Bab 17 Rahasia Rafka

1164 Words
Keesokan paginya, ruang meeting lantai delapan SkyVision kembali dipenuhi tumpukan dokumen dan aroma kopi. Devi sudah datang lebih dulu, menyiapkan presentation deck yang harus mereka review bersama tim promosi. Rafka masuk beberapa menit kemudian, mengenakan kemeja biru muda yang dilipat hingga siku, tampak santai tapi tetap berwibawa. “Maaf telat, ada rapat dadakan sama tim editorial,” katanya sambil menaruh laptop. “Gak apa-apa,” sahut Devi ringan. “Aku juga baru aja selesai briefing ke tim desain.” Tak lama, beberapa staf lain masuk dan duduk. Rapat berjalan lancar. Rafka menjelaskan strategi media placement, Devi menambahkan ide public engagement lewat influencer. Diskusi itu profesional dan produktif. Bahkan, beberapa staf berdecak kagum melihat bagaimana dua sosok berpengalaman itu saling melengkapi. Satu jam berlalu, rapat selesai. Satu per satu staf pamit keluar, membawa berkas masing-masing. Tinggal Devi dan Rafka di ruangan itu. Devi menutup laptopnya, lalu menatap Rafka sambil menyandarkan tubuh di kursinya. “Gimana, istri kecilmu? Masih cemburu sama aku?” Rafka menahan tawa, menatapnya dari balik meja. “Nggak deh kayaknya. Meski tadi pagi aku disuruh sumpah janji nggak bakal CLBK sama kamu.” Devi tertawa pelan. Suaranya masih sama seperti dulu, lembut tapi menggelitik. “Ya ampun, klasik banget. Jadi masih ada ritual ‘sumpah pagi’ di rumah keluarga Wijaya, ya?” “Lumayan lah, buat latihan mental. Tiap kali lihat wajah dia serius gitu, aku takut kalau aku senyum dikit malah ditampar pakai laporan keuangan,” balas Rafka sambil mengangkat alis. “Tuh kan, lucu banget,” kata Devi sambil menatapnya geli. “Kalau dia tahu kamu dulu pacaran sama aku gara-gara aku yang ngejar, harusnya dia nggak usah gelisah.” Rafka bersandar santai, senyum miringnya muncul. “Wah, kamu ngomong gitu kayak aku penjahatnya lho.” “Emang bukan?” “Lho kok gitu? Kamu emang korban?” Devi menatapnya tajam, tapi matanya penuh tawa. “Rafka, kamu tuh pacaran sama aku dulu aja nggak pernah mau digandeng. Apalagi dicium. Aku sampai ngerasa pacaran sama tembok.” “Heii, itu masa-masa kelam. Aku tuh lagi… healing waktu itu.” “Healing? Kamu tuh trauma karena cinta pertama kamu pacaran dan hampir nikah sama orang lain, iya nggak?” “Jangan dibuka aibnya dong.” Devi mengangkat bahu santai. “Ya udah, tapi tetep aja kamu mahal banget waktu itu. Untung aku berhenti ngejar.” Rafka tertawa kecil. “Iya, kalau kamu terus ngejar mungkin aku sekarang udah digantung di kafe tempat kamu biasa nongkrong.” “Tapi tahu nggak?” Devi menyipitkan mata, senyumnya berubah sedikit nakal. “Aku senang, rencanamu berhasil.” Rafka berhenti mengetik di laptop. “Rencanaku?” “Ya itu, reuni sialan yang ternyata jadi jalan pintas kamu balik ke pelukan Anggita.” Rafka mendesah, lalu tertawa kecil sambil memijit pelipis. “Sttt… jangan sampe ada yang tahu, Dev.” “Seriusan, Raf. Kamu beneran ngatur semua itu?” “Enggak semua. Cuma bagian… kecil.” “Bagian kecil yang bikin kalian berdua mabuk bareng dan nginep di hotel?” Rafka menatap Devi dengan ekspresi setengah malu, setengah puas. “Ya gimana ya, kadang cinta perlu dorongan logistik.” Devi ngakak. “Kamu tuh, ya. Dari dulu kalau nyusun strategi kayak ngatur proyek TV. Rapi, penuh plot twist.” Rafka menyandarkan diri ke kursi, menatap langit-langit sambil terkekeh. “Ya, aku cuma mau lihat reaksi dia waktu ketemu aku lagi. Ternyata malah kebablasan.” Devi menyipitkan mata. “Kebablasan atau emang kamu pengen kebablasan?” “Dua-duanya kayaknya.” Devi tertawa lagi, kali ini lebih lembut. “Jadi waktu itu, siapa yang kamu bayar? Si Mira kan? Temen kuliah Anggita yang juga panitia reuni?” Rafka menunduk, tersenyum penuh arti. “Jangan buka kartu. Aku malu.” “Jadi bener dong, Mira itu kamu bayar biar Anggita nginep di hotel tempat reuni meski sebenarnya bisa aja dia langsung pulang?” “Yaa… waktu itu aku cuma minta tolong dia ‘atur suasana’. Siapa sangka malah beneran kejebak satu kamar.” “Dan kamu sengaja nggak keluar kamar?” “Lah, udah tengah malam, Dev. Masa aku mau tidur di lobi? Lagian dia yang ngajak.” Devi menepuk meja pelan, menahan tawa. “Kamu tuh gila, Rafka. Meski gitu romantisnya nggak ketolong sih. Jadi semua gosip waktu itu…” “Cuma kebetulan yang disponsori sedikit keberanian.” Suasana hening sejenak. Devi menatap Rafka lama, matanya lembut tapi penuh nostalgia. “Aku ngerti kenapa dia cinta banget sama kamu.” “Hmm?” “Kamu tuh nggak cuma ngomong cinta, tapi beneran ngerancangnya,” ucap Devi pelan. “Bahkan kebahagiaan kamu sendiri kamu rencanain kayak naskah film.” "Nggak usah kayak ramalan tarot, deh. Lagian Mira ember banget sama kamu." "Ya, kan dia masih termasuk sepupu jauh aku. Kamu lupa?" "Dikit." "Kamu emang cuma ingat soal Anggita, sih." Rafka terdiam sebentar, lalu menatap Devi dengan senyum tenang. “Aku cuma nggak mau nyesel lagi, Dev. Dulu aku terlalu banyak mikir, takut gagal, takut ditolak. Sekarang, aku belajar kalau orang yang tepat itu layak buat dikejar bahkan kalau harus pakai skenario gila sekalipun.” Devi menatapnya dengan ekspresi campur aduk antara kagum dan geli. “Sekarang kamu hidup bahagia sama dia.” “Ya, dengan bumbu gosong, mogok, dan cemburu tiap pagi,” jawab Rafka sambil terkekeh. “Lucu juga ya. Semua kekacauan itu awalnya dari satu rencana ‘jahat’ kecil di reuni.” Rafka tersenyum samar. “Kadang, cinta terbaik datang dari niat nakal yang tulus.” Devi tertawa kecil, lalu berdiri sambil merapikan laptopnya. “Ya udah, aku pamit dulu. Aku harus ke kantor Aurora. Nanti siang aku kirim draft revisi.” “Siap, Bu PR,” sahut Rafka ringan. “Dan tolong rahasiain yang barusan.” “Tenang aja. Aku nggak akan bocorin selama kamu traktir makan siang.” “Deal, tapi aku kasih tahu istriku dulu ya, nanti dia kira aku kejebak masa lalu.” “Lho, bukannya kamu emang selalu kejebak masa lalu? Cuman masa lalunya bukan aku, kan?” “Eh, itu beda konteks,” jawab Rafka cepat. “Masa lalu itu sekarang udah jadi masa depan.” "Alay, deh!" Mereka berdua tertawa bersamaan—tawa yang bukan nostalgia, tapi lebih seperti tanda perpisahan yang sudah selesai dengan damai. Begitu Devi keluar, Rafka duduk sendirian di ruang rapat, menatap jendela besar di depannya. Jakarta siang itu terang, langit biru dengan awan tipis. Ia mengeluarkan ponsel, membuka pesan singkat dari ISTRI KECILKU: "Udah makan belum? Jangan kerja sama Devi terus, nanti aku cemburu.” Rafka tersenyum kecil. Jarinya mengetik cepat: “Udah kok, lagi mikirin kamu malah. P.S: aku sumpah nggak CLBK sama siapa pun, kecuali mantan musuh kayak kamu.” Pesan terkirim. Rafka bersandar, lalu berbisik pelan pada dirinya sendiri. “Kalau kamu tahu aku rekayasa reuni itu cuma biar bisa cium kamu lagi, kamu pasti ngamuk... tapi semoga setelah itu, kamu tetap cium aku balik.” Ia tertawa kecil, lalu menatap secangkir kopi di meja. Kadang butuh sedikit kebohongan, sedikit rencana gila asal ujungnya tetap satu yaitu pulang ke orang yang benar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD