Bab 15 Kualat, ihh!

1048 Words
Pagi itu Jakarta sedang ramah. Matahari baru muncul, angin menepuk-nepuk lembut daun mangga di halaman rumah mereka. Rafka baru selesai lari pagi. Kaos putihnya menempel di tubuh, rambutnya sedikit basah, dan wajahnya sudah segar seperti iklan vitamin. Ia turun ke bawah sambil menenteng botol air, berniat langsung minum smoothie hijau kesukaannya. Namun baru dua langkah ke dapur, ia berhenti. Ada bau aneh. Asap tipis merayap dari arah kompor, disertai suara “cessss” dan seruan panik, “Astaga! Kok malah gosong?! Padahal baru aku tinggal buka kulkas!” Rafka memiringkan kepala, menahan senyum yang sudah nyaris pecah. Ia berjalan pelan ke dapur dan menemukan pemandangan yang... sulit dijelaskan dengan kata ‘tenang’. Dapur seperti habis diserang zombie. Tepung tumpah di meja, roti terbakar di toaster, dan Anggita berdiri dengan sendok di tangan sambil kipas-kipas pakai piring. Rambutnya berantakan, piyama yang ia pakai ada noda putih di d**a, dan wajahnya masam tapi menggemaskan. “My Wife?” Suara Rafka rendah tapi jelas menahan tawa. Anggita menoleh cepat, hampir menjatuhkan piring. “Eh—kamu udah datang?!” Ia langsung berdiri tegak, berusaha menutupi roti yang sudah nyaris jadi batu bara. "Harusnya kamu Lamaan dikit, kek." Rafka menyandarkan tubuh ke kusen pintu, menyilangkan tangan. “Aku udah lama, lho. Aku kira ada kebakaran kecil.” “Bukan kebakaran. Ini… eksperimen cinta.” “Oh? Eksperimen cinta yang beraroma arang?” Anggita mendengus, lalu menatap roti gosong di tangannya dengan pasrah. “Kenapa kamu bisa masak tapi aku enggak, sih? Padahal aku udah nonton tiga video YouTube! Semalam juga berhasil meski kamu bantuin.” “Karena kamu terlalu lucu buat fokus,” gumam Rafka sambil mendekat, mengambil sendok di tangan istrinya. Ia matikan kompor, lalu membuka kulkas. “Kamu bikin apa sebenarnya?” “Sandwich sayur dan daging, kayak semalam kamu bikin. Enak banget, tambah telur dan mayones juga makin mantap.” Rafka menatapnya dari balik pintu kulkas, satu alis terangkat. “Jadi ini bentuk pemberontakan, ya?” Anggita tersenyum kecil. “Bisa dibilang gitu.” Beberapa menit kemudian, mereka duduk di meja makan. Di antara mereka ada dua piring sandwich yang bentuknya… tidak simetris. Rafka mengambil sepotong, menggigitnya tanpa banyak ekspresi. Anggita menunggu dengan tatapan gugup. “Gimana rasanya?” Rafka mengunyah perlahan, lalu menatapnya serius. "Nggak enak." "Ihhh!!" Anggita sebal. "Puji dikit, kek!" “Oke. Jujur, rasa gosongnya… punya karakter.” Anggita menepuk dahinya. “Karaktermu itu sarkasme murni!” Rafka hanya tertawa kecil, menggandeng tangannya di atas meja. “Enggak, serius. Aku suka. Karena ini buatan kamu.” Tatapan mata pria itu lembut, tulus, membuat jantung Anggita berdebar seperti drum kecil. “Kalau tiap pagi begini, aku rela dapur berantakan,” tambah Rafka sambil meneguk jus hijau dari mug kesukaannya. Anggita menatapnya geli. “Tapi jus itu kan aku isi smoothie stroberi, bukan jus rumput kesukaanmu.” Rafka langsung terbatuk pelan. “Oh, pantas rasanya terlalu bahagia.” “Tuh kan!” Anggita terkekeh, menyodorkan tisu. “Sekali-sekali hidupmu butuh gula, Pak Direktur.” "Kan, udah ada kamu yang manis." Wajah Anggita langsung memerah. "Gembel, ihhh!" "Gombal tauk!" Rafka menyentil ringan dahi Anggita. Anggita hanya tertawa, tidak marah karena baru diberi sentilan cinta. --- Beberapa jam kemudian, mereka siap berangkat ke kantor. "Udah siap, Husband?" "Kalau udah mode Direktur gini, harusnya udah siap, kan?" "Aku antar ya?" Rafka menarik alisnya sebelah, "tumben." Anggita hanya nyengir. "Ayo!" Rafka hanya mengangguk pelan lalu masuk ke mobil Anggita. Hari ini Anggita berniat mengantar Rafka karena mobil suaminya sedang diservis. Anggita selalu diantar Rafka, jadi dia melihat itu sebagai kesempatan untuk membalas kebaikan Rafka. Dia mengemudi dengan baik, meskipun Rafka bilang biar dia saja. Namun wanita berzodiak Aries itu keras kepala. Anggita menjadi supir pribadi untuk pagi ini. Akan tetapi baru setengah jalan, suara mesin mengerang aneh. “Eh, Rafka… ini suara mobilku kok kayak habis lari maraton?” tanya Anggita dengan alis terangkat. Rafka terdiam, ekspresinya datar. “Jangan bilang—” Benar saja. Mobil mendadak berhenti total di pinggir jalan. “Ya ampun, mogok?! Serius nih?” seru Anggita, panik. “Tenang,” kata Rafka santai. “Ini cuma mesin yang lagi butuh kasih sayang.” “Kasih sayang apaan, kamu pikir ini manusia?” Mereka sempat menunggu hampir sepuluh menit, tapi mesin tak juga mau hidup. Akhirnya, Anggita menyerah. “Udah, kita pesan mobil online aja. Biar aku yang pesan.” Rafka mengangkat alis. “Istri direktur pesan mobil online? Dunia harus tahu ini.” “Bodo amat. Yang penting nyampe kantor,” sahut Anggita sambil mengetik di ponselnya. Beberapa menit kemudian, mereka sudah duduk di kursi belakang mobil sewaan. Sopirnya kelihatan kikuk karena tahu siapa yang diantarnya—Rafka, direktur utama stasiun televisi besar di Jakarta Selatan, sedang duduk santai di mobil online sambil menggenggam tangan istri CEO-nya. “Pak, ini lewat tol ya biar cepet,” kata Anggita sopan. “Siap, Bu…” jawab si sopir cepat. Rafka menatap Anggita dari samping, matanya penuh godaan. “Lain kali, biar aku aja yang masak dan nganter kamu. Kayaknya aku kualat kalau bikin istri aku terlalu mandiri.” Anggita terkekeh. “Kualat gimana?” “Ya, nanti kamu kebiasaan berantem sama roti gosong dan mobil mogok. Dunia ini nggak siap kalau kamu marah dua kali di pagi yang sama.” Anggita menatapnya sambil menahan tawa, lalu bersandar di bahu suaminya. “Kamu suka, kan? Sarapan gosongku?” “Kalau gosongnya kamu yang bikin, aku bisa makan tiap hari,” jawab Rafka pelan. Ia mencium puncak kepala Anggita, lembut dan penuh kasih. “Aku cinta kamu, Gita.” Anggita menengadah, menatapnya dengan mata berbinar. “Aku juga, Raf. Gosong, mogok, semuanya… asal sama kamu, aku rela.” Rafka terkekeh pelan. “Kata-kata kayak gitu, kamu belajar dari mana?” “Dari suamiku yang gombalnya parah,” balas Anggita sambil mencubit pinggangnya pelan. Tawa mereka pecah bersamaan, ringan dan manis, seolah pagi yang berantakan tadi justru membuat hari itu sempurna. Supir mobil online hanya bisa diam sembari berdoa agar besok nggak dapat pelanggan yang sedang mabuk kasmaran lagi agar tidak jadi nyamuk. Mobil melaju perlahan di bawah cahaya matahari yang mulai meninggi. Dari luar, mungkin mereka terlihat seperti pasangan biasa. Akan tetapi di antara tawa, gosong, dan mogok, mereka tahu bahwa cinta yang paling indah bukan yang sempurna, tapi yang bisa membuat segala kekacauan terasa lucu bila dijalani bersama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD