Bab 8 Suami Serba Serbi

1008 Words
Hari itu, Anggita benar-benar sial. Macet, meeting molor, dan ponselnya lowbat justru di hari paling penting: makan malam keluarga pertamanya sejak menikah. Sialnya lagi, Rafka udah berangkat duluan. Katanya, “Aku nyusul aja ke rumah Mama kamu, biar bisa bantu-bantu.” Bantu-bantu. Dalam kamus Anggita, artinya mungkin “datang tepat waktu dan duduk manis”. Akan tetapi ternyata… kamus Rafka beda jauh. Begitu mobilnya berhenti di depan rumah besar bergaya kolonial milik keluarganya, Anggita langsung turun dengan langkah tergesa. Tumit sepatunya mengetuk marmer teras dengan suara yang cukup mengumumkan: CEO datang dan mood-nya berantakan. Namun begitu pintu terbuka, yang terlihat bukan pemandangan keluarga duduk di ruang tamu menunggu menantunya melainkan Rafka, memakai celemek bunga-bunga warna pastel, berdiri di dapur sambil ngaduk sup. “Astagaaaa…” Kata itu lolos begitu saja dari mulut Anggita. Rafka menoleh dengan senyum paling tenang di dunia. “Pulang juga istriku. Aku kira kamu udah diculik sama deadline.” “Rafka, kamu… kamu ngapain?” “Masak.” “YA AKU LIHAT ITU! Kenapa kamu masak di rumah orang tuaku?!” Sebelum Anggita sempat panik lebih jauh, terdengar tawa lebar dari arah meja makan. Kakaknya, Sion, duduk santai sambil mengaduk es teh. Di sebelahnya, istrinya Maura tampak tertawa menahan geli. “Dia datang dua jam lalu,” kata Sion. “Bilang mau bantu Mama masak. Eh, lama-lama dapur dikuasain dia.” “Bukan dikuasain, aku cuma reorganize dikit biar efisien,” sahut Rafka dengan nada serius. “Reorganize?” Anggita melotot. “Itu dapur Mama, bukan lab riset kamu!” Sion tertawa lagi. “Tenang aja, Git. Dia malah bikin Papa seneng banget. Katanya akhirnya ada cowok di keluarga ini yang bisa masak, bukan cuma kerja.” Maura menimpali dengan senyum. “Jujur, aku baru tahu sup jamur bisa seenak ini.” Anggita masih berdiri di ambang pintu, otaknya sibuk mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Suaminya—direktur muda yang tiap rapat bisa bikin orang gemetar—sekarang berdiri di dapur rumah orang tuanya, pakai celemek bunga, dan lagi ngobrol santai sama keluarganya seolah udah jadi menantu idaman sejak lima tahun lalu. “Aku kira mereka… suruh kamu bantu-bantu,” kata Anggita lirih, masih separuh kaget. “Kamu keliatan kayak… pembantu magang.” Rafka menatapnya, lalu tertawa. “Oh, jadi kamu pikir keluargamu nyuruh aku nyapu? Gitaaa… aku yang nawarin diri, tahu?” “Kenapa?!” “Karena aku pengen mereka tahu aku bisa lebih dari sekadar ngetik kontrak di kantor. Dan… karena aku pengen mereka lihat, aku beneran niat buat jagain kamu.” Kata-kata itu bikin Anggita terdiam sejenak. Sion, yang tadi masih asik minum es teh, tiba-tiba berdehem pelan. “Git, jujur aja, aku sempat nggak yakin sama nikahan kalian waktu denger kabarnya.” “Aku tahu,” jawab Anggita pelan. “Setelah melihat cowok ini masak, bercanda sama Mama, dan bantu Papa nyalain grill, aku pikir… mungkin kamu akhirnya nemuin seseorang yang cocok.” Rafka cuma nyengir, pura-pura sibuk memotong daun seledri padahal pipinya agak memerah. Maura, dengan nada menggoda, menambahkan, “Aku aja hampir minta resepnya buat stok rumah. Anggita, kamu beruntung banget.” Anggita menatap semua orang satu per satu. Kakaknya yang cuek tapi tampak tulus, iparnya yang manis, ibunya yang sedang mencicipi sup sambil tersenyum, dan suaminya yang dengan santai menyendok sayur seperti chef profesional. Untuk pertama kalinya sejak menikah, suasana keluarga itu terasa… hangat. Bukan canggung, bukan formal, melainkan benar-benar nyaman. Selesai makan, mereka duduk di ruang tamu. Sion membuka percakapan seperti biasa: santai tapi tajam. “Jadi, Rafka, kamu gimana rasanya nikah sama adikku?” Rafka menatap Sion tanpa ragu. “Seperti nerima tantangan bisnis paling besar, tapi untungnya return-nya tinggi banget.” Semua orang tertawa. Kecuali Anggita, yang mendecak pelan tapi senyum tipisnya nggak bisa ditahan. “Kalau kamu, Git?” tanya Maura lembut. “Gimana hidup bareng suami ‘multitalenta’ ini?” “Capek, tapi lucunya, aku nggak keberatan.” “Oh?” “Ya, kadang dia bikin aku pengen lempar bantal, tapi juga bikin aku pengen… pulang lebih cepat.” Suasana langsung hening selama beberapa detik—sampai Rafka tiba-tiba berdiri dan menatapnya dengan gaya sok serius. “Kalau gitu, mulai besok aku bakal masak tiap malam biar kamu makin pengen pulang.” “Kalau kamu masak tiap malam, aku harus siapin asuransi dapur dulu,” balas Anggita cepat. Malam makin larut, tapi tawa masih memenuhi rumah itu. Sion dan Rafka akhirnya duduk di teras, ngobrol soal bisnis dan saham, sementara Maura membantu Mama beres-beres dapur. Anggita berdiri di ambang pintu, memperhatikan dari jauh. Melihat Rafka—yang biasanya arogan dan perfeksionis—tertawa lepas bareng kakaknya, membuat hatinya aneh. Hangat, lembut, dan sedikit deg-degan. “Anggita,” panggil Maura dari belakang, tersenyum lembut. “Dia cocok, ya.” Anggita menatap suaminya di kejauhan. “Iya. Cuma kadang aku masih nggak percaya.” “Percaya aja, Git. Kadang yang kamu kira bakal nyebelin selamanya, justru yang paling bikin tenang.” Anggita tidak menyahut, tetapi dalam hatinya, dia setuju dengan perkataan kakak iparnya. Lagipula Rafka ternyata bukan pria nyebelin dan kaya saja, tapi dia bisa menjelma menjadi suami serba-serbi yang bisa diandalkan. --- Dalam perjalanan pulang, Rafka menyetir sambil bersenandung kecil. “Jadi, nilaiku sebagai menanti berapa dari seratus?” tanyanya riang. “Dua.” “Dua?” “Dua digit maksudku. Delapan puluh delapan. Sisanya nunggu performa tiga bulan ke depan.” “Wah, kamu lebih cocok disebut sebagai HR daripada istri, ya?” “Udah biasa menilai karyawan, sayang.” “Kalau gitu aku minta promosi tiap malam.” Anggita menatapnya sejenak, lalu menahan tawa. “Jangan bikin aku turunin nilai sekarang juga.” Rafka hanya tertawa kecil, lalu menggenggam tangan Anggita tanpa banyak kata. Di balik semua keribetan, rasa malu, dan ledakan emosi khas mereka, pasangan itu terlihat akur dan bisa terbuka satu sama lain. Untuk pertama kalinya, Anggita sadar: Mungkin, pernikahan mereka nggak seburuk yang ia takutkan. Bahkan, mungkin… ini awal dari sesuatu yang benar-benar hangat. Anggita tidak pernah menyesal menikah dengan musuh bebuyutannya sejak SMA karena Rafka benar-benar menghargainya sebagai istri. Setidaknya, itu yang dirasakannya saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD