Kabar itu meledak bagai bom di tengah ketenangan pagi para pengusaha kelas atas dan kolega mereka.
Headline setiap group chat klan ataupun arisan semua menyorot mengenai satu nama, Dominick Yunglow, pewaris tunggal kerajaan bisnis Yunglow Group—perusahaan yang menguasai hampir setengah industri ekspor-impor dan konstruksi Asia Tenggara.
"Penerus Yunglow Group sedang mencari wanita untuk melahirkan generasi penerusnya."
"Pendaftaran dibuka mulai hari ini. Hanya kandidat dengan latar belakang sehat dan bersih yang akan dipertimbangkan."
Kalimat itu terpampang di seluruh layar informasi resmi dari akun sekretaris Lin, sebagai orang kepercayaan Nyonya Yunglow . Tak ada foto Dominick yang baru saja keluar dari ruang operasi dua minggu lalu, hanya gambar siluet hitam dengan teks emas di bawahnya:
'The Heir's Legacy Project.'
Di jalan-jalan ibu kota, kebanyakanpara jetset membahas mengenai pencarian penerus pewaris Yunglow.
Di kafe, para wanita muda memandangi layar ponsel mereka dengan mata berbinar.
Di rumah-rumah mewah, para ibu pejabat dan sosialita memanggil anak-anak perempuan mereka, menata rambut, menyiapkan berkas kesehatan.
Sementara di sebuah rumah megah tampak seorang pria dengan tatapan sengit penuh kebencian langsung melemparkan map ke wajah gadis yang baru kembali dari acara perpisahan sekolah.
"Persiapkan dirimu untuk melahirkan penerus Yunglow Company!" Tentu saja, kalimat yang dilontarkan oleh ayah kandungnya itu bak petir menyambar di siang bolong, bagaimana tidak. Dia baru saja meraih kebahagiaan dengan nilai tertinggi kelulusan dari salah satu sekolah bergengsi di kota itu. Cita-cita setinggi langit telah tergantung di angannya untuk dia raih.
"Jangan diam saja! Atau kau mau ibumu mati karena aku tidak bisa meneruskan pengobatannya, hah?!" Mata yang terbelalak merah itu membuat tubuh mungilnya seketika menggigil.
"Pa. Aku masih harus kuliah danmengejar cita-citaku, Pa. Aku belum bisa menikah! Aku masih terlalu muda." Tegasnya seperti ada bisikan yang mengajaknya untuk berontak.
PLAK!!
"Baiklah. Menolak artinya ibumu harus mati!" Ancam sang ayah langsung mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan menghubungi seseorang. "Dok!! Leapskan semua peralatan medis istri saya. Dia sudah kami ikhlaskan. Dan kami..."
"Pa! Stop! Jangan hentikan pengobatan mama. Sherin bersedia..." seiring kalimatnya, air mata mulai bercucuran menggenang di pipi mulusnya yang masih dipenuhi coretan seperti pakaian putih abu-abu yang dia kenakan penuh dengan coretan.
Seketika pria paruh baya itu tertawa terkekeh. "Ini baru anak papa..." ucapnya lalu kembali berkata pada lawan bicara di seberang. "Lanjutkan pengobatan, Dok." Dan langusng menutup panggilan ponsel miliknya. Dia menoleh ke arah sang puteri dengan senyum penuh arti lalu berkata. "Hanya aku yang mampu menolong ibumu. Papa sudah tidak punya daya lagi. Bisnis papa sedang dalam kondisi kesulitan ekonomi..." ucapnya lagi lalu mengusap kepala sang puteri.
"Sherin punya syarat..." ucapnya tiba-tiba membuat sorot mata orang tuanya langsung tajam.
"Maksudmu?"
"Sherin mau melakukan apa yang papa perintahkan. Asal papa bisa menjamin kesembuhan mama." Tegas Sherin menatap curiga ke arah sang ayah.
"Tentu. Kalau Yunglow sudah mengirimkan uang ke papa. Maka papa akan segera membawa mama mu ke luar negeri. Papa tahu tempat dimana bisa menolong mama kamu." Tegasnya membuat Sherin menatap sinis dengan pandangan penuh kebencian pada sang ayah. "Tapi ingat. Kau harus berhasil. Kalau kau gagal, maka mama mu juga akan menghilang dari dunia ini." Ancamnya membuat sang puteri yang terduduk lemas.
"Bagaimana mungkin Sherin bisa menjanjikan kemenangan, Pa?"
"Disitulah peranmu sebagai anak berbakti kalau ingin ibumu sembuh." Tegas sang ayah, membuat Sherin menggertakkan giginya.
***
Sementara itu, di lantai dua puluh tujuh Rumah Sakit—di ruangan paling steril dan dijaga ketat oleh belasan petugas berseragam hitam—suasana terasa begitu sunyi.
Cahaya putih dari jendela jatuh lembut ke tubuh seorang pria yang masih terbaring diam di atas ranjang. Selang-selang infus dan ventilator masih menempel, namun mesin pemantau di sisi ranjang menunjukkan tanda-tanda perubahan.
Beep... beep... beep...
Irama itu perlahan berubah, lebih cepat, lebih kuat.
Dokter Qin yang tengah memeriksa hasil scan berhenti menulis. Dia menoleh cepat ke arah monitor, matanya melebar. "Tekanan darah meningkat... respons otak aktif... cepat, panggil tim!" serunya.
Para perawat segera bergerak, sebagian memanggil Nyonya Yunglow yang saat itu tengah berada di ruang rapat bersama para investor keluarga.