Lorong rumah sakit malam itu terasa begitu panjang dan sunyi. Lampu neon putih yang menggantung di langit-langit hanya menambah kesan dingin. Roda ranjang pasien berderit pelan saat mendorong tubuh Dominick keluar dari ruang operasi, tubuh tegap yang kini rapuh tak berdaya, terbungkus kain putih dengan wajah pucat di balik selang-selang yang masih menempel.
Dokter Qin berjalan di samping ranjang, wajahnya masih diliputi ketegangan, meski berusaha tampak tegar. Napasnya berat, bukan karena lelah fisik semata, tapi juga karena beban ancaman yang belum hilang. Setiap langkahnya terasa bagai berjalan di atas tali tipis yang membentang di jurang maut.
Di ruang tunggu, beberapa pria berbadan besar dengan jas hitam sudah berdiri menunggu. Tatapan mata mereka menusuk, penuh curiga sekaligus ancaman. Begitu ranjang lewat, salah satu dari mereka maju, menatap tajam ke arah dokter Qin.
"Apakah, Tuan kami selamat?" suara serak itu terdengar bagai gemuruh rendah, mengandung tekanan.
“Bagaimana cucu saya, dokter Qin?” Suara nenek tua, dia adalah Nyonya Yunglow yang sangat di segani.
Dokter Qin menahan napas sejenak sebelum menjawab, "Operasi berhasil, Nyonya. Tapi... Tuan Muda masih belum sadar. Dia butuh waktu."
Hening. Hanya suara mesin monitor portable yang ikut bergerak bersama ranjang, memantulkan bunyi beep... beep... beep ritmis yang rapuh.
“Apa katamu?!! Cucuku tidak sadar makskud nya bagaimana? Apakah cucuku tidak berhasil operaisnya atau bagaimana?!” Suara itu terdengar pelan tapi terasa tajam menembus jantung dokter Qin, membuatnya bergetar.
“Tidak, Nyonya. Operasi berjalan lancar hari ini meski di awal ada kendala. Tapi, semua sudah teratasi. Dan tinggal menunggu pemulihan…” jawab dokter tua itu yang di dampingi petugas medis yang berada di belakangnya.
“Tetap saja! Cucuku koma!” Seru Nyonya Yunglow.
Para pengawal itu tampak berdiri disana menjaga ketat keluarnya tuan mereka dari dalam ruang operasi mengiringi ke sebuah ruangan — ICU. Pintu kaca terbuka otomatis, menelan tubuh Dominick ke dalam ruangan steril yang penuh dengan cahaya dingin dan deretan mesin penyokong hidup. Perawat segera menyambungkan selang infus, menata ventilator, dan memastikan semua stabil.
Tampak Dokter Qin berdiri di balik kaca, menatap pasiennya dari luar. Tubuhnya goyah, tapi matanya tak lepas dari sosok Dominick. Dalam hatinya, dia tahu, tugasnya sebagai dokter mungkin selesai—tapi pertarungan baru saja dimulai. Karena selama Dominick belum sadar, nyawanya dan keluarganya masih di ujung tanduk.
Sementara itu, di dalam kegelapan pikirannya, Dominick seolah tersesat di sebuah lorong panjang tanpa ujung. Suara samar beep... beep... dari mesin jantung terdengar jauh, seperti gema dari dunia lain. Dalam kegelapan itu, wajah-wajah samar muncul—musuh yang sudah dia kalahkan, rekan-rekan yang gugur, dan samar-samar... wajah seorang gadis yang tersenyum sendu. Dia mencoba meraih, tapi tangannya menembus kosong.
Sebuah suara berat, penuh wibawa, terdengar menggema di telinganya, "Bangun, Dominick. Kau belum boleh pergi. Dunia ini belum selesai menagih darahmu."
Sang nenek juga berdiri di samping dokter Qin dengan perasaan gundah. Kekawatiran yang sebelumnya tak perna singgah. “Bangun cucuku. Dunia Yunglow akan hancur tanpamu…” bisiknya sambil mengusap air yang menggenang di sudut matanya.
Beberapa hari setelahnya, kondisi Dominick sudah mulai stabil dan dipindahkan ke kamar rawat inap meski dia masih tetap koma.
Tampak Nyonya Yunglow berdiri di samping ranjang, wajahnya penuh kekawatiran setelah dokter kepercayaannya menemukan sebuah virus aneh di tubuh sang cucu. Terngiang olehnya kalimat sang dokter.
“Saya melihat keanehan pada sel sp3rma Tuan Muda. Kami masih meneliti lebih lanjut, tapi saya kawatir ini akan berakibat fatal, Nyonya. Untuk itu saya harap, kita harus ambil tindakan untuk keturunan Tuan Dom ke depannya.” Suara itu terus terngiang di telinga sang nenek, membuatnya semakin rapuh. Jemarinya bergetar halus saat menggenggam tangan cucunya.
“Dom. Ntah kabar apalagi kedepannya yang akan nenek dengar tentangmu. Permainanmu cukup berbahaya. Untuk itu, izinkan nenek menjalankan peran terbaik. Kamu harus memiliki keturunan. Penerus Yunglow sangat berarti.” Tegasnya seraya emnoleh ke arah sekretaris Lin. “Sekretaris Lin. Buat pengumuman untuk kolega segera.” Tegasnya membuat Sekretaris Lin bingung.
“Pengumuman apa, Nyonya?” Tatapnya.
“Umumkan kalau Dominick Yunglow sedang mencari wanita yang mampu melahirkan keturunan. Siapapun boleh mencoba. Tapi, kita juga memiliki standart keluarga. Laksanakan segera!” Ucapnya. Kalimat Nyonya Yunglow adalah perintah bagi Sekretaris Lin.
“Baik, Nyonya. Tapi, apakah tidak terlalu berbahaya jika kita adakan seleksi sekarang, sedangkan Tuan Muda masih terbaring…”
“Akan lebih berbahaya jika kita terlambat! Aku yakin apa yang di sarankan dokter Qin adalah yang terbaik. Kita siapkan kandidat dan biarkan dokter membantu aktivitas selanjutnya.” Tegas Nyonya Yunglo “Pastikan seleksi kandidat dengan ketat. Medical check up harus dilakukan. Tidak masalah dia tidak peraw4n tapi setidaknya dia adalah wanita yang sehat dan subur.” Imbuhnya lagi.
Sekretaris Lin terdiam, lalu kembali membungkuk.
"Baik, Nyonya. Akan saya lakukan sesuai perintah anda."
Hening sesaat. Hanya bunyi mesin monitor jantung yang terdengar teratur, beep... beep... beep... seakan mengejek ketegangan yang menyelimuti ruangan paling mewah di rumah sakit milik keluarga Yunglow.
Air mata masih menggantung disudut mata Nyonya Yunglow, meski wajahnya tetap keras. Dia menunduk perlahan, mencium punggung tangan Dominick— cucu yang sudah dia persiapkan sejak lama untuk menjadi penerus klan Yunglow.
"Dom, kau harus memiliki keturunan apapun alasannya." Tegasnya dengan tangan terkepal menatap kea rah sang cucu yang terbaring tak berdaya. Tubuh itu terlihat penuh luka, menandakan betapa banyak hal yang sudah di alami oleh pria muda itu selama ini.
Nyonya Yunglow belum beranjak, masih duduk di kursi kulit sisi ranjang dimana cucu nya terbaring. Sekretaris Lin sudah meninggalkan ruangan untuk menyebarkan pengumuman yang bisa mengguncang separuh kota.