Bab 9 Chef Rafka

1026 Words
Jam menunjukkan pukul 02.00 pagi ketika mobil Rafka meluncur keluar dari kompleks rumah Anggita. Anggita duduk di kursi penumpang, setengah mengantuk, setengah panik. “Rafka… aku nggak bisa lama-lama di rumah Mama,” gumamnya pelan. Rafka melempar senyum tipis di belakang stir. “Aku ngerti. Aku juga nggak ingin kamu stres, tapi… kamu yakin nggak mau tidur sebentar?” Anggita menggeleng. “Nggak, aku harus siapin presentasi pagi ini. Aku cuma mau sampai rumah, shower, terus langsung tidur sebentar.” Rafka cuma mengangguk, nada suaranya tenang. “Oke, my wife. Kita balik.” Sepanjang perjalanan, Anggita diam, menatap lampu kota yang berkedip di luar jendela. Rafka diam juga, tapi dari sorot matanya terlihat seperti sedang menahan sesuatu… kesenangan melihat istrinya terlihat lelah tapi tangguh. --- Setelah sampai di rumah, Anggita langsung menuju kamar mandi. “Rafka… aku cuma mandi cepat, terus tidur sebentar. Besok meeting pagi.” “Siap, sayang,” jawab Rafka santai sambil menutup pintu mobil. Anggita keluar dari kamar mandi, siap mengenakan piyama, tapi matahari belum muncul dan jam masih menunjukkan 03.15. Ia menoleh, dan Rafka sudah sibuk di dapur. “Aku bikin sarapan buat kamu, biar nggak skip lagi,” katanya. “Skip aja deh, Rafka… aku harus siapin briefing,” jawab Anggita cepat. Rafka mengangkat alis, tapi tidak protes. “Kalau begitu, aku antar makan siang kamu ke kantor. Menu sehat favorit CEO-ku.” Anggita terdiam sebentar, lalu tersenyum tipis. “Kamu… sungguh nggak bisa diem ya?” --- Pagi itu, kantor Aurora Agency benar-benar heboh. Rafka muncul tepat pukul 08.30, ransel rapi di bahu, sambil membawa beberapa box. “Good morning, everyone!” sapanya ceria begitu masuk lobi. Semua karyawan menatapnya terpaku. “Eh… bos baru…?” gumam beberapa dari mereka. "Bukan, itu suami Bu CEO, kamu gak lihat berita?" bantah yang lain. Tak lama kemudian, Rafka mulai membagikan nasi kotak berlabel nama tiap karyawan, sambil berkata, “Jangan khawatir soal sarapan, aku yang urus.” Para karyawan terpesona. Sementara itu, di ruang CEO, Anggita menatap ponselnya sambil setengah panik. “Rafka… kamu bawa semua itu? Untuk… semua orang?” Rafka masuk ke ruangannya sambil menyerahkan kotak makan siang ke tangan Anggita, yang ternyata menu khusus: salad, quinoa, telur rebus, alpukat, dan sedikit dressing. “Menu sehat CEO,” kata Rafka santai. “Aku tahu kamu nggak sempat sarapan, jadi aku urus duluan.” Anggita menatapnya setengah marah, setengah terharu. “Rafka… aku sibuk, tapi kamu selalu aja… siap. Bahkan untuk hal-hal kecil.” Rafka nyengir sambil duduk di kursi tamu. “Itu tugas suami, my wife. Biar kamu bisa kerja tanpa panik.” Di ruang kerja, para karyawan sibuk membuka kotak masing-masing, tak percaya bos mereka sekaligus suami CEO muncul dengan sarapan lengkap. “Serius, ini Rafka? Suami CEO kita?” bisik seorang karyawan perempuan. Seorang laki-laki lainnya mengangguk sambil memotret makanan. “Dia juga artis atau influencer, ya? Kok bisa segalak ini?” Sementara itu, Anggita mencoba fokus ke laptopnya. “Rafka… jangan bikin kantor heboh. Aku mau presentasi.” “Aku cuma bantu stabilin mood semua orang. Dan biar kamu nggak stress,” jawab Rafka sambil menaruh salad di meja