Malam itu udara lembap menusuk tulang. Rania baru saja tertidur setelah minum obat dan bubur. Gibran duduk di tepi ranjang, menatap wajah pucat istrinya dengan mata merah lelah. Tangannya kasar, penuh luka kecil akibat kerja di pelabuhan, tapi jemarinya pelan menyisir rambut Rania yang mulai kusut. Ketika ia bangkit hendak merapikan meja makan, sesuatu menarik perhatiannya. Di atas meja, ada kantong kertas rapi berisi buah segar, vitamin impor, dan botol madu yang belum pernah ia beli. Gibran mengerutkan kening. Ia tahu isi dompetnya bahkan tidak cukup untuk membeli madu semahal itu. Tangannya menggenggam kuat plastik itu, rahangnya mengeras. “Rania?” Suaranya berat. Rania yang setengah sadar mengerjap pelan. “Hm?” “Ini… siapa yang ngasih?” Rania menunduk, menggenggam ujung selimut.

