat berciuman dengan Darwin pada Rini, foto itu diambil saat Darwin mabuk dan tanpa sengaja mencium Andini.
"Ini astaga! Kau benar-benar menjalin hubungan dengannya? Ini ... ini nyata bukan?" Rini masih gelagapan karena saking tidak percayanya pada Andini Putri.
"Itu nyata, Rini. Aku memang kekasihnya. Hanya saja entah kenapa Darwin Alamsyah memintaku menyembunyikannya dari semua orang. Saat aku bertanya apa alasannya, dia hanya bilang cukup turuti dan diam. Kini aku tahu kenapa dia melarangku melakukan hal itu. Mungkin dia malu memiliki kekasih jelek sepertiku. Kedua mungkin ingin menjalin hubungan dengan gadis yang lebih cantik dan jika ada yang cocok maka aku dibuang. Sementara ini hanya itu saja penjelasanku, Rini." Andini Putri emosi.
"Minum dulu." Rini mengisyaratkan pelayan cafe hingga tak lama kemudian salah satu pelayan cafe tersebut mengantarkan minuman untuk mereka berdua.
Andini meminum coklat panas tersebut sembari tangannya masih gemetar emosi mendapati kekasihnya belanja pakaian dengan wanita lain. Saking gugupnya, tanpa sengaja minuman itu jatuh dan mengenai bajunya. "Akh! Panas!" seru Andini membuat Rini bangkit dari tempat duduk merasa khawatir.
"Andini kau tidak apa-apa? Astaga! Bagaimana bisa seperti ini?" Rini mengambil beberapa tisu dan mengelap coklat panas di baju bagian bawah Andini. Sementara Andini masih meringis kesakitan sebab pahanya melepuh ketumpahan coklat panas.
"Maaf, ada yang bisa kami bantu?" Sepertinya salah satu pelayan cafe tahu bahwa Rini dan Andini mengalami masalah.
"Temanku ketumpahan coklat panas. Apakah kau ada es untuk mendinginkannya?" Rini panik hingga berpikiran hanya es yang bisa mengurangi rasa sakit badan Diana.
"Ada. Sebentar saya ambilkan dulu, Mbak." Pelayan cafe tersebut masuk ke dalam ruangan dan mengambil beberapa es di sana.
"Haruskah aku panggil Darwin agar kemari?" Rini berpikiran barangkali saja kekasihnya Andini tersebut mau membantu.
"Tidak usah, Rini. Percuma. Yang ada dia malah akan marah besar dan menuduhku keluyuran setelah pulang kerja. Baginya aku selalu salah. Jadi biarkan saja. Jangan diberitahu!" Andini Putri berseru. Seberapa pun dirinya menderita, Darwin jarang datang jika tidak dipaksa oleh kakeknya. Sepertinya hanya karena kakeknya saja Darwin bersedia jadi kekasihnya. Jika bukan karena kakeknya, sepertinya Darwin bakal menolak menjalin hubungan dengannya. Begitu pikir Andini Putri mengenai kekasihnya Darwin Alamsyah.
"Baiklah. Akan tetapi aku takut kau kenapa-kenapa, Andini. Coklat panas yang menumpahi pahamu tidak sedikit." Rini beneran panik sembari tangannya bergerak membersihkan tumpahan coklat di paha Andini dengan lembut dan hati-hati.
"Tenanglah. Ah ... Aku tidak apa-apa. Hanya saja beneran panas. Sepertinya bakal melepuh, Rini." Andini Putri memejamkan mata merasakan betapa panas bagian pahanya kemungkinan juga perutnya. Sebagian coklat tersebut bahkan tersiram sedikit ke p******a.
"Kau benar-benar membuatku panik. Mas! Apakah masih lama?" Rini tidak sabar memanggil pelayan cafe yang tadi dia pinta mengambilkan es batu.
"Ini, Mbak. Maaf lama." Mas tersebut menyerahkan beberapa butir es batu pada Rini. Rini dengan perlahan menempelkannya pada paha Andini dan itu tetap membuat Andini Putri kesakitan.
"Ah! Pelan-pelan, Rini." Andini Putri sampai menangis. Coklat panas tersebut begitu panas nan lengket.
"Mbak, maaf. Sepertinya itu tidak akan sembuh hanya dengan es batu. Lebih baik bawa ke dokter saja. Kasihan sahabatnya sampai kesakitan begitu." Salah satu pengunjung di cafe tersebut iba menatap Andini Putri.
"Kau bisa jalan, Andini? Mari aku bantu!" Rini berseru. Benar-benar tidak enak pada Andini Putri. Karenanya coklat panas tersebut jatuh mengenai paha sahabatnya. Seandainya Andini tidak dia bawa ke cafe saat ini, balada ketumpahan coklat panas tersebut takkan terjadi.
"Akan aku usahakan." Andini bangkit berdiri tapi kedua pahanya rupanya memang melepuh, terasa panas juga perih. Rini berusaha mengajak Andini Putri berjalan perlahan demi perlahan tapi saat di dekat pintu cafe, Andini sudah tidak kuat lagi dan kembali duduk.
"Apakah sebegitu sakit, Andini? Astaga! Maafkan, Aku. Aku akan mencari bantuan untukmu. Tuan Darwin!" teriak Rini tapi dihentikan oleh Andini Putri.
"Aku mohon diamlah, Rini. Aku tidak apa-apa." Andini benar-benar tak mau mengganggu waktu kekasihnya yang saat ini bersenang-senang berbelanja dengan sekretarisnya Renata Azmi.
"Aku akan mencari Tuan Darwin sekarang." Rini benar-benar hilang kesabaran. Andini memegang tangan Rini dan setelahnya diam sejenak.
"Tidak perlu merepotkan kekasihku. Biar aku pergi ke kamar mandi sebentar guna membersihkan pakaianku setelahnya baru pulang. Kau tenanglah. Jangan menganggu Darwin bersama Renata." Andini Putri bangkit berdiri dan saat akan berjalan ... badannya diangkat oleh seseorang.
"Eh!" pekik Rini dan Andini Putri sendiri terkejut bukan main melihat orang tersebut tiba-tiba datang dan akan membawa Andini Putri ke toilet.
"Tuan!" seru Rini bahagia ada yang datang membantu temannya.
"Turunkan, Aku!" Andini Putri berseru tapi pria tersebut terus berjalan tanpa mau peduli pada banyak orang yang kini tengah menatapnya dengan heran juga penuh kekaguman. Akan tetapi meski demikian, pria tersebut tetap membopong badan Andini Putri dengan langkah tegap tak peduli pada manusia manapun.
Sementara Rini masih terpaku di tempatnya berdiri kasihan pada Andini Putri sekaligus merasa lega sebab Andini Putri ada yang menjaga sekaligus merawat lukanya.
"Bersyukur kau datang di waktu yang tepat, Tuan." Rini bergumam pelan sembari tersenyum lega menatap sahabatnya dibawa pergi menjauh oleh pria tampan nan menawan menurut sebagian orang yang mengaguminya.
*