Malam di Jakarta turun dengan lembut. Dari balik jendela besar rumah mereka, lampu kota berkelap-kelip seperti bintang yang turun ke bumi. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat dua puluh, dan di ruang tamu, Anggita masih duduk bersila di sofa, matanya menatap jam dinding dengan ekspresi datar walau jelas terlihat, ia kesal.
Rambutnya diikat asal, piyama satin abu-abu yang ia kenakan tampak kontras dengan wajah cantiknya yang penuh ekspresi murung. Di meja depan, segelas teh chamomile sudah dingin.
Begitu pintu depan terbuka dan langkah kaki Rafka terdengar, Anggita spontan menegakkan tubuh. Suara itu adalah langkah khas pria yang ia kenal di luar kepala.
Rafka muncul di ambang pintu, masih dengan kemeja biru tua yang lengannya digulung hingga siku, dasi longgar menggantung di leher, dan wajah lelah tapi tetap menawan.
Ia tertegun melihat istrinya yang duduk diam menunggunya. “Belum tidur, Istriku?” tanyanya, suaranya berat tapi lembut.
Anggita menyilangkan tangan di d**a. “Sulit tidur kalau suamiku pulang larut tanpa kabar.”
Rafka menghela napas, menaruh tas di meja. “Aku udah bilang, ada makan malam setelah meeting.”
“Dengan Devi, kan?” potong Anggita cepat. Nada suaranya dingin, tapi matanya tak bisa berbohong—ada kecemburuan yang sangat manis di sana.
Rafka menahan senyum. “Lho, kok tahu? Padahal aku sudah bilang,” sahutnya jail.
“Jakarta ini kecil, Raf. Meski kamu udah bilang, tetap aja gosip jalan lebih cepat dari mobil kamu.”
Pria itu tertawa kecil, lalu melangkah pelan ke arahnya. “Kamu cemburu lagi?”
“Aku cuma heran.” Anggita berdiri, menatapnya lurus. “Katanya makan malam kerja, tapi kenapa sampai jam segini?”
Rafka berhenti satu langkah di depannya. “Devi tadi sempat pingsan.”
Anggita melotot. “APA?!”
Rafka menatapnya sambil menahan tawa. “Pingsan gara-gara ketawa terlalu keras pas aku cerita kamu nyuruh aku sumpah gak bakal CLBK.”
Anggita mendengus keras, lalu memukul dadaa suaminya pelan. “Rafka! Aku lagi serius tauk!”
“Aku juga serius kok. Bahkan sampai sekarang belum CLBK.”
“Belum?”
“Belum. Karena gak ada yang bisa dibandingin sama kamu.”
Anggita terdiam. Napasnya memburu sedikit, tapi berusaha menatap balik dengan percaya diri. “Kamu tuh… selalu pakai kata-kata manis buat ngeles.”
“Bukan ngeles.” Rafka mendekat, tangannya terulur menyentuh pipi istrinya. “Itu pernyataan cinta, My Wife.”
Seketika, suasana berubah. Ruang tamu yang tadinya penuh udara canggung kini seolah menghangat.
Rafka menatapnya lama, menelusuri garis wajah yang sudah ia hafal tapi tak pernah bosan ia pandangi. “Kamu tau gak, ekspresi kamu kalau cemburu itu lucu banget?”
Anggita memutar bola mata, tapi bibirnya mulai melengkung kecil. “Lucu dari mana, coba?”
“Dari sini…” Rafka menunduk, jarak mereka hanya tinggal beberapa sentimeter. “Alismu naik satu, bibirmu cemberut, dan pipimu merah padahal kamu berusaha keliatan cool.”
“Dasar observant berlebihan,” gumam Anggita, suaranya nyaris berbisik.
“Kalau istrinya seindah ini, gimana gak observant?”
Kali ini, Rafka benar-benar menurunkan wajahnya dan mendekat.
Anggita mencoba mundur satu langkah, tapi sofa di belakangnya menahan. Ia terperangkap dalam tatapan suaminya yang lembut tapi intens. “Raf…”
“Hm?”
“Jangan kira aku langsung luluh cuma karena kamu ngomong manis.”
“Kalau gitu, mungkin aku perlu buktiin pakai cara lain.”
Sebelum sempat protes, Rafka memeluknya perlahan. Tangannya melingkar di pinggang Anggita, menarik tubuhnya lebih dekat, dan detik berikutnya, ia menenggelamkan wajahnya di bahu istrinya.
“Aku kangen, Istri kecilku,” bisiknya pelan.
Suara itu terdengar serius, berat, dan jujur membuat pertahanan Anggita mulai runtuh. Ia bisa merasakan detak jantung Rafka yang stabil, napas hangatnya di leher, dan aroma tubuhnya yang akrab.
“Kamu… cuma pulang larut, bukan pergi perang,” gumam Anggita, tapi nadanya sudah jauh lebih lembut.
“Buat aku, ngeliat kamu nunggu kayak gini aja udah lebih bikin deg-degan dari rapat lima jam bareng investor,” ucap Rafka sambil tersenyum kecil.
Ia menarik diri sedikit, cukup untuk menatap wajah istrinya. Jemarinya menyelip di sela rambut Anggita, menyingkap beberapa helaian yang jatuh ke wajah.
Tatapan mereka bertemu—hangat, lembut, tapi juga penuh ketegangan yang manis.
“Aku beneran gak usah khawatir, ya?” tanya Anggita, suaranya pelan.
“Gak usah. Aku cuma cinta satu orang. Dan orang itu lagi berdiri di depanku sekarang.”
Rafka menunduk, mencium keningnya lama. Anggita memejamkan mata, membiarkan kehangatan itu mengalir tanpa perlawanan.
Ketika ia membuka mata, pandangan Rafka masih di sana, meleburkan setiap amarah, setiap cemburu, setiap ragu yang sempat tumbuh di hatinya.
“Rafka…”
“Hm?”
“Kalau kamu terus begini, aku bisa maafin kamu bahkan kalau kamu salah beneran.”
Rafka tertawa kecil. “Bagus dong. Berarti aku bisa pulang larut tiap hari.”
“Coba aja.” Anggita menyipitkan mata, "Aku aduin kamu ke mama dan papa."
“Sebelum kamu marah lagi,” Rafka menunduk, bibirnya menyentuh bibir istrinya sekilas, ringan tapi cukup membuat dunia seolah berhenti sesaat.
Anggita terdiam, matanya membulat, sementara Rafka tersenyum nakal.
“Lihat? Cara bukti cintaku efektif, kan?”
Anggita mendorong dadanya pelan. “Kamu gak berubah, masih nyebelin dan sekarang tukang gombal juga.”
“Tapi cuma buat kamu, My Little Wife.”
Ia menarik tangan Anggita, menuntunnya kembali duduk di sofa. Pria itu menatapnya lembut, jari-jarinya menelusuri garis rahang sang istri.
“Jangan cemburu lagi, ya?” katanya lirih.
“Kalau kamu gak kasih alasan, aku gak bakal cemburu.”
“Berarti aku harus fokus bikin alasan lain.”
“Alasan apa?”
Rafka tersenyum samar, lalu berbisik nyaris di telinganya.
“Kayak… ngajak istri cantikku temenin aku mandi.”
Anggita refleks menatapnya lebar. “RAFKAAA!”
Suaminya sudah tertawa keras, berdiri, dan melangkah mundur beberapa langkah sambil melempar pandangan penuh godaan. “Ayolah, kamu udah nunggu aku lama banget, masa gak mau bantu aku rileks?”
Anggita pura-pura manyun. “Rileksnya nanti aja. Sekarang kamu mandi sendiri!”
“Yakin?”
Rafka mencondongkan tubuh, berbisik nakal, “Padahal aku udah nyiapin busa sabun dua kali lipat, lho.”
Anggita menutupi wajah dengan bantal sambil menahan tawa. “Kamu tuh ya, bisa gak sehari aja gak nakal?”
“Gak bisa. Soalnya nakalku cuma berfungsi kalau kamu yang jadi sasarannya.”
Rafka terkekeh pelan, lalu menunduk mencium puncak kepala istrinya sebelum benar-benar menuju kamar mandi.
“Lima menit lagi aku panggil, siapa tahu kamu berubah pikiran,” katanya sebelum menghilang di balik pintu.
Anggita menatap pintu kamar mandi itu sambil tersenyum kecil.
Dasar laki-laki menyebalkan… pikirnya, tapi bibirnya justru melengkung semakin lebar.
Di tengah tawa kecilnya, Anggita sadar kalau dia memang cemburu, tapi juga terlalu cinta untuk menolak godaan Rafka yang selalu tahu cara mengubah amarahnya jadi tawa.
"Ikut nggak?" ajak Rafka lagi.
Kali ini Anggota tak menolak, kakinya tanpa sadar sudah mengikuti sang suami, membuat lelaki itu tersenyum sangat lebar.