Bab 16 Cemburu ya?

1202 Words
Kantor stasiun televisi “SkyVision” pagi itu sedang sibuk. Suara sepatu beradu dengan lantai marmer, aroma kopi memenuhi ruang rapat, dan Rafka Wijaya baru saja keluar dari ruang meeting setelah dua jam membahas proyek besar yang diinisiasi oleh Aurora Tech—perusahaan milik istrinya. Ia melonggarkan dasi, memijat pelipis sebentar. “Pak Rafka?” Suara lembut menyapanya. Rafka menoleh, dan nyaris lupa menarik napas saat melihat siapa yang ada di hadapannya. Devi. Mantan kekasihnya saat kuliah di luar negeri dulu. Rambutnya masih selembut dulu, bergelombang di ujung, kulitnya putih bersih dengan blazer krem yang membuatnya tampak elegan. Mata teduhnya menatap Rafka sambil tersenyum, senyum yang dulu sempat jadi alasan dia menerima ajakan berpacaran sebelum akhirnya ia hancurkan dengan keputusan sepihak bertahun-tahun lalu. “Lama nggak ketemu,” kata Devi, nada suaranya ringan tapi ada sesuatu di baliknya. Rafka mengangguk sopan. “Iya, Devi. Kamu yang jadi konsultan PR yang dikirim Aurora Tech itu?” “Gimana? Kejutan kecil dari masa lalu?” candanya pelan. Rafka hanya tertawa kecil, berusaha tetap tenang. “Anggita yang setujui proyek ini, tapi bukan dia yang tunjuk kamu kan?” Devi menggeleng. “Aku dipilih langsung sama ayahnya, Pak Dharma. Katanya butuh orang yang bisa jaga hubungan publik. Nggak nyangka juga kliennya kamu.” Rafka menghela napas pendek, berusaha profesional. “Baiklah, kalau begitu kita kerja bareng aja. Anggap masa lalu ya masa lalu.” “Tentu,” balas Devi, matanya meliriknya sebentar. “Aku juga nggak niat bikin suasana canggung.” Meski bilang begitu, senyum di bibir Devi mengatakan hal lain—sedikit menggoda, sedikit menguji. Beberapa hari kemudian, gosip mulai beredar di kantor. “Aku lihat Bu Devi dan Pak Rafka makan siang bareng di rooftop, lho.” “Mereka keliatan deket banget. Kayak udah kenal lama.” “Eh, jangan-jangan mantan, ya?” Kabar itu tentu sampai juga ke telinga orang-orang Aurora Tech. Seperti biasa, gosip melompat lebih cepat daripada sinyal 5G. Sampai akhirnya… tiba di telinga Anggita. Awalnya ia hanya tertawa mendengarnya dari sekretarisnya, tapi sore itu, saat sedang menandatangani laporan keuangan, jari-jarinya berhenti. “Devi lagi?” gumamnya pelan. Nama itu asing tapi juga terasa… mengganggu. Tanpa pikir panjang, ia ambil tas, jaket, dan kunci mobil. “Tolong tunda meeting jam empat. Aku ada urusan pribadi,” katanya pada sekretarisnya. Lima belas menit kemudian, mobil hitam miliknya sudah berhenti di depan gedung SkyVision. --- Rafka sedang berdiri di dekat ruang editing, bersama Devi yang menunjukkan draft konsep promosi baru. Mereka tampak serius, tapi posisi mereka… terlalu dekat untuk ukuran “profesional”. Devi menunjuk layar laptop. “Kalau tone-nya lebih ringan, audiens muda bakal lebih cepat engage. Kayak dulu waktu kamu handle program musik, ingat?” Rafka menatap layar, tapi ujung bibirnya sedikit terangkat. “Iya, tapi jangan bahas masa dulu. Aku takut salah tafsir.” “Hmm… aku kan cuma nostalgia profesional,” jawab Devi, nadanya ringan tapi matanya berkilat jahil. Di detik itulah, suara ketukan heels terdengar mendekat cepat. Rafka menoleh, dan melihat sosok yang paling tidak ia duga muncul di jam kerja, Anggita muncul dengan blazer putih dan celana panjang hitam, wajahnya sempurna… kecuali satu hal, matanya berkilat tajam. “Oh, jadi ini, Mbak Devi,” katanya datar. Devi berbalik, sedikit kaget, tapi cepat pulih dan tersenyum sopan. “Iya, saya Devi, konsultan PR dari Aurora Tech.” “Anggita Daryani,” jawabnya dingin. “CEO-nya.” Udara di ruangan itu menegang seperti senar gitar yang ditarik terlalu keras. Rafka buru-buru menengahi. “Sayang, kamu kok nggak bilang mau ke sini?” “Pengen liat proyek bareng yang katanya ‘berjalan lancar’,” jawab Anggita pelan, tapi nadanya penuh sindiran halus. Devi menutup laptopnya pelan. “Saya tinggal dulu ya, Pak Rafka. Nanti saya kirim revisi by email.” Ia tersenyum ramah ke Anggita. “Senang akhirnya bisa ketemu langsung.” “Ya, aku juga. Sangat senang,” balas Anggita dengan senyum manis, tapi matanya tajam seperti silet. Begitu Devi pergi, Rafka menghela napas panjang. “Gita, kamu...” “Kamu lupa bilang ya, kalau PR barumu itu mantan pacarmu?” potong Anggita cepat. Rafka mengangkat tangan, menahan tawa. “Aku nggak nyangka juga dia yang dikirim. Aku juga kaget, sumpah.” “Dan kamu nggak kepikiran buat cerita?” “Buat apa? Aku nggak punya apa-apa lagi sama dia.” Anggita mendengus, lalu memutar bola matanya. “Tapi gosip udah nyebar. Kamu tau nggak orang kantor ngomong apa?” “Kalau aku pacaran lagi?” “Lebih parah. Katanya kamu senyum-senyum terus tiap meeting sama dia.” Rafka ngakak. “Ya ampun, senyum dikit aja sekarang bisa jadi bahan gosip?” Anggita menyilangkan tangan, bibirnya cemberut tapi matanya jelas cemburu. “Lucu, ya. Aku kerja siang-malam, kamu malah flirting di kantor.” Rafka mendekat pelan, langkahnya tenang tapi pasti. “Aku flirting cuma sama satu orang.” “Oh ya? Siapa?” tantangnya. “Perempuan keras kepala yang datang ke kantorku tanpa kabar cuma buat cemburu.” Anggita memalingkan wajah, tapi rona merah di pipinya mulai muncul. “Aku nggak cemburu.” “Oh? Jadi yang barusan itu…?” “Cuma inspeksi mendadak.” Rafka tertawa pelan. “Inspeksi penuh emosi, ya?” Ia menunduk sedikit, jarak mereka kini hanya sejengkal. “Kamu manis banget kalau cemburu, tau nggak?” “Raf…” “Hmm?” “Jangan manis-manis, nanti aku nggak jadi marah.” Rafka tersenyum miring, lalu meraih pinggangnya lembut. “Kalau kamu nggak jadi marah, kan bisa fokus sayang sama aku.” “Gombal.” “Tapi berhasil kan?” Anggita terdiam, jantungnya berdetak cepat. “Kamu itu… nyebelin banget.” Rafka menatapnya lama, matanya lembut. “Denger ya, Gita. Aku nggak bakal bandingin kamu sama siapa pun. Termasuk Devi.” “Dia cantik.” “Kamu juga.” “Dia tenang dan kalem.” “Kamu bikin hidupku hidup.” “Dia… masa lalu kamu.” “Dan kamu masa depanku,” jawab Rafka tanpa ragu. Hening sesaat. Hanya suara napas mereka yang terdengar. Sampai akhirnya, Rafka menarik Anggita ke dalam pelukannya. Hangat, kuat, dan menenangkan. “Kamu nggak usah khawatir, Gita,” bisiknya di telinga istrinya. “Aku udah selesai dengan semua yang di belakang. Sekarang, cuma kamu yang aku lihat.” Anggita menggenggam kemeja suaminya erat, suaranya nyaris bergetar. “Aku nggak suka gosip tentang kamu.” “Kalau gitu biar aku kasih gosip baru.” “Hah?” Rafka menatapnya, lalu tanpa banyak kata, ia mengecup bibir istrinya pelan. Bukan ciuman terburu-buru, tapi lembut dan penuh keyakinan. Ciuman yang membuat Anggita lupa kalau ia tadinya ingin marah. Begitu mereka berpisah, Rafka tersenyum nakal. “Gimana? Sekarang gosipnya berubah jadi ‘Direktur mesra sama CEO di kantor’.” Anggita tertawa, wajahnya memerah. “Kamu ini gila, tau nggak?” “Gila cinta kayaknya,” bisik Rafka sambil merangkul bahunya. Mereka berjalan keluar ruang meeting bersama. Dari kejauhan, beberapa karyawan yang melihat hanya bisa saling pandang, lalu berbisik pelan. “Eh, kayaknya gosip kemarin salah deh.” “Iya, yang bener tuh: Pak Rafka si pria takut istri.” Sementara itu, Rafka hanya tersenyum kecil, menggenggam tangan Anggita erat seolah ingin bilang, gosip boleh beredar, tapi cintanya nggak ke mana-mana. Tertuju pada satu wanita yang tidak pernah berhenti sejak dia SMA.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD