Udara dini hari perlahan menghangat seiring aroma teh manis yang mengepul di antara mereka. Sekar dan Dimas masih duduk berdua di meja kecil yang hanya muat untuk dua cangkir, dua hati, dan satu percakapan yang belum selesai. "Kamu nggak berubah ya ... masih suka menggoda di waktu yang nggak tepat," gumam Sekar, senyum tipis menghias wajahnya. Ia menyeruput pelan tehnya yang mulai hangat. Dimas mengangkat bahu. "Kadang, hal yang nggak tepat justru jadi satu -satunya yang terasa pas." Sekar terdiam. Ada sesuatu di d**a yang mendesak keluar antara harapan dan ketakutan yang belum selesai ia benahi. Dimas, di hadapannya, masih lelaki yang sama, tapi juga berbeda. Wajah itu masih mampu meluluhkan hatinya, namun kini ada bekas luka yang ikut membayang. "Kamu yakin kita bisa mulai dari awal,