Anggita. Anggita nyaris menghela napas panjang, tapi pipinya memanas. “Rafka… kamu ini… bikin aku bete sekaligus senyum sendiri,” bisiknya pelan. Rafka menoleh, menatapnya dengan mata lembut tapi nakal. “Kalau kamu senyum, berarti aku sukses. Kalau kamu bete… berarti aku juga sukses. Jadi, no lose situation.” Anggita menatap kotak makan siangnya, lalu Rafka, dan akhirnya tertawa pelan. “Ya ampun… aku nggak tahu harus marah atau ngucap terima kasih dulu.” Rafka hanya nyengir, pura-pura sibuk membuka laptopnya sambil tetap mencuri pandang ke istrinya. Siang itu, saat meeting berlangsung, Anggita tetap sibuk memimpin, tapi Rafka diam-diam mengatur semua hal kecil: memastikan semua karyawan punya minum, kopi, dan snack sehat. Tak lama, seorang karyawan membuka kotak makanannya sambil terkekeh. “Suami Bos… maksudku… Pak Rafka… ini enak banget. Serius, kita nggak pernah makan enak kayak gini di kantor.” “Ya, memang tugas suami, bukan bos,” jawab Rafka sambil melirik Anggita, yang sekarang tersenyum malu. Anggita menepuk meja pelan. “Rafkaaa… kamu ini… bikin aku… ya ampun…” Rafka mengangkat alis, senyum lebar. “Bikin kamu bahagia itu pekerjaan sehari-hari, my wife. Aku bisa multitasking: suami, direktur TV, dan chef kantor. Semua bisa.” Anggita hanya bisa tersenyum kecut tapi hangat. “Ini gila… kantor heboh, aku telat sarapan, tapi somehow… aku nyaman banget.” Rafka meletakkan tangannya di bahu Anggita sebentar. “Kalau begitu, misi sukses hari ini tercapai. CEO-ku sehat, karyawan bahagia, dan aku… bahagia karena kamu nggak kelaparan.” Anggita menghela napas panjang. “Ya ampun, Rafka… aku nggak tahu harus marah atau… mencium kamu sekarang juga.” Rafka cuma nyengir nakal, pura-pura fokus ke laptop. “Kalau kamu mau… aku siap jadi target.” Di tengah kekacauan kantor yang heboh itu… Anggita sadar satu hal lagi: Rafka memang selalu siap buat dia, buat karyawan, bahkan buat seluruh dunia kalau perlu. Hal itu membuatnya jatuh cinta lebih dalam lagi. Menjelang sore, suasana kantor mulai tenang. Cahaya matahari menembus tirai, menyorot lembut wajah Anggita yang sedang menatap layar. Rafka duduk tak jauh darinya, sesekali melirik dengan pandangan penuh kagum—bukan pada presentasi, tapi pada perempuan yang ia sebut rumah. “Udah selesai?” tanya Rafka pelan sambil berdiri di sampingnya. Anggita menutup laptop, bahunya sedikit merosot ke belakang kursi. “Selesai… akhirnya. Tapi kepala rasanya penuh.” Rafka tertawa kecil. “Kepala boleh penuh, asal hati jangan kosong.” Anggita menatapnya dengan pandangan lelah namun lembut. “Kamu ini ya… selalu punya cara buat nyelipin kalimat manis di waktu nggak tepat.” Rafka mendekat, membenarkan rambut yang jatuh di bahu istrinya. “Nggak ada waktu yang salah buat mencintai kamu.” Anggita memutar bola matanya, tapi pipinya jelas memerah. “Cuma kamu yang bisa bikin hari paling sibuk terasa ringan begini.” “Cuma kamu yang bisa bikin semua capekku berasa berharga,” balas Rafka. Beberapa staf yang lewat di depan ruangan pura-pura tidak melihat, tapi bisik-bisik mereka tak bisa disembunyikan. Anggita cuma tertawa kecil, sementara Rafka tersenyum puas. Hari itu, bukan cuma kantor yang terasa hangat—tapi juga hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD