Bab 14 Kamu Duluan, Ya!

1022 Words
Malam itu, rumah Rafka dan Anggita terasa sunyi. Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang samar di udara. Lampu ruang tamu redup, hanya menyisakan cahaya hangat dari dapur yang menyala lembut. Rafka menuruni tangga dengan rambut agak berantakan, mengenakan kaus hitam dan celana rumah. Tadinya, dia berpikir kalau istrinya, Anggita sudah tidur sejak jam sepuluh. Namun, begitu terbangun, karena ingin ke kamar mandi, dia tidak mendapati istrinya di tempat tidur. Dengan mata setengah mengantuk, Rafka mencoba mencari Anggita. Dia sedikit khawatir, sekilas dia mungkin berpikir istrinya berubah pikiran lalu kabur. Langkahnya terhenti di tengah jalan ketika mencium aroma panggangan dari arah dapur. Keningnya berkerut. “Gita?” Dia mempercepat langkahnya, ingin memeriksa aroma sedikit gosong yang membuat insting perfeksionisnya sebagai Virgo bangkit. Di dapur, Anggita berdiri dengan rambut diikat asal, mengenakan piyama longgar bergambar alpukat. Di meja dapur ada roti, sayuran, dan beberapa potongan daging yang baru saja ia panggang. Rafka bersandar di pintu, menyilangkan tangan. “Kamu ngapain begadang lagi?” Suaranya pelan tapi jelas nada tegurnya. Anggita menoleh sambil senyum canggung. “Laper, mau sekalian nyiapin sarapan, tapi aku inget kamu suka yang sehat, jadi aku mau bikin sandwich sayur. Lumayan kan, biar kamu nggak protes aku makan tengah malam, eh dini hari sih, soalnya udah jam dua pagi.” Rafka mendesah kecil, tapi ujung bibirnya terangkat. “Kamu tahu nggak, kalau jam segini orang normalnya tidur?” “Kalau aku tidur, siapa yang bikin makanan bergizi buat suami super disiplin kayak kamu?” balas Anggita cepat, pura-pura sibuk memotong tomat. "Kayak nggak ingat aja kalau aku suka nyiapin sendiri," sindir Rafka pelan. "Bawel," sahut Anggita tidak peduli. Rafka melangkah mendekat, pelan tapi pasti, sampai jarak mereka cuma setengah meter. “Kamu ini benar-benar alasan kenapa aku nggak bisa disiplin sepenuhnya.” Anggita mendongak, bingung. “Maksudnya?” Belum sempat ia mengerti, Rafka sudah meraih spatula dari tangannya, meletakkannya di meja, lalu berbalik hendak menutup kompor. Akan tetapi di saat itu, dua lengan hangat melingkari pinggangnya dari belakang. “Jangan marah, dong,” bisik Anggita lembut di punggungnya. “Aku cuma mau nyenengin kamu.” Rafka mematung beberapa detik. Ia bisa merasakan napas hangat istrinya di bahunya, bisa merasakan betapa lembutnya pelukan itu. Ia menunduk sedikit, suaranya rendah. “Gita, kamu sadar nggak, jam segini kamu begini bahaya banget buat pria dewasa?” Anggita terkikik pelan. “Bahaya kenapa? Aku kan cuma masak.” “Bukan masakannya yang bahaya,” gumam Rafka, menoleh setengah, “tapi mengganggu orang masak dengan memeluknya dari belakang.” "Nggak bahaya, tauk! Kamu harusnya paham kalau aku cuma mau nempel sama suamiku." "Lepasin, Git. Nanti aku berubah jadi macan." "Aku siap, kok," sahutnya sambil mengelus lembut perut berkotak Rafka. Rafka langsung meletakkan spatulanya. Tubuhnya bergetar sedikit. "Git, tanggungjawab ya. Dia bangkit." "Eh?" Anggita ternganga dengan mulut setengah terbuka. Otaknya seketika mengerti maksud dari ucapan suaminya. Pipinya langsung memanas ketika Rafka berbalik sepenuhnya, menghadapkan tubuh mereka. Tatapan matanya tajam tapi lembut, seperti seseorang yang sedang menahan sesuatu lebih dalam dari sekadar emosi. “Kamu yang mulai duluan, kan?” Suaranya serak, pelan tapi tegas. Sebelum Anggita sempat menjawab, Rafka menariknya lebih dekat, satu tangan memeluk pinggangnya, yang lain bertumpu di meja dapur. Dalam satu gerakan, tubuh Anggita terdorong ringan hingga duduk di tepi meja kayu yang dingin. “Rafka—” “Shh…” ia menatap istrinya dalam-dalam. “Kamu yang nakal duluan, ya.” Nada suaranya bukan amarah, tapi godaan yang nyaris membuat Anggita kehilangan kata. Jarak mereka begitu dekat, napasnya hangat di wajahnya. Perlahan, tapi pasti, bibir Rafka menyentuh bibirnya. Mereka berciuman lembut, tak tergesa, penuh rasa yang mengalir perlahan. Ciuman itu tidak liar, tidak tergesa-gesa, tapi begitu nyata hingga membuat waktu seperti berhenti. Tangan Anggita secara refleks menyentuh punggung Rafka, mempersempit jarak yang sudah nyaris tidak ada, membuatnya bisa merasakan degup yang cepat di balik kain tipis kaus suaminya. Rafka menarik diri sejenak, menatap mata istrinya yang berkilat lembut di bawah cahaya kuning dapur. “Kamu tahu, aku nggak bisa marah kalau kamu begini.” “Emang niatnya biar kamu nggak marah,” bisik Anggita sambil menunduk kecil, senyumnya malu tapi nakal. Rafka tertawa pelan, lalu menyandarkan dahinya di dahinya. “Kamu tuh bencana buat hidup teraturku, Gita.” “Meski begitu, aku bencana yang bisa kamu nikmatin, kan?” jawab Anggita cepat, membuat Rafka kembali tertawa rendah. Ia mengusap pipi istrinya lembut dengan ibu jarinya, lalu mengecup keningnya sekali lagi, lama dan penuh makna. “Udah, ayo makan. Sebelum kamu bikin dapur kebakaran,” ujarnya pelan sambil menurunkan Anggita dari meja. Anggita manyun, "Nggak jadi, nih? Katanya udah bangkit?" "Perutmu bunyi, nggak tega aku. Ayo makan!" Anggita masih tersenyum, pipinya merah, tapi matanya menatapnya dengan penuh sayang. “Kamu tuh romantisnya datang di jam-jam nggak terduga.” “Kalau kamu yang bangunin, jam berapa pun jadi waktu terbaik,” sahut Rafka ringan, lalu menyalakan ulang kompor dan memanggang roti sampai kecokelatan. Mereka akhirnya makan berdua di dapur, dengan piring sederhana, tawa kecil di sela-sela gigitan roti, dan tatapan yang lebih banyak bicara daripada kata-kata. Anggita menatap Rafka lama, lalu berkata pelan, “Raf, kamu sadar nggak, dulu kita tuh nggak pernah bisa ngobrol tenang kayak gini?” Rafka tersenyum. “Dulu aku terlalu sibuk pura-pura benci kamu.” "Dih, berarti kamu naksir aku sejak dulu?" "Masih nanya? Kamu saja yang nggak peka." “Kamu resek dan nyebelin banget jadi aku percaya kamu nggak suka aku,” balas Anggita sambil terkekeh. "Aku cuma pura-pura, buat bisa narik perhatian kamu, tapi kamu malah ngajak berantem mulu." "Harusnya kamu to the point aja gitu, lho." "Gengsilah." Hening sejenak. Rafka mendekat lagi, mencium ujung hidungnya dengan lembut. “Sekarang nggak ada pura-pura atau gengsi lagi, ya?” “Sekarang nggak ada yang menang atau kalah,” jawab Rafka pelan. “Cuma kita.” Malam menjelang pagi itu berakhir bukan dengan pertengkaran, bukan dengan debat seperti dulu. Akan tetapi dengan dua cangkir smoothie dan sepotong sandwich yang hampir habis, meja dapur yang berantakan, dan dua hati yang tenang karena tahu, bahkan di antara rutinitas dan keisengan, cinta mereka tetap tumbuh di tempat paling tidak terduga seperti dapur kecil dengan aroma roti hangat dan tawa ringan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD